Sastra Lampung dan Sebentang Harapan - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Sastra Lampung dan Sebentang Harapan

Buku Jalan Sastra Lampung: Kumpulan Esai. Foto: Istimewa

Loading

Judul: Jalan Sastra Lampung: Kumpulan Esai

Penulis           : Aan Arizandy, dkk

Editor:

Yuli Nugrahani

Udo Z Karzi

Asril Barning

Dewan Juri:

Iwan Nurdaya-Djafar

Kahfie Nazaruddin

Ahmat Yulden Erwin

Desain sampul/tata letak:

Tri Purna Jaya

ISBN: 978 623 5325 06 5

Penerbit:

Pustaka LaBRAK

Wismamas Kemiling Estate

Jl Teuku Cik Ditiro Blok S12A No. 16

Bandar Lampung 35153

Cetakan 1: Agustus 2022

Halaman:  14x 21 cm, xxx + 243 hlm

 

DARI sejumlah referensi, saya mendapatkan petunjuk bahwa sastra Lampung cukup kaya dalam jenis, tak kalah dengan misalnya Jawa, Bali, Aceh, atau Sulawesi Selatan. Siapa pun budayawan yang ingin menggali kekayaan sastra bernilai klasik adiluhung, Nusantara adalah tempat yang cocok dan akan membuat mereka asyik menghabiskan usia merenangi lautan khazanah budaya tulis ini. Tentu satu di antaranya Lampung, provinsi dengan julukan Ragam Gawi yang diartikan sebagai bersatu dalam kerja.

Kata “tulis” sebagai bagian dari tradisi/budaya, menarik bagi saya. Terutama ketika sebagian besar peneliti atau budayawan menyebut sastra lisan sebagai literasi klasik yang berkembang di tanah air, termasuk Lampung. Penjelasan cukup komprehensif dari Iwan Nurdaya-Djafar menurut saya masuk akal dan memiliki akar pegangan. Saya membayangkan, bagaimana ramalah Prabu Jayabaya (Raja Kediri yang memerintah antara tahun 1135-1157) dan pepatah-petitih Raden Ranggawarsita (14 Maret 1802–24 Desember 1873) sampai kepada kita hingga hari ini? Apakah —seperti muasal hadist Rasulullah— benar-benar diucapkan berulang-ulang dan dihafalkan? Dalam hal ini, apakah didengarkan oleh keluarga kerajaan, para punggawa, lalu disiarkan kepada rakyat jelata? Saya rasa, di masa itu, mereka yang mendengar sabda pandita ratu juga tak memahami maksud sang prabu. Bahkan dua ratus tahun yang lalu, Serat Centhini dinyatakan “diterbitkan”. Sebutan serat menunjukkan makna tersurat, tertulis, bersifat susastra.

Barangkali manusia sebagai makhluk (yang senang) bermain, mula-mula menggunakan nada-nada dalam hatinya untuk menemukan irama (dan gerak) seiring suasana hati (mood). Di antara rasa itu termasuk juga ketika berduka (perkabungan) dan marah (pengantar perang antarsuku). Lantas, bagaimana satu dan lain jenis irama dan kata-kata tersimpan dengan baik untuk diajarkan melalui kelisanan? Itu sebabnya, bukan hanya di Jawa (dalam hanacaraka) dan Bugis (I la galigo yang tertera di lontara), Lampung pun memiliki aksara had lappung. Bahasa ditulis dengan huruf untuk mengawetkan, karya terus berkembang, maka perjalanan kebudayaan merupakan keniscayaan.

