Mengenang George Junus Aditjondro - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Mengenang George Junus Aditjondro

Manuel Kaisiepo, EDitor Jurnal Prisma. Sumber foto: kompas.id, 22 Februari 2020

Loading

Oleh Manuel Kaisiepo

Editor Jurnal Prisma

TIBA-tiba saya teringat sahabat karib yang sudah meninggal beberapa waktu lalu, George Junus Aditjondro (George).

Hari ini kalau masih hidup, George genap berusia 77 tahun (lahir 27 Mei 1946, meninggal 10 Desember 2016). Tidak diperlukan uraian panjang lebar untuk memperkenalkan siapa Goerge, sosoknya sudah begitu terkenal.

Pada momen ini saya hanya ingin memberikan catatan kecil tentang kaitan Goerge dengan Papua. George adalah salah satu dari sedikit ilmuwan Indonesia sekaligus aktivis sosial yang sangat dekat dan peduli dengan Papua.

Mantan wartawan Tempo dan aktivis lingkungan pendukung hak-hak masyarakat pribumi ini selama lima tahun (1982-1987) tinggal di Jayapura sebagai Direktur The Irian Jaya Development Information Service (The Irja DISK), yang kemudian menjadi Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja).

Bersama lembaga ini Goerge dan rekan-rekan kerjanya selain melakukan fungsi-fungsi advokasi masyarakat, juga melakukan banyak penelitian lapangan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat asli Papua. Sebagian dari hasil penelitian mereka dimuat dlm jurnal Kabar Dari Kampung (KDK).

Kuliah di Cornell University

Setelah selesai bertugas di Papua, Goerge diterima melanjutkan kuliah di salah satu universitas terkemuka Amerika, Cornell University. George memperoleh gelar Ph.D dalam bidang sosiologi pembangunan tahun 1989. Pencapaian akademik George ini luar biasa, mengingat dia bahkan belum menyelesaikan studi S-1 alias drop-out.

Ketika Prof Ben Anderson menanyakan kepada Daniel Dhakidae (yang saat itu tengah menyelesaikan program Ph. D di Cornell), siapa orang Indonesia yang bisa diterima di Cornell, tanpa ragu-ragu Daniel menyebut nama George Aditjondro.

Tentu bukan tanpa alasan kuat. Daniel Dhakidae (DD) sebagai editor jurnal Prisma (LP3ES) tentu sangat paham kapasitas intelektual George. Saya sendiri sebagai salah satu editor Prisma yang beberapa kali memuat tulisan-tulisan George, juga menyadari kualitas dan kapasitas intelektualnya.

Ketika memutuskan berhenti dari Tempo dan hendak berkarya di Papua tahun 1982, George mendatangi saya ke Prisma untuk meminta saran-saran saya sekaligus bertukar pikiran. Demikian pula ketika selesai bertugas di Papua dan akan melanjutkan studi ke Cornell, George datang ke Prisma mengajak saya diskusi beberapa hal.

Selama di Cornell, George tetap aktif berhubungan dengan teman-temannya di Indonesia, termasuk saya. Melalui George dan juga Daniel Dhakidae, saya diajak berkomunikasi dengan Prof Ben Anderson (yang selama Orde Baru di-blac list, dilarang masuk ke Indonesia).

Kembali ke Indonesia tahun 1992, George mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan di Univesitas Sanata Darma Yogyakarta. Setelah aksi-aksi demo di kampus ini, George akhirnya pindah dan menjadi dosen di Australia.

Sekalipun tidak lagi ke Papua, kecintaan dan perhatiannya atas Papua tetap tinggi. Dia menulis banyak makalah dan artikel di dalam dan di luar negeri tentang Papua.

Dalam semua makalah dan tulisannya tersebut, tampak jelas George tidak membatasi analisanya sebagai seorang ilmuwan semata (yang selalu menjaga jarak). Sebaliknya, dia memperlihatkan sikap keberpihakan yang nyata dan kuat soal Papua.

Dalam pandangan saya, George Aditjondro adalah intelektual kritis yang sesuai dengan kategori pemikir Neo-Marxis asal Italia, Antonio Gramsci, yaitu sebagai intelektual organik.

George sudah menulis banyak tentang Papua, termasuk juga menulis pengantar untuk beberapa buku kajian serius tentang Papua.

Berikut daftar beberapa tulisan George tentang Papua (ini hanya sebagian yang sempat saya catat dan koleksi, belum termasuk publikasi hasil-hasil penelitian bersama YPMD).

Misalnya, Karya dan Gema Mambesak di Irian Jaya (1984) dalam Berita Oikoumene, edisi Agustus 1984, The Cultures of the Irian Jaya Indigenous Peoples (1989) dalam paper mata kuliah Etnologi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Desember 1989.

Juga Transmigration in Irian Jaya: Issues, Targets and Alternstive Approach dan Problems of Forestry and Land Use in The Asian-Pacific Region: The Irian Jaya Experience. Selain itu, Bintang Kejora di Tengah Kegelapan Malam: Penggelapan Nasionalisme Orang Papua dalam Historiografi Indonesia (1993), makalah di UKSW, 2 Juni 1993, dan Millenarianism in Melanesia (1993), makalah untuk mata kuliah etnologi di UKSW, 1993.

Semoga spirit, tradisi riset, serta jejak langkah advokasi yang sudah dirintis George Aditjondro tetap hidup di kalangan generasi baru intelektual Papua.

Tinggalkan Komentar Anda :