Oleh Ben Senang Galus
Penulis buku Demokrasi Bumi dan Air;
Tinggal di Yogyakarta.
DALAM Ensklik Laudato Si’, tahun 1971 Paus Fransiskus menulis, “delapan tahun setelah Pacem in Terris, Paus Paulus VI berbicara tentang masalah ekologi sebagai ‘akibat tragis‘ dari aktivitas manusia yang tak terkendali. Karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil risiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini. Kemungkinan bencana ekologis sebagai akibat peradaban industri, dan menekankan kebutuhan mendesak akan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia, karena kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral yang otentik, akhirnya akan berbalik melawan manusia”.
Para penguasa, bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarah bumi Cenderawasih. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan.
Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.
Biaya demokrasi
Krisis ekologi, ekonomi, dan krisis-krisis lain tidak berdiri sendiri. Semuanya tidak dapat berdiri sendiri karena mahalnya biaya demokrasi pilkada, pilpres sebagai sebab kemungkinan. Demokrasi membutuhkan biaya besar. Karena membutuhkan biaya besar, mau tidak mau para penguasa lokal atau nasional harus mengkapitalisasi alam, mengeruk perut bumi bumi Papua, dengan cara, merampas otensitas alam untuk kenikmatan kekuasaan. Pendek kata demokrasi kita saat ini adalah demokrasi fosil.
Bedanya dengan demokrasi “hutan kayu” berbahan baku dari kayu. Tapi bahayanya sama. Sama-sama merusak alam dan mendatangkan penyakit. Demokrasi “hutan kayu”, bisa mendatangkan berbagai penyakit yang menyerang organ tubuh manusia dan hewan. Penyakit kemiskinan, kebodohan, korupsi bahkan tercerabutnya relasi orang Papua dengan ekosistem hutannya. Aneka bencana lainya: mata air menjadi kering, tanah longsor, dan sebagainya.
Krisis ekonomi Papua saat ini bersumber dari energi berbahan bakar fosil alias demokrasi fosil. Hasil riset Göran Therborn dalam Cities of Power (1997) melukiskan, “democracy is viable only because of the elasticity and expansive capacity of capitalism.” Kata Therborn, ada korelasi kuat antara akumulasi kapital dan survival demokrasi, antara stagnasi ekonomi dan kegagalan demokrasi atau antara level pertumbuhan ekonomi suatu negara agtau daerah dan peluang melestarikan demokrasi.
Jika riset dan hasil kajian-kajian tersebut valid, akar berbagai krisis politik (demokrasi) masa datang di daerah kaya tambang, sperti Papua, bersumber dari krisis energi berbahan bakar fosil. Kapitalisme fosil bakal berakhir akibat pergeseran ke kapitalisme karbon rendah (low carbon economy), energi ramah lingkungan, dan konversi energi.
Maka, pilar-pilar demokrasi masa datang bakal berbasis pada mata rantai sosial-politik dari ekstraksi (tambang), produksi, distribusi, dan konsumsi energi ini. Evolusi, survival, dan konsolidasi demokrasi tidak luput dari pengaruh kapitalisme kolosal global ini. Jika pilar-pilar demokrasi Indonesia semakin terintegrasi sebagai subsistem kapitalisme pasar global, apa pun bentuknya, evolusinya bergerak ke arah demokrasi liberal (isme) fosil.
Bahan bakar fosil ini sebagai kapitalisme global, lokomotif pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan efisiensi sehingga konsolidasi demokrasi dan stabilitas politik sejumlah negara semakin bergantung pada strategi, ekstraksi, pasokan, produksi, konsumsi, dan harga bahan bakar fosil (Homer-Dixon, 2009). Kapitalisme fosil menggerakkan aktor-aktor dunia memperebutkan pemasok energi dunia.
Kapitalisme itu sebuah sistem ekonomi yang hubungan sosialnya ditentukan oleh kepemilikan pribadi terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tanpa kontrol sosial. Pekerjaan sehari-harinya memeras keringat manusia, meraup keuntungan darinya, mengeksploitasi isi alam Papua, sebanyak-banyaknya yang diinginkan tanpa memikirkan dampaknya, dan menumpukkan sebanyak mungkin hasil dari jerih payah manusia untuk keuntungan dan kebutuhan pribadi.
Kelimpahan produksi hasil dari kerja manusia ini pun tak diabdikan untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia, melainkan untuk keberlangsungan akumulasi keuntungan kekuasaan semata.
Manusia sedang menghadapi bencana besar dari sistem masyarakat kapitalis ini. Karena semaju apa pun pengetahuan dan alat kerja manusia, tidak ada sangkut pautnya dengan keberlanjutan dan pemerataan kesejahteraan manusia. Segelintir manusia yang bermodal besar, memiliki pabrik-pabrik dan perusahaan raksasa (gas, emas, kayu, dll), memiliki kepentingan lebih hebat dalam mengeksploitasi sumber daya alam Papua, sekadar demi akumulasi keuntungan dan perluasan modalnya.