Ketika kebudayaan menyertakan ideologi, sosial, politik, ekonomi, dan teknologi … hal terakhir ini menjadi infrastruktur yang secara signifikan membawa akar sastra —sebagai salah satu jenis dan bentuk seni yang karib dengan kehidupan manusia— melampaui zaman demi zaman. Dengan kata lain: alat atau media boleh berubah, namun ada esensi yang “kekal” terbawa sejak bentuk asalnya (aslinya) dan masih dikenali sebagai warisan. Dalam pertunjukan yang lazim melalui teater tutur, ringget atau pisaan, ngadio, wawancan, kitapun, warahan, bebandung, tangis, dan mardinei, tidak akan punah. Selagi kita memiliki cara mengabadikan, mula-mula dengan tulisan —setipis-tipis tulisan lebih kuat dibanding ingatan alias catatan mental— kini malahan dapat disimpan dalam Google cloud. Tentu tanpa menafikan proses panjang arsip fisik, rekaman film/audio-video, disket, dan pengembangan lainnya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah perkara prosedur pewarisan yang boleh jadi meluntur perlahan tersebab evolusi citarasa. Dengan pancaindra, manusia mengenali hal-hal baru yang ditabung sebagai pengalaman. Konsekuensi logis dari kemajuan —terutama teknologi— yang dipicu daya kreatif dan daya juang untuk bertahan dalam kehidupan yang semakin sulit adalah meninggalkan cara lama. Menanggalkan sesuatu yang dianggap kurang praktis bahkan tak berguna. Namun, satu di antara perilaku manusia yang turut memelihara kesenian klasik termasuk sastra, adalah kegemaran melakukan ritual. Masyarakat Indonesia terkenal sebagai manusia upacara, tak kecuali Lampung.

Membahas perjalanan sastra Lampung tak dapat melepaskan nama Isbedy Stiawan Z S dan Iswadi Pratama. Banyak para pendahulu dan pelaku sastra Lampung, namun demi menuju sebentang harapan di masa depan diperlukan figur-figur yang mampu dan mau memasuki zamannya. Ada seorang lagi yang dengan ketekunan dan kegigihannya menggali khazanah sastra dari berbagai penjuru dunia, mendiang Ahmad Yulden Erwin, dalam kurun waktu tertentu membuat kelas untuk melimpahkan keluasan pengetahuannya kepada banyak —terutama penyair— penggiat sastra di berbagai kota Indonesia. Tanpa tangan dan hati yang tak goyah mempertahankan nilai-nilai kreatif kesusastraan, Lampung kehilangan kesempatan akselerasi untuk menonjol sebagai lumbung sastrawan.

Akulturasi dalam skala kecil tak dapat dimungkiri, sebab sejak kelahiran internet dan prasarana yang memudahkan setiap orang melihat perkembangan di tempat lain membuat para penyair sempat kehilangan identitas diri masing-masing sebagai tonggak lokalitas. Di tahun 2005, misalnya, sejumlah penyair muda, Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman, dua dari yang banyak, memiliki kecenderungan puitik saling memiripi dengan Dina Oktaviani (Yogya, waktu itu) dan Pranita Dewi (Denpasar, Bali). Pergaulan susastra itu cukup sehat ketika berlangsung pergumulan inspirasi meskipun saya yakin masing-masing memiliki sumber mata air alias “guru-guru” yang berbeda. Kematangan berikutnya terbentuk dari asahan waktu dan itu saling menguatkan terutama bila selalu membuka diri terhadap tempaan kritik dan berani menghadapi cuaca buruk media massa.

Apakah ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bebandung, tangis, masih beroleh tempat di masa kini? Dalam beberapa perhelatan sastra yang berlangsung di Lampung, warahan masih dipertunjukkan. Cara-cara mendongeng di masa lalu mungkin tidak cocok lagi dalam era modern, suatu perubahan yang tak mungkin ditolak. Namun, medium silakan berubah tanpa harus meninggalkan esensi materi. Sastra lisan pada dasarnya hidup kembali, mula-mula dengan teknologi yang jauh lebih modern dan jangkauannya tak terbatas ruang dan waktu. Pembaca puisi dan penyair yang membacakan sajaknya tidak semata-mata didengarkan dan ditonton sewaktu (real time) saat melakukan pembacaan di tempat tertentu seperti sebelum tahun 90-an. Kini kita dapat menyaksikan Isbedy Stiawan yang dikenal sebagai Paus Sastra Lampung (benar, di masa mudanya sempat berkorespondensi dengan HB Jassin, si Paus Sastra, juga konsisten bergiat sastra hingga kini) membaca puisi melalui YouTube. Ia membuat akun pribadi dan kanal yang terus ditambah (update) setiap saat. Bukan sesekali, melainkan gencar, bahkan bisa beberapa kali ditayangkan dalam sehari. Koleksi video pembacaan puisi Isbedy saya kira telah mencapai lebih dari 100, terutama hal ini dilakukan semenjak wabah Corona melanda dunia dan Indonesia.

