Oleh Paskalis Kossay
Tokoh Masyarakat dan mantan Anggota DPR RI Dapil Papua
OTONOMI Khusus (Otsus) Papua sudah berlangsung selama 23 tahun sejak diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Adapun amanat mulia dari Undang-Undang Otsus ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan membuka infrastruktur dasar dalam rangka pembukaan isolasi wilayah dan pemerataan pembangunan wilayah.
Selain itu semangat atau roh penggerakan dalam pelaksanaan otonomi khusus diarahkan untuk perlindungan, pemberdayaan, dan penghormatan hak-hak dasar bagi masyarakat Papua selama rentang waktu 20 tahun masa pemberlakuan otonomi khusus.
Masa 20 tahun otonomi khusus jilid pertama sudah berakhir pada 21 November 2020 dan kini diberlakukan kembali 20 tahun jilid kedua melalui Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Keberhasilan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua dalam pelaksanaan otonomi khusus jilid pertama masih ditemui banyak masalah. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masih tertinggi di Indonesia.
Papua urutan terakhir yang tertinggi (26, 86 persen) dan Papua Barat (21,84 persen) dari rata-rata nasional 10,14 persen (BPS 2021-2023). Sedangkan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat juga masih terendah di Indonesia. Papua menduduki urutan terakhir yang terendah (60,84) dan Papua Barat urutan kedua terakhir (64, 71) dari rata-rata nasional 71,9 (BPS, 2019).
Stabilitas politik
Selain itu masalah sosial (kependudukan), politik dan keamanan masih memiliki tingkat eskalasi tertinggi di Indonesia. Stabilitas politik dan keamanan selalu terganggu. Konflik sosia dan konflik bersenjata terus muncul secara fluktuatif pada umumnya menghadirkan tingkat kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tertinggi di Indonesia.
Situasi ini tidak pernah ditangani dengan serius oleh pemerintah. Pemerintah selalu mengabaikan penyelesaian masalah-masalah sosial, politik dan keamanan secara serius dan tuntas. Malah Pemerintah cenderung mendorong kebijakan yang berbenturan dengan kondisi masalah di lapangan sehingga semakin memperparah masalah.
Pemerintah lebih mengedepankan pembangunan fisik dalam rangka mengejar pemerataan hasil-hasil pembangunan. Sementara itu pemerintah mengabaikan pembangunan manusia papua itu sendiri. Pembangunan hak-hak dasar orang asli papua justru terabaikan atas nama mengejar pemerataan pembangunan fisik semata.
Hak-hak dasar orang asli Papua di bidang politik, sosial, dan ekonomi diabaikan dan dirampas oleh mereka yang punya hak kesulungan. Maka dengan sendirinya posisi orang asli Papua menjadi tersisih dari hak kesulungannya. Hal ini menjadi beban dalam mempertahankan eksistensi dan martabat serta harga diri orang Papua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini.
Dalam hal-hal politik praktis serta persaingan ekonomi misalnya, konfigurasi posisi politik di lembaga legislatif mulai dikuasai oleh masyarakat non asli Papua. Demikian pula penguasaan bidang ekonomi didominasi masyarakat non asli Papua. Selain itu dalam bidang lain seperti lowongan penerimaan CPNS, pengisian dalam struktur birokrasi pemerintahan daerah, posisi orang asli Papua semakin terpinggirkan.
Padahal Undang-Undang Otonomi Khusus sudah jelas-jelas mengamanatkan untuk mengutamakan kepentingan orang asli Papua dalam seluruh aspek kebijakan pemerintah. Termasuk kebijakan pengisian struktur pemerintahan dalam daerah otonom baru (DOB) dan rekrutmen politik pemilihan kepala daerah seharusnya diutamakan bagi orang asli Papua.
Sebab secara normatif dan Konstitusional sesungguhnya otonomi khusus bersifat lex specialis, sehingga dengan dasar lex specialis tersebut kepentingan Papua mestinya diproteksi sebesar-besarnya bagi kepentingan orang asli Papua. Hal ini bukan tindakan tindakan diskriminatif bagi sesama warga negara, akan tetapi memang merupakan kewajiban negara yang harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi khusus yang bersifat lex specialis tersebut.
Sebenarnya pemerintah sadar bahwa pelaksanaan otonomi khusus papua belum begitu maksimal dalam pemberdayaan bagi masyarakat Papua. Karena itu maka banyak kebijakan baru yang dimunculkan dalam mendorong efektivitas pelaksanaan otonomi khusus. Seperti kebijakan yang terkini, Pemerintah membentuk Badan Pengarah Percepatan Pelaksanaan Otonomi khusus Papua dan Papua Barat (BP3OKP) dan kebijakan pembentukan empat provinsi baru sehingga tanah Papua sudah menjadi enam provinsi.
Namun demikian masalah-masalah krusial masih tetap melilit kuat dalam kehidupan orang asli Papua. Misalnya, hak-hak dasar politik orang asli Papua, ekonomi kerakyatan orang asli Papua, eskalasi kekerasan dan konflik bersenjata masih berada pada tataran potensi rawan. Jika tidak segera ditangani baik, maka peluang terciptanya konflik horizontal lebih besar.
Oleh karena itu pemerintah seharusnya segera merespon desakan dan aspirasi rakyat papua dimana akhir-akhir ini sedang disuarakan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) seluruh tanah Papua dengan kebijakan baru yang mereduksi dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua atau melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Otonomi khusus.
Mestinya pemerintah harus berpikir lebih serius lagi bagaimana kebijakan penanganan masalah-masalah Papua yang hingga saat ini belum sampai tuntas. Biarpun rezim berganti rezim pemerintahan, jika masalah-masalah krusial Papua tidak pernah ditangani tuntas, maka masalah papua tetap menggerogoti bagaikan bisul yang bernanah dalam tubuh Indonesia.
Oleh karena itu pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diharapkan mampu melahirkan konsep kebijakan baru yang lebih efektif menyelesaikan masalah-masalah Papua.