Oleh Johanes Supriyono
Antropolog
PERCAKAPAN pagi dengan seorang pemahat suku Kamoro di Iwaka pagi itu diselingi oleh teriakan anaknya yang marah. “Tidak mau makan sagu! Sa minta nasi!”
Anak itu terus meronta. Bapaknya, seorang pematung tradisional yang sedang menyiapkan ornamen sebuah gereja, bersikap sebaliknya. “Tidak ada makan nasi! Berhenti dengan nasi. Makan sagu!” Perintah makan sagu itu ia ulang berkali-kali. Kadang-kadang ia tegaskan bahwa orang Kamoro itu makan sagu, bukan nasi.
Bapak itu tidak mengubah keputusannya. Anaknya yang berumur sekitar 8 tahun itu terus memaksa. Sampai dengan sekitar pukul 11 siang, ketika saya mengakhiri percakapan dan pamit, tidak ada izin keluar untuk makan nasi. Anaknya sudah berhenti menangis.
Piring warna biru dengan sagu di atasnya tidak tersentuh. “Makanan kami dari nenek moyang itu sagu. Baru kemudian kami mengenal beras,” katanya.
Kondisi yang ia sesalkan adalah perubahan kecenderungan pilihan di antara generasi yang lebih muda. Mereka lebih banyak mengonsumsi nasi daripada sagu. Dan, lebih mudah mendapatkan beras karena dipasok oleh pemerintah lewat program beras untuk rakyat miskin atau raskin.
Sedangkan sagu harus diusahakan selama beberapa hari di hutan sagu yang berjarak cukup lumayan dari permukiman saat ini. Beras datang sendiri, sedangkan sagu mesti dipetik.
Apakah sagu betul-betul ditinggalkan? Saya kira tidak. Tapi jawaban tidak ini masa berlakunya adalah 10 tahun yang lalu. Boleh jadi kurang tepat untuk sekarang ini.
Selama dua minggu tinggal di Kokonao dalam rangka menyiapkan pameran ukiran seniman Kamoro, saya lebih banyak menyantap sagu. Seperti anak kecil yang terheran-heran dengan suatu yang baru, saya penasaran dengan sagu. Sehari-hari saya makan nasi.
Maka, selama di Kokonao saya merasa harus memuaskan diri dengan olahan sagu. Lauk yang menemani bergantian antara ikan, udang, dan kepiting —disebut karaka oleh penduduk lokal. Sekali saya mencoba tambelo yang baru diangkat dari kayu mangi-mangi (mangrove) yang tumbang dan mulai membusuk.
Keluarga Anselmus, yang rumahnya sejajar dengan pondok Kal Muller dimana saya tinggal, saya amati berbeda. Anak-anaknya, ketika baru saja menerima uang dari hasil penjualan patung ayahnya, lekas pergi ke Kios Ujung untuk membeli gula, kopi, mie instant, rokok, dan beras.
Dalam beberapa hari, tampak menyantap mie instant menjadi kebiasaan yang wajar. Termasuk menyantap mie instant diaduk dengan bumbu tanpa dimasak. Barangkali mereka menyantap sagu ketika saya tidak melihat atau mereka memakannya di dalam rumah mereka.
Di asrama yang diurus oleh suster-suster di Kokonao, ada jadwal anak-anak masak sagu. Ada beberapa kali dalam seminggu mereka makan sagu. Mereka juga makan nasi pada hari-hari yang lain.
Saya datang pada hari makan sagu—ini sebuah kebetulan sebab saya tidak merencanakan datang pada hari sagu. Makan malam kami pada malam itu adalah papeda dengan ikan kuah. Sekitar 60 siswa putra dan putri menyesakki ruang makan di asrama putri. Ruangan menjadi riuh.
Masing-masing siswa menghadapi piring makannya yang diluapi papeda dan sepotong ikan kuah. Siapa yang makan cepat, boleh mengacungkan tangan untuk meminta tambah. Tapi lauk ikan sepertinya tidak bersisa banyak.
“Mereka tetap makan sagu. Itu makanan pokok mereka. Kalau terus-terusan makan nasi, nanti bisa lupa dengan sagu, dengan budayanya sendiri,” kata suster pendamping asrama yang datang dari Sumatera Selatan. Ia sendiri baru belajar menikmati dan mengolah sagu setelah ditugaskan ke tempat itu.
Makan sagu itu bertujuan agar anak-anak tidak bergantung pada beras, tetapi tetap berakar pada budaya sendiri.
Di gudang dapur asrama tampak tumang-tumang sagu yang dibeli dari penduduk. Sedangkan lauk (ikan, kepiting, udang) diantar oleh warga pada siang atau sore hari. Tidak jarang suster memesan ikan ke penduduk. (Bersambung).