Kembali kepada niat dan kreativitas, ketika di hadapan kita tersedia medium pengganti media cetak, perlu diambil peluangnya. Bagi angkatan baby boomer (kelahiran tahun 50-60-an), barangkali masih gamang menghadapi peranti baru yang menyeruak sejak awal tahun 2000-an ini. Namun, tidak demikian halnya dengan Isbedy di satu sisi dan Ahmad Yulden Erwin (AYE) di sisi lain. AYE menggunakan sarana Facebook dan WhatsApp Group untuk mengajar penulisan puisi dan esai. Terbukti sejumlah pesertanya kemudian mampu menulis dengan baik.

Hal-hal demikian juga dikerjakan oleh banyak sastrawan di luar Lampung. LK Ara, penyair Aceh dan Abdul Wachid Bs penyair Yogya, juga Ons Untoro yang terus menggelar Sastra Bulan Purnama di Yogya, tidak pernah in absentia dalam menyuarakan sastra melalui pembacaan puisi. Tidak harus cekatan atau kemudian dibebani ambisi berkompetisi, cukuplah para penggiat sastra Lampung turut ambil bagian dalam perayaan era digital. Tak ada yang mudah, tetapi bukan berarti sulit. Seperti kita menghadapi sebuah alat baru, selalu tersedia petunjuk, dikawal seseorang yang lebih dulu mahir, maka tinggal hal yang tak gampang dipelihara yakni konsistensi dan kesinambungan. Modal utama: passion dan apresiasi terhadap seni sastra klasik Lampung yang perlahan (dan pasti) bakal menjadi eksotik.

Pengurus baru Dewan Kesenian Lampung (DKL) dilantik Agustus 2020. Apakah lembaga resmi yang mendapat anggaran kegiatan dari APBD bertanggung jawab terhadap kelestarian sastra klasik dan kearifan lokalnya? Tentu saja. Lembaga kesenian pemerintah daerah memiliki kewenangan dan tangan yang lebih perkasa. Di sana ada Udo Z. Karzi sebagai ketua komite sastra —yang pernah menyentuh kembali ranah klasik melalui kumpulan puisi dua bahasa: Indonesia dan Lampung— juga AYE selaku anggota Akademi Lampung. Sementara itu, kekuatan Iswadi Pratama melalui jalur teater (sebagai pendiri Teater Satu) sesungguhnya paling tepat dan efektif untuk tetap merawat sastra lisan Lampung dalam pertunjukannya. Negara-negara maju di Eropa sangat menghargai sastra klasik mereka sebagai roh kesenian yang terus menjiwai setiap gerakan perubahan, selayaknya negeri-negeri dengan lokalitas kuat beralaskan kesukuan seperti Nusantara ini, memegang prinsip lebih tegar.

Chairil Anwar memperkenalkan dan menularkan puisi modern karena luas pergaulan bacaannya. Itu arah angin dari luar yang berembus ke ranah Indonesia. Bagaimana bila posisinya dibalik? Nilai-nilai eksotik sastra klasik Lampung diberi ruang yang memungkinkan sampai ke mancanegara. Saya kira, setelah Isbedy (yang memiliki darah jurnalistik sebagaimana Oyos Saroso) telah luwes memasuki dunia digital, tinggal memperkaya dengan konten kelampungannya. Sebab, Lampung sebagai wilayah Sumatra bagian selatan, selain paling dekat dengan Jawa yang diakui lebih pesat perkembangan kebudayaannya karena memiliki infrastruktur memadai sejak awal, berpotensi besar untuk memajukan dirinya.

Saya ingat, tahun 2015, ketika Kabupaten Tulang Bawang mekar dan melahirkan Tulang Bawang Barat (Tubaba), bupati baru kawasan itu mengundang 9 sastrawan untuk menggali potensi Tubaba dan berkampanye (memperkenalkan diri) melalui karya sastra. Saat itu Yusi Avianto Pareanom, Afrizal Malna, AS Laksana, Nukila Amal, Esha Tegar Putra, Dea Anugrah, Dewi Kharisma Michelia, dan Langgeng Prima Anggradinata, melakukan residensi menelusuri arkaik perdesaan (Lampung) tua. Beberapa bulan kemudian, di tahun 2016, terbitlah sebuah buku himpunan karya berupa 11 cerpen, 15 puisi, 3 esai, dan 1 naskah teater. Menempuh jalan sastra dan intelektual barangkali suatu kreativitas alternatif ketika sang bupati menyadari bahwa daerah itu merupakan kota lintasan, bukan sebuah tujuan yang memiliki daya tarik tertentu. Sisi-sisi lain dari pedalaman Lampung masih menggairahkan untuk diangkat dalam wujud karya sastra.

