Oleh Johanes Supriyono
Antropolog
DI MASA silam sagu mendominasi diet orang-orang Kamoro. Itu adalah zaman ketika beras belum berada sedekat dan sebanyak sekarang ini. Demikian juga dengan mie instan, atau makanan olahan pabrik yang lain. Kenyataan yang berubah kemudian, yang saya saksikan sendiri sepuluh tahun yang lalu, sagu adalah salah satu pilihan di antara beras dan mie instan.
Dalam pengamatan di lapangan, mayoritas beras orang Kamoro berasal dari program pemerintah. Bukan hasil panen. Orang-orang Kamoro umumnya tidak bertani padi, meskipun saya sudah bertemu dengan seorang Kamoro di Iwaka yang mengaku sedang belajar bertani kepada keluarga transmigran di SP XVII.
Program beras untuk rakyat miskin (raskin), yaitu pemberian beras gratis oleh pemerintah, menjangkau sampai sejauh Kokonao. Dan, semakin distrik-distrik baru dibuka atau dimekarkan, semakin juga beras-beras itu bisa diakses. Sebab, biasanya pemerintah distrik bertugas untuk mendistribusikan beras bantuan pemerintah.
Karena disediakan oleh pemerintah secara cuma-cuma, yang diperlukan oleh penerima adalah sekadar memenuhi tuntutan administrasi dari pemerintah. Dan, soal ini pun lebih banyak menjadi kerepotan pegawai distrik daripada para penerima. Penting untuk dipahami juga bahwa mengurus beras rakyat dengan sukses menjadi catatan penting bagi keberhasilan kerja pemerintah di daerah yang sulit.
Angka-angka soal berapa ton beras yang berhasil didapatkan dan distribusikan menjadi dokumentasi yang sangat bermakna. Itu adalah bukti pemerintahan yang berhasil. Sebab, penyediaan beras secara besar-besaran itu nyaris ekuivalen dengan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan.
Akan tetapi, seperti yang kerap disadari banyak penduduk, kehadiran pemerintah di daerah-daerah yang sulit tidak sangat nyata. Kadang hanya berupa plank-plank papan kantor di depan bangunan yang sudah dikepung rumput menjulang. Tidak ada aktivitas di dalamnya. Tidak ada agenda kerja yang melibatkan rakyatnya. Orang menyebutnya sebagai pemerintahan di atas kertas: semua laporan belaka.
Beras miskin menjadi satu dari sedikit bukti kehadiran pemerintah di daerah-daerah yang sulit seperti Kokonao dan sekitarnya. Sepuluh tahun yang lalu saya menemukan bahwa beras menjadi salah satu simpul yang mengikat relasi pemerintah dengan orang-orang Kamoro.
Singkatnya, menurut cerita Pak Urbanus, penduduk setempat, sudah lebih dari satu tahun kantor distrik tidak buka. Generator listrik yang terletak di depan pastoran sudah lebih dari dua tahun tidak berfungsi. Tidak ada pasokan solar. Orang-orang mengeluhkan layanan kesehatan di Puskesmas.
Beras untuk rakyat sudah hampir satu tahun tidak datang. Orang-orang distrik tidak ada. Informasi ini dikonfirmasi oleh pastor paroki yang sudah mendengar bahwa para kepala keluarga sedang berencana untuk ke Timika demi mengurus beras jatah yang sudah tidak turun selama berbulan-bulan.
Energi pemerintah kitalebih besar dan lebih terarah untuk memproduksi pangan (beras) daripada produksi sagu. Sampai dengan tahun 2021, pemerintah terus mencetak sawah-sawah baru, seperti yang dilakukan di Merauke dan Nabire, untuk meningkatkan produksi padi. Merauke diproyeksikan menjadi lumbung padi Papua dalam beberapa tahun mendatang mengingat sekitar 1,2 juta hektar sawah menjadi target pembangunan di sana.
Sawah-sawah baru juga dicetak di Nabire dan kapasitas bendungan Kalibumi untuk irigrasi ditingkatkan sehingga mampu mengairi lahan 6.400 hektar. Bendungan irigasi juga dibangun di sebelah timur Kabupaten Nabire. Beberapa waktu yang lalu pemerintah melakukan panen raya di lahan 600 hektar di Merauke dan di Nabire yang dipotret sebagai keberhasilan pembangunan.
Jelas juga bahwa total produksi beras di Indonesia tercatat dari tahun ke tahun.Ketika produksi dalam negeri merosot, langkah impor bisa ditempuh supaya kecukupan pangan terjaga.Tidak saja lebih mudah, beras sebagai pangan mayoritas penduduk, lebih penting dipertimbangkan sebagai kebijakan.
Kelangkaan beras akan lebih berdampak serius. Sedangkan kelangkaan sagu —atau kelangkaan ubi yang sudah pernah terjadi di Kabupaten Yahukimo sekitar 15 tahun yang lalu— dapat digantikan dengan beras.
Dalam perjalanan waktu pembicaraan tentang pangan akan lebih banyak berkutat soal beras daripada ubi jalar, sagu, sukun, atau jenis pangan lain yang kadang lebih khas untuk kelompok-kelompok yang spesifik. Ini berarti beras barangkali menjadi topik nomor satu dan baru diikuti oleh jenis yang lain.
Barangkali kesadaran ini yang menuntun pemerintah daerah di Papua mengalokasikan dana Otonomi Khusus untuk kegiatan pencetakan sawah dan penanaman padi seperti di Distrik Kamu Utara, Kabupaten Dogiyai tahun 2018. (Bersambung)