Oleh Dr Agus Sumule
Dosen Universitas Papua
PADA tahun 2001 Prof Chris Ballard, ahli sejarah Australian National University menerbitkan tulisannya berjudul AFR Wollaston and the ‘Utakwa River Mountain Papuan’ Skulls (AFR Wollaston dan Tengkorak ‘Orang-orang Papua Sungai Utakwa Pegunungan’) di The Journal of Pacific History, Volume 36. Artikel ini adalah ringkasan dari tulisan tersebut.
Tulisan Prof Ballard itu memberikan penjelasan tentang ekspedisi-ekspedisi ke New Guinea Belanda (sekarang Tanah Papua) oleh persatuan ahli ornitologis (burung) Inggris (British Ornithologists Union-BOU) dan Wollaston pada kurun waktu tahun 1910-1913.
Tujuan berbagai ekspedisi ini sesungguhnya adalah untuk mendaki gunung es yang sudah pernah dilaporkan oleh Jan Carstensz tahun 1623. Ketika itu kapalnya menyusuri pantai Selatan Papua dan ia bisa melihat puncak gunung yang ditutupi es di suatu pagi yang cerah.
Ekspedisi BOU tidak direncanakan dengan baik sehingga tidak berhasil mencapai puncak gunung. Salah seorang anggota ekspedisi itu, Alexander Frederick Richmond Wollaston (1975-1930) kembali ke Mimika pada tahun 1912, dengan tim yang lebih kecil.
Wollaston bersama-sama dengan pejabat militer Belanda Letnan van der Water, ahli biologi C Boden Kloss dan sejumlah tentara Belanda. Wollaston bersama kawan-kawannya menyusuri sungai Setakwa dan Utakwa (Otakwa) untuk menuju ke puncak Carstensz.
Dalam perjalanan mendaki pegunungan, ketika mereka mendirikan basecamp pada ketinggian 2.300 kaki, mereka bertemu dan diterima oleh masyarakat Amungme yang berasal dari wilayah Kelangin di lembah Tsinga bagian bawah. Karena tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, Wollaston menyebut masyarakat ini dengan “Orang-orang Papua dari Sungai Utakwa Bagian Pegunungan.”
Dengan orang-orang Amungme ini sebagai penunjuk jalan, mereka akhirnya sampai di lembah utama Tsinga, setelah sebelumnya melewati beberapa perkampungan besar orang Amungme.
Pada bulan Januari 2013, Wollaston dan van de Water, dengan dibantu oleh beberapa orang Amungme berhasil memanjat tebing sampai ke bagian paling bawah dari puncak es itu. Karena terbatasnya peralatan, mereka kembali ke pesisir Mimika. Tanggal 3 April mereka berlayar pulang ke London, Inggris.
Walaupun Wollaston berencana untuk kembali lagi ke Carstensz, tetapi hal itu tidak terjadi. Ia mati dibunuh oleh seorang mahasiswa di Universitas Cambridge tahun 1930. Tahun 1936, dengan melalui Lembah Waa, sekelompok kecil pemanjat tebing asal Belanda yang dipimpin oleh Anton H Colijn berhasil menjejakkan kaki di puncak-puncak Carstensz yang ditutupi es.
Para peneliti dari ekspedisi BOU mapun Wollaston ternyata membawa pulang sejumlah artefak –termasuk sejumlah kerangka tulang tubuh manusia. Yang banyak dibawa oleh ekspedisi BOU adalah tengkorak-tengkorak orang Kamoro dari daerah pantai. Bahkan ada catatan yang mereka buat tentang bagaimana mayat manusia Kamoro diperlakukan pada saat itu.
Walaupun Wollaston tidak mencatat tentang tengkorak orang-orang dari Pegunungan yang tubuhnya lebih kecil dari penduduk pesisir Mimika, tetapi di dalam catatan yang dibuat oleh WP Pycraft, seorang ahli antropologi fisik, yang berjudul Reports on the Collections Made by the British Ornithologists’ Union Expedition and the Wollaston Expedition in Dutch New Guinea, 1910-13 (Laporan tentang Koleksi Yang Dikumpulkan oleh Ekspedisi BOU dan Wollaston di New Guinea Belanda, 1910-13) yang dipublikasikan pada tahun 1916, diketahui bahwa ada sejumlah tengkorak yang berasal dari orang-orang Amungme. Tengkorak-tengkorak itu sekarang disimpan sebagai koleksi antropologi di Natural History Museum, London, Inggris.
Menurut Pycraft, total terdapat 16 tengkorak yang dikumpulkan oleh BOU dan Wollaston. Dua tengkorak berasal dari Sungai Kapare, Kampung Wakatimi; 8 tengkorak dari Sungai Mimika, Kampung Karimau; 5 tengkorak berasal dari Sungai Utakwa –semuanya diasumsikan adalah orang-orang Amungme dari Lembah Tsinga; dan 1 tengkorak dari Sungai Digul, mungkin berasal dari sebuah kampung Asmat.
Dari ke-16 tengkorak tersebut, tiga di antaranya adalah tengkorak anak-anak. Ada pula tengkorak perempuan dewasa, dan laki-laki dewasa. Semuanya telah dicatat dan dianalisis oleh Pycraft.
Ketika Prof Ballard mewawancarai Noragame Beanal dan beberapa tetua Amungme yang lain pada tahun 1997, ia memperoleh banyak informasi berdasarkan ingatan dan cerita turun temurun para tokoh tersebut tentang ekspedisi Wollaston, khususnya ketika para penjelajah dan peneliti tersebut membangun camp di Tsinga dan memanjat dinding-dinding pegunungan yang curam untuk sampai ke daerah yang ditutupi es.
Cerita yang dikisahkan oleh para tetua Amungme itu banyak diwarnai dengan peristiwa-peristiwa kematian yang terjadi, khususnya akibat penyakit yang diderita oleh orang-orang Amungme yang turun ke dataran rendah. Bahkan Nigak-ki dari keret Natkime menceritakan bahwa ketika orang-orang dari pegunungan turun ke pesisir untuk mencari keluarga mereka yang tidak kembali, mereka menemukan sejumlah jenazah yang sudah tidak berkepala.
Bisa dipastikan bahwa tengkorak-tengkorak itu dibawa ke London tanpa izin dari masyarakat Amungme dan Kamoro pada saat itu. Sesudah disusun di rak-rak museum selama lebih dari 100 tahun, sudah saatnya mereka dibawa pulang dan dimakamkan secara terhormat di kampung halaman mereka masing-masing.
Pertemuan antara para tokoh Amungme dan Kamoro dengan Yayasan PMAK baru-baru ini seyogyanya mempertimbangkan agar tubuh para leluhur Amungme dan Kamoro ini bisa dijemput secara terhormat.