Pada Oktober 2020 giliran Kabupaten Mesuji melakukan hal yang sama dengan cara menyelenggarakan lomba penulisan puisi.  Pihak Dinas Pemuda Olah Raga dan Pariwisata Pemda Mesuji tidak menggunakan sistem residensi para penulis untuk mengenal kondisi nyata lebih dekat, namun setidaknya referensi mengenai Mesuji menjadi perhatian peserta lomba. Selain memiliki sungai bersejarah, Mesuji yang cukup berjarak dengan laut ternyata dikenal juga sebagai kawasan bahari. Di masa pandemi seperti ini alangkah sulit menyelenggarakan kegiatan fisik tatap muka, apalagi dengan kehadiran nyata dan kerumunan. Hambatan itu rupanya tidak menutup kemungkinan memberdayakan karya sastra dengan fasilitas digital.

Kini seharusnya selesai sudah masa denial (penyanggahan), apriori (penolakan), idealisme sempit (karena mempertahankan sistem dan perangkat lama) bagi kita. Sastrawan Lampung perlu segera meraih babak baru melalui pengenalan, penguasaan, kecintaan terhadap peranti digital. Masa depan membentang seluas alam semesta. Bagi yang sudah asyik-masyuk dengan media sosial, kini saatnya menambah materi pada konten yang mereka tawarkan kepada publik. Sastra sebaiknya tidak berdiri sendiri sebab pada dasarnya ia bukan makhluk tunggal dan mandiri meskipun bukan pula model kerja kolektif serupa film. Sastra memiliki ibu bahasa dan ayah kebudayaan. Sebagai contoh, saat membacakan puisi “Kopi untuk Negeriku” dalam pertunjukan video kerja sama antara Titimangsa dan Balai Pustaka, saya mengenakan tapis dan kain sarung Lampung. Bagi saya, ini bukan sekadar apresiasi pribadi terhadap wastra negeri ini, melainkan upaya memadukan konteks tema dengan eksotika daerah penghasil kopi—salah satu potensi.

Saya percaya, hampir semua penerima hadiah Nobel Sastra mendapatkan keputusan dewan juri internasional karena kekuatan karya mereka yang mengandung nilai-nilai bukan hanya kemanusiaan secara universal, melainkan lokalitas dan kearifan budaya yang kuat dari asal sang pengarang. Pemeliharaan atas jati diri Lampung saya kira menjadi salah satu kewajiban sastrawannya, bukan dengan formal dan retorik diperjuangkan setengah hati oleh “tangan” pemerintah yang kadang-kadang kehilangan “jiwa”. Dari sisi yang paling sederhana dapat dimulai sejak kuliner dan tarian sambutan tamu pada sebuah perhelatan hingga yang paling unik: sekolah gajah —satu-satunya di Indonesia dan hanya ditemui bandingannya di Thailand.

Menjadikan sastra sebagai gaya hidup memang perlu waktu panjang. Akan disayangkan apabila para penulis muda “hanya” tahu permukaan kekayaan sastra Lampung di masa lalu, terburu tergiur pada, misalnya, karya-karya Haruki Murakami, Orhan Pamuk, Arundhati Roy, Gabriel Garcia Marquest, atau Alice Ann Munro. Padahal, bukankah mereka menulis dengan menggali khazanah dan karakter negeri masing-masing?

Sebelum jauh berharap, setelah mengetahui langkah baik dari DKL, mungkin dirancang penghargaan —semacam Hadiah Sastra Rancage yang sudah berjalan 31 tahun— untuk mendokumentasi esensi sastra berbahasa Lampung dengan format dan inspirasi baru. Harapan tidak pernah terlambat dibentangkan karena kerja hari ini akan sangat berharga bagi pencapaian hari depan. Semacam laporan, bahwa ini esai ringanku di buku antologiku ke-39 di tahun 2022. Terima kasih, Udo Z Karzi (kok tidàk membiru?). Yowis titip temannya di DKL, Jauza Imani

Peresensi:

Kurnia Effendi

 Sastrawan

Tinggalkan Komentar Anda :