Oleh Muhammad Rifai Darus
Mantan Ketua Umum KNPI dan Tokoh Muda NU
INDONESIA kembali memasuki musim politik yang penuh dinamika. Kita semua tahu bahwa perjalanan menuju kursi kepresidenan adalah sebuah pertarungan yang sarat dengan strategi, manuver serta koalisi. Namun, jarang ada yang membicarakan sebuah formula yang bisa menyatukan berbagai elemen dan variabel ini dalam sebuah paket yang harmonis.
Di tengah kegaduhan dan rivalitas, muncul sebuah wacana yang menjanjikan: menggandeng dua tokoh kepala daerah yang baru saja demisioner, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil, sebagai pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Mengapa Ganjar dan Ridwan?
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, adalah sosok yang dikenal karena kemampuannya membangun dialog antara pemerintah dan rakyat. Di satu sisi, Ganjar bisa diterima oleh berbagai kalangan karena pendekatannya yang merakyat. Di sisi lain, ia juga memiliki rekam jejak yang memadai dalam hal pemerintahan, termasuk peningkatan pelayanan publik dan infrastruktur di Jawa Tengah.
Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, adalah seorang arsitek yang berhasil mengubah wajah Jawa Barat melalui serangkaian proyek infrastruktur yang inovatif. Selain itu, gayanya yang modern dan progresif membuatnya disukai oleh generasi muda.
Menggabungkan keduanya dalam satu pasangan calon akan menciptakan sebuah tim yang tidak hanya kuat dari segi elektoral tetapi juga kompetensi dan keberagaman.
Elektoral yang Sempurna?
Saat ini, koalisi pendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden baru berisikan dua partai, yaitu PDIP dan PPP. Namun, wacana untuk memasukkan Partai Demokrat dalam koalisi ini adalah sebuah langkah yang bisa mengubah peta elektoral.
Di Jawa Tengah, sebagai mantan gubernur, Ganjar Pranowo memiliki basis kuat di sini. Sedangkan di Jawa Barat, Ridwan Kamil akan menyokong dari Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Kemudian di Jawa Timur, dengan masuknya Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), koalisi ini akan memiliki peluang untuk menarik suara di Jawa Timur, terutama jika AHY ditempatkan sebagai Ketua Tim Pemenangan.
Di tengah-tengah cangkang politik tradisional yang kerap kali bersifat reaktif, adanya sosok-sosok pemimpin seperti Ganjar, Ridwan, dan AHY mengembalikan harapan publik akan terciptanya paradigma baru dalam politik Indonesia.
Mereka menghadirkan aura kebaruan, sebuah kombinasi langka antara karisma, teknokrasi, dan dedikasi yang sungguh-sungguh untuk reformasi.
Ketika kita menilik lebih dalam, realitas yang ada menunjukkan bahwa kolaborasi semacam ini merupakan respons atas seruan generasi muda yang haus akan inovasi namun tetap menghargai nilai-nilai tradisi.
Sebagai negara dengan demografi muda yang dominan, Indonesia memerlukan navigasi kebijakan yang lincah, memadukan kebijakan yang cepat tanggap terhadap perkembangan zaman dengan pemahaman mendalam tentang budaya dan sejarah bangsa.
Dalam konteks ini, kolaborasi antara tiga tokoh ini, yang masing-masing membawa kekhasan dan kekuatan tersendiri, menjadi semacam ‘eliksir’ yang mampu merespon keragaman aspirasi masyarakat.
Mereka mewakili gambaran ideal dari pemimpin yang mampu menafsirkan dinamika global dalam konteks lokal, serta mengedepankan kebijakan yang inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Namun, tentu tidak semua jalan menuju transformasi akan mulus. Dalam era post-truth, di mana informasi bisa dengan mudah dimanipulasi dan disebarkan, integritas dan transparansi menjadi ujian utama. Pemimpin masa depan harus mampu berkomunikasi dengan efektif, menjembatani polarisasi, dan membangun kepercayaan.
Pada akhirnya, meski tiga tokoh ini menjadi simbol harapan, realisasi dari aspirasi-aspirasi tersebut bergantung pada bagaimana mereka, bersama pemangku kepentingan lainnya, mampu menyusun strategi, beradaptasi, dan terus berinovasi dalam menjawab tantangan.
Semua mata tertuju pada mereka, dan hanya waktu yang akan menentukan apakah mereka benar-benar bisa membawa Indonesia melangkah maju menuju era baru politik yang lebih matang, inklusif, dan berkeadilan.
Dalam sebuah arena politik, meski para aktor muda sering menjadi pusat perhatian, tetapi sutradara yang memegang kendali penuh atas skenario sering kali adalah tokoh-tokoh senior yang memiliki pengalaman, wawasan, dan pengaruh yang mendalam.
Dalam konteks kolaborasi Ganjar, Ridwan, dan AHY, peran dari Ibu Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, dua tokoh sentral dan mantan presiden, tidak bisa diabaikan. Sebagai mantan presiden, keduanya memahami betul tantangan dan peluang yang ada dalam pemerintahan.
Mereka tahu bagaimana bermain dalam medan politik yang penuh dengan dinamika dan intrik. Sehingga, sikap dan kemauan politik dari kedua tokoh senior ini akan menjadi kunci dalam menentukan apakah kolaborasi antara tiga tokoh muda tadi dapat terwujud dan berjalan dengan harmonis.
Dengan kata lain, keberhasilan kolaborasi ini sangat bergantung pada sejauh mana kedua tokoh senior ini bisa melihat ke depan, menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya, dan memberi ruang bagi generasi baru untuk berkembang dan berkontribusi.