BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uncen dan Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik Bedah Investasi Tebu di Papua Selatan - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uncen dan Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik Bedah Investasi Tebu di Papua Selatan

Webinar Sesi 2 bertajuk Buta Dalam Juta–Debu Dalam Tebu: 2 Juta Hektar Perkebunan Tebu Di Merauke, Ada Udang Di Balik Batu? yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Cenderawasih bekerja sama dengan Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Rabu (3/7). Foto: Istimewa

Loading

SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis (BEM FEB) Universitas Cenderawasih (Uncen) bekerja sama dengan Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Rabu (3/7) menyelenggarakan webinar Seri 2 terkait investasi tebu di Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Dalam diskusi bertajuk Buta Dalam Juta–Debu Dalam Tebu: 2 Juta Hektar Perkebunan Tebu Di Merauke, Ada Udang Di Balik Batu? hadir sejumlah tokoh dan aktivis lingkungan guna menyoroti hadirnya dua juta hektar kebun tebu yang dinilai nihil memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat adat di Merauke.

Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Melkior NN Sitokdana, S.Kom, M.Eng dalam webinar tersebut mengatakan, hutan bagi orang Papua bukan sekadar Identitas tapi juga jantung kehidupan karena orang Papua memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari melalui hutan. 

“Hutan itu identitas orang Papua. Pemanfaatan 2 juta hektar lahan untuk kebun tebu berpotensi mengancam eksistensi masyarakat adat di Merauke karena mereka hidup atau mencari makan atau berburu bersumber dari kemurahan hutan adatnya,” ujar Melkior Sitokdana yang juga dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) kepada Odiyaiwuu.com dari Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (4/7).

Pernyataan Sitokdana juga diakui narasumber yang juga peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Dorthea Wabiser, dalam diskusi tersebut. Dorthea menegaskan, masyarakat adat hadir karena ada hutan adat yang dilindungi dan diwariskan turun temurun oleh leluhurnya. 

Karena itu, kata Dorthea, eksistensi dan hak-hak masyarakat adat harus diakui dan pemanfaatan lahan mereka dilakukan secara transparansi sebelum lahannya digunakan sesuai Undang-Undang yang mengatur tentang masyarakat adat

“Dua juta hektar kebun tebu di Merauke sesungguhnya berpengaruh pada eksistensi masyarakat adat karena lahan itu tempat di mana masyarakat mencari makan. Kemudian 58.148 hektar digunakan menjadi kebun tebu. Itupun 40 persen atau 25.654 merupakan kawasan hutan lindung,” ujar Dorthea.

Jurnalis perempuan Papua Selatan Alfonsa J Wayap yang akrab dengan liputan isu lingkungan dan kehutanan mengatakan, jika hutan di Merauke terus dibabat dan dialihfungsikan berpotensi mendatangkan bencana dan krisis lingkungan.

Pasalnya, proyek kebun tebu itu dibangun tak jauh dari dua sungai besar yang memberikan kehidupan bagi masyarakat adat, tumbuhan, hewan dan seluruh makhluk yang hidup di wilayah tersebut. Jika hutan terus dibabat, masyarakat yang hendak mencari sumber penghidupan akan gigit jari. 

“Saat ini sudah dirasakan dampaknya. Kabupaten Merauke selalu dijuluki sebagai kota rusa tapi sekarang mau mendapat buruan rusa saja masyarakat lokal perlu perjuangan untuk mencari ke tempat yang jauh. Apalagi air tercemar oleh limbah dan hal lainnya tentu sangat berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat adat setempat,” ujar Alfonsa.

Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Merauke se-Jayapura Kasimirus Chambu mengungkapkan fakta bahwa sejumlah perusahaan dan kementerian dan lembaga terkait tidak melakukan mekanisme FPIC di lapangan. Termasuk dokumen analisis dampak lingkungan dan sosial serta manajemen pengelolaan hingga pembagian manfaat hutan dan sebagainya. 

“Kami tolak kebun tebu seluas dua juta hektar. Sejak awal pemerintah abai melakukan mekanisme FPIC atau dokumen pemerintah yang melakukan kajian tentang analisis dampak sosial, lingkungan hidup, manajemen pengelolaan hingga pembagian hasil yang tidak transparan terhadap masyarakat adat yang mempunyai tanah itu sendiri,” kata Kasimirus.

Dampak pemanfaatan lahan secara membabi buta juga akan memicu terjadinya ekosida, etnosida dan risiko pelanggaran HAM yang merugikan masyarakat Malind. Proyek dua juta hektar lahan tebu, tegasnya, tidak bermanfaat bagi masyarakat Malind.

“Proyek tebu hanya akan menimbulkan konflik hak atas tanah dan menguntungkan pemilik modal, korporasi, dan oligarki. Seharusnya pemerintah membangun ekonomi kerakyatan yang berpihak pada orang asli Papua yang menyasar petani dan buruh secara adil, bermartabat, dan sustainable,” ujar Kasimirus. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :