Oleh Hani S Sawasemariai
Peneliti Parrhesiastes, Salatiga, Jawa Tengah
SAAT ini tanah Papua tengah jadi perbincangan hangat. Bukan sekadar di tingkat lokal dan nasional namun juga di kancah global. Tanah Papua memiliki aneka kekayaan alam melimpah. Di lain sisi, isu bumi Cenderawasih sedikit berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Konflik perebutan wilayah-wilayah sumber kekayaan alam terus membelit Papua saban waktu.
Pun penguasaan hutan oleh berbagai perusahaan nasional yang berlindung di balik korporasi dunia tak akan menepi. Tak berlebihan tanah Papua ibarat perawan yang mempesona dikelilingi pria lajang yang tengah dimabuk asmara. Kekayaan alam yang membentang di atas bahkan di bawah perut bumi ‘potongan Surga’ itu membuat ‘sang gadis’ (tanah Papua) jadi rebutan ‘perjaka’ (baca: korporasi) tak hanya lokal namun global.
Bagi orang asli Papua, tanah yang subur adalah mama, ibu bumi pemberian sang Pencipta. Karena itu, dalam konteks keyakinan orang asli ‘mama; harus dirawat dan dijaga tanpa dilukai. Dari mama (tanah) ada berlimpah makanan. Dari ‘mama’ pula anak-anak bisa hidup dengan mengolah tanah itu. Bentang alam dengan kekayaan hutan, gunung, ngarai, danau, dan rawa di atasnya mesti dijaga agar merawat kelangsungan hidup penghuninya. Namun, kini perlawanan warga mulai muncul.
Gugatan warga
Belum lama ini, masyarakat adat Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya melayangkan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka (tempo.co, 5 Juni 2024).
Gugatan itu berlanjut sampai di Mahkamah Agung. Gugatan diajukan terhadap PT Kartika Cipta Pratama (KCP) dan PT Megakarya Jaya Raya. Dua perusahan sawit itu akan melebarkan sayap usahanya di hutan miliki Suku Awyu, Boven Digoel.
Pejuang lingkungan dari Suku Awyu menurut Hendrikus Woro, menggugat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua karena Pemprov memberikan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Izin tersebut mencakup lahan seluas 36.094 hektar atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta. Lahan tersebut berada di hutan adat milik marga Woro, bagian Suku Awyu.
Suku Awyu mendiami wilayah pesisir selatan Papua, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Digoel. Letaknya sekitar sebelah barat Tanah Merah, Kabupaten Merauke. Suku ini tinggal di beberapa desa di Kecamatan Edera, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Di sebelah selatan daerah itu ditempati orang Yahrai dan di sebelah baratnya orang Muyu.
Jumlah populasi Suku Awyu sekitar 20-an ribu jiwa. Masyarakat adat Awyu umumnya hidup sebagai peramu dan pemburu. Makanan utama masyarakat adat suku ini adalah sagu serta ikan dan udang yang ditangkap langsung dari sungai. Namun, kehadiran korporasi besar sawit itu dikhawatirkan akan menimbulkan laju deforestasi dan degradasi lingkungan.
Pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan dapat berujung hilang atau musnahnya hutan secara perlahan. Penebangan hutan membabi buta dikhawatirkan berdampak terjadinya erosi, hilangnya keanekaragaman hayati.
Pengembangan kelapa sawit juga dapat menyebabkan perubahan ekologi yang mengkhawatirkan suku-suku asli. Kualitas air di sekitar perkebunan akan menurun dan menjadi ancaman bagi warga suku asli yang tinggal di sekitar atau jauh dari perkebunan kelapa sawit. Tak sebatas itu. Saat terjadi kemarau panjang, akan menyulitkan warga mendapatkan air dengan kualitas baik.
Sikap pemerintah
Hadirnya berbagai korporasi di tanah Papua semisal di Boven Digoel mesti jadi perhatian pemerintah. Pemerintah pusat dan daerah harus menyikapi hal tersebut demi masa suku-suku asli dan masyarakat. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan serius posisi masyarakat adat serta hutan yang dimiliki.
Pemerintah mesti pula mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesinambungan hutan serta lahan milik suku-suku asli. Bukan sekadar mengejar benefit atas kehadiran korporasi yang bergerak di bidang usaha sawit.
Aspek lingkungan dan kesehatan tak diabaikan begitu saja hanya sekadar mengejar profit sedang masyarakat lokal berada dalam intaian dan bayang-bayang kehilangan sumber kehidupan dan akibat kerusakan lingkungan.
Dalam konteks pembangunan daerah, aspirasi masyarakat tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Masyarakat lokal selaku pemilik sumber daya alam dan para stakeholder wajib dilibatkan dalam berbagai proses dan tahapan perencanaan pembangunan. Perencanaan merupakan aspek penting dalam proses pembangunan.
Winston Churchill, ahli strategi Perang Dunia II menyatakan, if you fail to plan, you plan to fail. Artinya, dalam perencanaan pembangunan warga masyarakat lokal wajib dilibatkan. Bila abai, kegagalan menjemput. Kegagalan dalam proses perencanaan sama halnya merencanakan kegagalan itu sendiri/
Dengan pelibatan masyarakat dalam perencanaan, perumusan maupun dalam implementasi kebijakan tertentu akan membuat setiap program menjadi terukur dan tepat sasaran karena program-program yang dihasilkan mengakomodir kepentingan masyarakat sendiri.