Sagu dan Beras: Ketersingkiran dan (Kemungkinan) Kebangkitan Pangan Lokal (Bagian Kedelapan) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Sagu dan Beras: Ketersingkiran dan (Kemungkinan) Kebangkitan Pangan Lokal (Bagian Kedelapan)

Sejak beberapa tahun silam, Papua menjadi salah satu wilayah transigrasi. Lahan transmigrasi menyebar di sejumlah wilayah kabupaten di tanah Papua. Sumber foto ilustrasi: Kompas.com, 7 Juni 2015

Loading

Oleh Johanes Supriyono
Antropolog

MENGAPA transmigran lokal tidak bertahan? Ferdinand, orang asli Papua yang pernah mengikuti program transmigrasi lokal di Topo SP IV bercerita pada siang hari di Kali Harapan, Nabire. Ia bertutur soal alasannya bergabung dalam program transmigrasi lokal. Ia ingin hidupnya maju dengan belajar berbagai keterampilan. Ada keluarga-keluarga Papua yang lain di tempatnya.

Orang-orang di SP sebagian besar berasal dari Jawa. Sehari-hari di antara mereka bercakap-cakap dalam bahasa jawa. Ferdinand, juga orang asli Papua lain di situ, tidak ada yang mengerti. Mereka memutar lagu-lagu campur sari. Orang-orang Papua, yang jelas lebih sedikit jumlahnya, di antara para migran dari luar itu menjadi kelompok minoritas yang kesulitan untuk beradaptasi dengan kultur baru yang dibawa oleh para transmigran. Dalam hati, Ferdinand pernah bertanya-tanya: Mengapa harus kami yang terpaksa mengadaptasi budaya mereka? Mengapa bukan mereka yang belajar budaya kami di sini?

Pada siang terik di ruang depan kantor sebuah LSM itu, ia mengudar keseharian di permukimannya, sembari sebentar-sebentar mengisap rokoknya. “Dong gotong-royong perbaiki rumah itu hanya dorang sendiri. Dong pu alat-alat kerja juga lengkap. Dong pu tukang ada. Macam kita ini tidak tahu mau bantu apa. Lihat-lihat saja dari jauh. Kami orang Papua ini tra tahu bikin rumah. Maka, ya kami bikin yang kami bisa. Alat-alat tukang juga tra punya. Baru begini kitong biasa lihat dong pu rumah-rumah,” katanya.

Meski berada di kompleks yang sama, orang-orang Papua dan orang-orang non-Papua seperti hidup dalam dua ruang yang terpisah. Dalam aktivitas sehari-hari tidak banyak saling sapa. Kurang saling memperhatikan. Lebih terasa saling curiga dan cenderung berjarak.

Perlahan-lahan rumah-rumah para pendatang menjadi lebih bagus. Sedangkan rumah orang asli Papua begitu-begitu saja. Rumah-rumah pendatang dilengkapi dengan televisi dan sepeda motor. Sedangkan rumah orang-orang Papua masih bertahan sama dan perlahan melapuk. Kenyataan yang ditemukan Ferdinand adalah kesenjangan antara orang asli Papua dengan para pendatang. “Kami rasa minder. Satu-satu kami pergi. Sa juga pergi kemudian,” katanya.

Setting sosial di area transmigrasi itu “berhasil” menempatkan orang-orang asli Papua di pinggiran. Ini adalah keberhasilan yang menyakitkan bagi pihak orang asli Papua, tetapi bagi para migran kenyataan itu mengukuhkan klaim yang sudah dipercaya sebelumnya bahwa orang pendatang lebih maju atau lebih unggul. Sembari demikian, kenyataan itu ditafsir mengonfirmasi cerita-cerita penuh prasangka tentang orang-orang Papua yang tertinggal atau terbelakang. Maka, ketika saya kembali merasa-rasakan cerita Ferdinand, setting pertemuan budaya model transmigrasi itu justru menjadi sejenis pengadilan di mana ia bertatap dengan pandangan-pandangan yang menghakimi.

Bagi Ferdinand –mungkin juga dialami oleh rekan lainnya– setting sosial di area transmigrasi kurang menguntungkan karena justru membuat dirinya merasa kecil, kalah, serta inferior. Yang paling menyakitkan: mereka adalah tuan tanah yang berubah menjadi tamu asing di tanah sendiri.

Meskipun barangkali dirancang sebagai strategi untuk memberdayakan orang asli Papua, seperti juga proyek-proyek pembangunan bertahun-tahun setelahnya, program transmigrasi menjelma menjadi pukulan yang serius. Di sana orang-orang Papua justru terasing, menjadi minoritas, menempati lapisan bawah dalam lapisan sosial, dan kurang berdaya. Seperti yang saya saksikan sendiri, SP dalam perjalanan sejarah berkembang sebagai ruang hidup (lanskap) yang kurang ramah bagi orang Papua. Dalam konteks ini, saya menilai pembangunan di Papua adalah sebuah paradoks yang menyakitkan bagi orang-orang Papua.

Namun, untuk sebagian orang, seperti Pak Win dan Pak Darma dan banyak yang lain, transmigrasi membawa harapan. Mereka menjadi lebih sejahtera. Generasi mereka selanjutnya memiliki masa depan baik. Anak Pak Win dan Pak Darma, semua lahir di Papua, bisa menempuh pendidikan tinggi dan kemudian menjadi ASN. Ini tidak mengingkari kenyataan sekian keluarga yang gagal di rantau dan terpaksa memilih kembali ke kampung asal, seperti sebagian besar transmigran di Karadiri II. (Bersambung)

Tinggalkan Komentar Anda :