JAYAPURA, ODIYAIWUU.com – Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua telah memasuki tahapan mediasi kesepakatan batas wilayah adat. Pertemuan yang diadakan di Balai Kampung Mlem, Distrik Kemtuk Gresi, menghadirkan para tetua adat dan tokoh masyarakat guna menyelesaikan tapal batas wilayah adat antar kampung, pekan pertama Juni lalu.
Pertemuan tersebut mendapat sambutan hangat oleh para pemangku adat dan dihadiri langsung Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Klisi maupun pemerintah kampung setempat. Peta wilayah adat menjadi penting untuk masyarakat adat guna melindungi wilayah mereka dari kebijakan pemerintah maupun aktivitas pembangunan.
“Peta wilayah adat juga menjadi penting diklirkan agar generasi berikutnya tahu dan memahami status kepemilikan dan tapal batas tanahnya,” kata Benyamin Yewi, Duguena (Pemimpin Adat) dari Kampung Damoikati, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura kepada Odiyaiwuu.com di Jayapura, Jumat (11/6) .
Zoel Moti dari Tim Sosialisasi GTMA Kabupaten Jayapura dalam arahannya menyampaikan hal mendasar tentang upaya mediasi batas wilayah ialah bagian penting dan strategis untuk meminimalisir konflik tapal batas di kemudian hari.
Mediasi tapal batas wilayah adat tersebut sekadar menegaskan pengakuan dan kepemilikan dan peta batas antar kampung tanpa mengubah hak-hak dasar pemilik tanah maupun status sosial yang telah berlaku di setiap komunikas masyarakat adat.
“Bapak dorang semua tidak usah khawatir dengan adanya peta. Bapak akan makan seperti biasa dan hidup seperti biasa. Peta ini mendorong pengakuan pemerintah terhadap wilayah yang dimiliki oleh masyarakat adat. Kini, saat yang tepat masyarakat adat berdaulat di atas tanah adatnya,” ujar Zoel Moti di hadapan masyarakat saat berlangsung pertemuan yang dimulai dari pukul 09.00 hingga sore WIT.
Ade Ihsan, anggota Tim Spasial GTMA Kabupaten Jayapura yakin, perjuangan timnya bersama masyarakat adat sudah mulai membuahkan hasil meskipun kerap menemui masalah teknis di lapangan. Ia mengaatakan, bicara tentang batas-batas wilayah adat masih terjadi pro dan kontra. Namun, hal itu itu sudah menjadi resiko di berbagai wilayah di Indonesia jika bicara soal hak-hak masyarakat adat. Apalagi bicara menyangkut hak kepemilikan atas tanah.
“Paling sulit bukan menggambar peta wilayah adat. Namun, ada aspek penting lainnya yaitu dukungan dan pengakuan dari pemangku ulayat maupun masyarakat adat. Oleh karena itu kami perlu dukungan maupun peran serta dari seluruh elemen entah masyarakat dan pemerintah untuk terlibat dalam mempercepat proses penegasan tapal batas wilayah adat,” kata Ade Ihsan.
Pertemuan mediasi batas tersebut menghasilkan kesepakatan antar kampung bertetangga dan dilanjutkan dengan penandatanganan berita acara kesepakatan batas oleh perwakilan masyarakat sebagai bukti dan dokumentasi aspek legal formal.
Dugena Benyamin Yewi di akhir kegiatan meminta masyarakat bahwa adat saatnya mengangkat muka dan memandang ke depan. Masyarakat adat juga perlu ingat, tanah bukan hanya harta warisan melainkan identitas, jati diri dan warisan bagi anak cucu di masa akan datang.
“Bila di kemudian hari tanah hilang, kitong punya jati diri juga hilang. Jangan lagi membasuh kitong punya tangan dengan darah dari saudara-saudara kita sesama orang Papua. Tapi, mari kitong saling mengakui dan saling menjaga,” kata Dugena Benyamin Yewi. (Jill Suebu/Odiyaiwuu.com).