Mendambakan Papua Tanpa Eksploitasi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Mendambakan Papua Tanpa Eksploitasi

Frans Maniagasi, pengamat politik lokal Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Frans Maniagasi

Pengamat Politik Lokal Papua

JUDUL ini kontradiksi dengan realitas kalau tidak terjadi eksploitasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan bernegara. Baik eksploitasi yang dilakukan oleh negara maupun (dan) kekuatan modal (kapitalisme) terhadap masyarakat.

Atmosfer kehidupan sosial yang diharapkan tanpa adanya eksploitasi tentunya utopis. Namun di balik utopis itu justru untuk masyarakat Papua pun mendambakan agar di wilayah mereka tanpa terjadi eksploitasi terhadap tanah-tanah adat dan sumber daya alamnya.

Menurut KBBI, eksploitasi adalah tindakan memanfaatkan orang lain atau sumber daya alam secara tidak adil dan merugikan kepentingan pribadi dan kelompok. Eksploitasi adalah pemanfaatan sumber daya atau individu secara tidak adil dan tidak etis untuk keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara memanfaatkan kelemahan atau ketidakseimbangan kekuasaan. Ada unsur penghisapan, pemerasan, kejahatan pada orang lain dan sumber daya lainnya untuk memperkaya pribadi dan  kelompok.

Dalam perspektif ekspansi modal dengan argumentasi menjadikan Merauke (Papua Selatan) sebagai lumbung pangan yang disebut Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi sorotan publik. PSN menjadi lumbung pangan nasional dengan memanfaatkan lahan sejuta hektar yang menjadi milik masyarakat adat Marind-Anim dijustifikasi. Hal ini mengundang reaksi masyarakat adat Papua melakukan perlawanan atas pendudukan tanah adat yang digunakan untuk kegiatan lumbung pangan nasional.

Pendudukan sepihak, blokade lahan masyarakat, mengundang perlawanan atas tanah adat dan sumber daya alamnya. Bagi penduduk lokal, tanah merupakan nilai fundamental dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Sehingga kehadiran para pemodal menjadi mesin penghancur yang eksplosif terhadap nilai-nilai substansi dan kemanusiaan masyarakat adat Papua.

Hal itu merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hukum dan tradisi adatnya, mau pun hak asasinya. Pelanggaran ini telah memenuhi kriteria objektif yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

Eksploitasi lahan sejuta hektar di Merauke untuk PSN dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, penggunaan lahan itu dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem dan biodiversitas. Kedua, eksploitasi sosial pengambilalihan tanah adat beberapa klien Marind-Anim tanpa persetujuan atau kompensasi untuk masyarakat memperoleh ganti untung.

Ketiga, eksploitasi ekonomi, penggunaan sumber daya alam lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi nasional dan minimnya perhatian dan keuntungan bagi kepentingan lokal. Keempat, pemanfaatan tanah untuk kepentingan ekonomi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Kelima, eksploitasi sumber daya alam seperti air, tanah, dan energi tanpa adanya studi analisa dampak lingkungan (amdal) dapat dipastikan berakibat fatal terhadap lingkungan fisik, termasuk deforestasi.

Proses penghancuran atau penggundulan hutan menyebabkan hilangnya vegetasi hutan dan ekosistem termasuk punahnya hewan-hewan khas di Papua Selatan seperti rusa, kanguru dan jenis tumbuh-tumbuhan unik yang memiliki kemiripan seperti tumbuhan di Australia.

Selain itu potensi konflik sosial dan politik tak terhindarkan karena masyarakat kehilangan hak-haknya atas tanah adat. Diskriminasi terhadap masyarakat dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat transparan terjadi didepan mata secara kasat mata. Sehingga seperti yang dikonstatir oleh Robert TR Gurr (2016) yaitu relative deprivation, gup antara harapan dan realitas, diskriminasi politik, dan penghancuran terhadap identitas budaya, eksesnya muncul konflik antara pemerintah, dan masyarakat.

Ironinya, pemerintah tidak menyadari bahaya besar akibat kebijakan PSN yang justru sedang mendorong percepatan terjadinya proses marginalisasi masyarakat asli Papua di atas tanahnya. Pemerintah sedang menerapkan kebijakan eksploitasi neo-kolonialisme melalui penguasaan dan pengambilalihan sumber daya alam yang dilakukan oleh korporasi atas nama negara (Frantz Fanon, Black  Skin, White Masks, 1952).

