Judul : Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua
Penulis : Markus Haluk
Pengantar : Dr Neles Tebay
Editor : Basil Triharyanto
Penerbit : Deiyai dan Honai Center, Jayapura
Cetakan : II, Juni 2013
Halaman : xxiv+330 halaman
TANAH Papua kurun waktu antara 2008-2001 boleh jadi adalah masa kelam yang sempat menyelimuti Bumi Cenderawasih. Kekerasan terjadi di sejumlah wilayah kabupaten. Kekerasan oleh para pelaku kepada orang lain seolah berada di titik kulminasi. Dalam hati pelaku, seolah bersemayam sabda ini: “kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang dipahami.” Ia (kekerasan) akhirnya mewujud dalam sikap dan tindak pelaku. Manusia (pelaku) seolah menjadi serigala bagi sesamanya. Dalam terminologi kata bahasa Latin, homo homini lupus.
Sesama saudara yang memiliki hak hidup setara dianggap sebagaii musuh, sumber kekerasan ibarat monster menakutkan. Sesama saudara itu seakan perlu dilawan lalu maut menari-nari di pelupuk mata sebelum akhirnya ajal menjemput mereka, sesama saudara tak berdosa. Padahal, kekerasan yang berujung kematian, misalnya, sesungguhnya momok bagi manusia berakal budi dan berhati nurani yang mendambakan dan merindukan kedamaian di muka bumi. Hidup dan kehidupan manusia tak lagi dipahami sebagai berkat dan cinta Tuhan, sang Sabda paling indah dan mulia. Papua kurun waktu itu (2008-2001) adalah tahun penuh darah.
Markus Haluk, penulis buku Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua menguraikan detail kekerasan yang melanda Papua periode tersebut (2008-2001). Lima dari enam bagian uraian buku ini tak sekadar mengulas soal terminologi hak asasi manusia universal yang dipahami negara dalam praktik hidup bermasyarakat, termasuk Indonesia, khususnya Papua. Markus Haluk, penulis buku ini, juga membongkar berbagai praktik kekerasan yang dilakukan entah secara perorangan maupun dalam aneka kelompok di Papua, pulau jumbo paling timur Indonesia itu.
Pada bagian pertama: prinsip-prinsip hak asasi manusia diuraikan sejumlah hal seperti kewajiban dan tanggungjawab negara, tanggungjawab dunia internasional, tanggungjawab Indonesia kepada dunia, dan hak asasi manusia di Papua. Pada bagian kedua, disodorkan topik: pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Di sini Markus Haluk, lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura, mengulas lebih jauh sejumlah sub tema seperti penyiksaan dan pembunuhan tanpa pengadilan, larangan kebebasan berpendapat dan berkumpul, situasi pembela hak asasi manusia, dan pembunuhan pemimpin secara sistematis.
Di bagian ketiga, Markus Haluk membedah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Di bagian ini dibedah sejarah lahirnya otonomi khusus (Otsus) Papua yang baru saja berakhir sejak diberlakukan sejak 2001 lalu “mengenakan” baju baru bernama UU Otsus hasil revisi yang baru saja disahkan menjadi UU Otsus pada Kamis, 15 Juli 2021 lalu. Selain itu,pada bagian ini juga diuraikan sejumlah hal seperti aneka fakta pelanggaran hak di bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, marginalisasi dan diskriminasi hingga depopulasi orang asli Papua (OAP).
Bagian keempat buku ini mengulas sejumlah zona konflik di tanah Papua. Mulai dari Jayapura, kota sejarah dan politik. Bergerak ke Timika, kota tambang yang penuh gejolak; lalu Puncak Jaya yang dilukiskan sebagai kota penuh kekerasan. Kemudian bergerak lebih jauh ke Degeuwo: antara emas, seks, dan militer. Kemudian Paniai: tragedi dan derita pengungsi plus gambaran selintas Paniai, peristiwa Eduada, data korban akibat konflik, dan advokasi oleh berbagai pihak.
Bagian kelima mengulas soal peran pemerintah dalam konflik Papua. Dalam bagian ini diulas lebih jauh terkait era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di mana dilukiskan sebagai Presien yang bicara, tulis, dan kerja lain. Juga tentang otonomi khusus dan solusi damai, pemerintah tidak konsisten,dan fakta kekerasan di Papua. Bagian lain yang diulas adalah aparat keamanan dan kekerasan, dan keadilan hukum dan pelaku kekerasan.
Kata Markus Haluk, ”mati dan hidup” dipakai sebagai judul untuk memaknai situasi hak asasi manusia yang terjadi di Papua selama empat tahun yang ditujukan kepada siapapun dan di mana pun yang peduli dengan persoalan hak asasi manusia. “Buku ini mengungkapkan berbagai gejolak dan peristiwa hak asasi manusia dari sumber-sumber terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Markus Haluk (hal. xvii).
Pastor Dr Neles Kebadabi Tebay, Pr, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, yang juga imam diosesan Keuskupan Jayapura menulis: kekerasan, kekerasan, dan kekerasan lagi. Demikian orang berkomentar ketika menanggapi berita-berita tentang berbagai kekerasan di tanah Papua, seperti yang disiarkan melalui berbagai media cetak dan elektronik di Indonesia.
Kekerasan di tanah Papua seakan tak ada batas akhirnya. Kekerasan masih berlangsung hingga kini. Banyak orang bertanya: mengapa kekerasan terus-menerus terjadi di tanah Papua? “Tiga pihak yang menjadi korban dari aksi kekerasan ini mencakup warga sipil Papua maupun non Papua serta TNI-Polri. Tentunya, selama aksi kekerasan ini tidak dihentikan, selama itu pula korban akan berjatuhan,” ujar Pastor Neles (hal. xxi). Gambaran tentang kekerasan dengan aneka bentuk dan motif kurun waktu penelitian hingga terbitnya buku ini, kini tentu sudah berubah seiring kesadaran semua pihak tentang arti penting penghargaan atas martabat manusia di tanah Papua.
Basil Triharyanto, jurnalis dan penulis dalam epilog buku ini melukiskan, aneka peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi kurun waktu 2008-2012 menyodorkan fakta tentang perjuangan tak akan pupus oleh rentetan senjata api. Jatuhnya banyak korban mestinya membuka ruang (batin) semua pihak untuk belajar bahwa kebijakan dan tindakan keamanan tak bisa menghentikan aspirasi yang bergema di tanah Papua.
Niat baik memangkas bahkan mengurangi tindak kekerasan demi menghormati harkat dan martabat manusia Papua jauh lebih penting. Membiarkan kekerasan terus terjadi saban waktu malah akan membuka peluang kekerasan beranak pinak. Manusia di mana pun di muka bumi, tentu tak sudi kekerasan yang memakan nyawa manusia terjadi. Buku ini layak menjadi bacaan wajib di tengah kerinduan kolektif seluruh umat manusia pendamba keadilan dan cinta menggapai damai di tanah Papua, potongan surga kecil yang jatuh ke bumi. Wa, wa, wa.
Ansel Deri
jurnalis Odiyaiwuu.com