Padi kuprik

Kegagalan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) mestinya menjadi pengalaman berharga proyek sejuta hektar ini. Justru ada pengalaman empiris di era Pemerintahan Belanda berkuasa di Papua khususnya di Merauke pada tahun 1920 oleh Dr JC Koningsberger dikembangkan padi kuprik. Padi kuprik atau kupro adalah varietas padi yang dikembangkan untuk mengatasi kekurangan pangan di wilayah tersebut.

Padi yang tahan terhadap kekeringan dan genangan air berasal dari varietas padi lokal Papua. Memiliki usia panen yang relatif singkat sekitar 120 hari. Produksi gabah yang tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, berdampak terhadap peningkatan produksi padi di Merauke serta membantu peluang ekonomi bagi petani lokal. Jenis padi ini masih ditanam oleh petani lokal meskipun sudah jarang. Varietas padi ini dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Pengalaman pengembangan padi kuprik yang telah berlangsung sejak tahun 1920-an oleh Pemerintah Belanda hingga kini, sebenarnya menunjukkan beberapa nilai substantif. Pertama, padi kuprik merefleksikan bahwa tanaman ini khas dan cocok sesuai kondisi alam dan manusia Marind–Anim.

Pola tanaman padi kuprik merupakan hasil adaptasi dengan lingkungan alam fisik dan sosial masyarakat tanpa mengubah pola tanam dan menanam varietas unggul untuk menghadapi perubahan iklim. Di samping sagu sebagai makanan pokok masyarakat Papua menjadi konsumsi utama.

Kedua, tidak terjadi penghancuran lingkungan yang berdampak terhadap pembabatan hutan, ekosistem, dan deforestasi. Bahkan justru menopang daya dukung lingkungan melalui kearifan lokal dan pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat Marind–Anim.

Ketiga, membangun apa yang disebut oleh Charles Beraf (Kompas, 3/10/2024) hybrid community. Hybrid community merujuk pada kehendak masing-masing individu dan kelompok sosial orang asli Papua dan non Papua untuk hidup bersama norma-norma dan nilai-nilai kultural yang dapat diterima dan saling menghargai dengan cara-cara yang bermakna dan bermartabat menghindari adanya kecemburuan sosial dan diskriminasi.

Keempat, sebenarnya dengan pengembangan padi kuprik diharapkan tidak merubah pola konsumsi masyarakat Marind–Anim. Namun celakanya minimnya dukungan infrastruktur dan ketidaksesuaian lahan dalam mendukung pengembangan dan pelestarian tanaman padi kuprik telah mengubah pola konsumsi warga lokal makan beras dan mie instan yang didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Perubahan pola makanan dan konsumsi ini merupakan fenomena umum yang hampir kita temui di seluruh wilayah Papua.

Solusi dan keberlanjutan PSN

Bagaimana keberlanjutan proyek ini dan upaya meminimalisir eksploitasi terhadap tanah tanah adat, lingkungan alam dan fisik termasuk masyarakat lokal. Bila tujuan pemerintah meningkatkan  ketahanan pangan dan energi nasional.

Ada beberapa solusi. Pertama, dialog terbuka dengan masyarakat adat dan organisasi lingkungan. Kedua, evaluasi dampak lingkungan dan sosial. Ketiga, perencanaan yang partisipatif dan transparan. Keempat, pengembangan teknologi ramah lingkungan. Kelima, perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk memprioritaskan keberlanjutan pengembangan tanaman padi kuprik disamping tanaman sagu.

Dengan memenuhi syarat-syarat itu otomatis membangun kepercayaan masyarakat melalui komunikasi yang terbuka. Meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa proyek ini adalah miliknya dan merupakan hak-haknya atas kompensasi tanah adat yang telah diserahkan untuk proyek ini menjadi garansi bagi kehidupan dan masa depan anak cucunya.

Dengan demikian, masyarakat merasakan dan mengalami bahwa keberadaan mereka tanpa adanya eksploitasi di satu pihak dan di lain pihak political will pemerintah untuk keberlanjutan PSN di Merauke.

Tinggalkan Komentar Anda :