Kenyataan picik sistem kapitalisme ini, diulas oleh Karl Polanyi (2001) yang merujuk pada kondisi Inggris pertengahan pertama abad kesembilan belas. Menurutnya, “sistem ini, yang mengatur kekuatan manusia (buruh) –yang menggunakan fisik, juga psikologi dan moralitas sejak lahirnya, ‘manusia’, label yang diberikannya. Perampokan yang dilindungi karena ditutupi oleh institusi budaya, mengakibatkan manusia akan binasa akibat berkembangnya permasalahan sosial. Mereka akan mati sebagai korban karena tergelincir oleh keadaan sosial yang sangat akut– masalah buruk, asusila, kejahatan, dan mati kelaparan. Alam akan mengurangi unsur lingkungan tempat tinggal, dan pencemaran alam, kotornya sungai, ancaman terhadap keamanan, kekuatan produksi pangan dan bahan mentah dihancurkan. Niscaya, buruh, tanah, dan peredaran uang menjadi unsur utama dalam ekonomi pasar. Tapi tidak ada masyarakat yang dapat tahan dengan akibat dari sistem tersebut melawan kerusakan akibat pabrik setan ini.”
Apa yang ditulis Polanyi ini, menunjukkan bahwa bahkan manusia (yang mayoritas) saja tidak menghiraukan kehidupannya akan dibinasakan kalau menghambat aktivitas akumulasi kekayaan pemilik modal. Apalagi terhadap alam yang jadi objek eksploitasi, memungkinkan perusakan lingkungan terjadi secara massal dan cepat.
Revolusi industri abad ke-17 hingga 18 di Eropa dan kapitalisme fosil (fossil-capitalism) memiliki pola hubungan historis dan signifikan melalui eksploitasi bahan bakar fosil. Akibatnya, zona-zona itu menjadi episentrum konflik dan ketegangan skala dunia seperti Irak, Afghanistan, Asia Tengah, Kuwait, Kaspia, Kosovo, dan zona Balkan. Zona Indonesia menjadi ajang perebutan akses minyak saat Perang Dunia II. Jepang merebut akses minyak asal Indonesia untuk membiayai ongkos perang dari Jepang di zona Asia dan fossil-capitalism. Imperialisme merupakan anak kandung dari globalisasi kapitalisme fosil karena akumulasi kapital hanya dapat dijamin oleh pasokan energi fosil dan akses yang konsisten ke sumber-sumber energi fosil (Altvater & Mahnkopft, 1997).
Mesin ekonomi
Dampaknya ialah lahirnya tata ekonomi-politik pasar dunia yang berbasis kapitalisme fosil. Kapitalisme fosil memacu Produk Dunia Bruto selama 100 tahun terakhir. Konsumsi energi naik. Artinya, ekonomi dunia naik, sementara konsumsi energi naik beberapa kali lipat dengan mayoritas konsumsi energi bahan bakar fosil. Akibatnya, tata sosial, politik, dan ekonomi setiap negara terorganisasi dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil.
Wajah transformasi revolusi industri adalah pembentukan wajah kapitalisme fosil. Dampaknya ialah kapasitas kinerja dalam merespons, merasionalisasi, mengorganisasi, mitigasi, dan menata kelola kendali krisis bahan bakar fosil menjadi barometer survival dan evolusi tata sosial-lingkungan suatu negara demokratis. Segala sektor aktivitas setiap negara terorganisasi melalui pasar bebas yang digerakkan oleh bahan bakar fosil.
Seluruh elemen industri seperti lahan, tenaga kerja, dan modal menjadi komoditi yang diperjualbelikan dan pola hubungan sosial-politik ditransformasi ke dalam pola-pola hubungan pasar. Pertumbuhan kapitalisme fosil tidak hanya mentransformasi tata kelola ekonomi negara-negara di dunia, tetapi juga tata kelola demokrasi dan masyarakatnya. Kapitalisme fosil menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan ideologi liberalisme.
Demokrasi liberal yang berkembang di Amerika Serikat dan negara Eropa selama ini mengagungkan kebebasan individu, rule of law, dan hak asasi manusia (HAM). Model demokrasi ini memiliki ikatan historis dengan pertumbuhan kapitalisme berbasis bahan bakar fosil (Marwan Ja’far, 2013). Karena tidak ada demokrasi liberal benar-benar eksis dan hidup di era ekonomi-politik pasar kapitalis berbahan bakar fosil (Macpherson, 2006).
Paul K. Gellert dalam Extractive Regimes: Toward a Better Understanding of Indonesian Development (2011) mengenalkan situsi pemerintahan Indonesia yang disebut sebagai extractive regime. “The extraction regime is a government regime which is supported by the extraction and export of various types of natural resource extraction as a basis for production and value accumulation.”
Rezim ekstraksi merupakan sebuah rezim pemerintahan yang ditopang ekstraksi dan ekspor beragam jenis ekstraksi sumber daya alam sebagai basis produksi dan akumulasi nilai. Indonesia, pasca tahun 1965, membuka pintu masuk modal asing ke Indonesia. Modal yang mayoritas datang dari Barat itu masuk ke negeri ini melalui UU PMA 1967.
Sasaran pertama PMA itu adalah tanah Papua (tambang emas Freeport). Pembangunanisme (developmentalism) mulai dijalankan dengan mengandalkan investasi modal asing dan pinjaman utang luar negeri. Sejalan dengan itu perusakan lingkungan tak luput dari sistem developmentalisme ini dan membahayakan masa depan anak cucu Papua.
Kriminalisasi petani
Keruntuhan rezim diktator Orde Baru, Mei 1998, menyongsong reformasi dan keterbukaan ruang demokrasi (yang setengah hati). Namun, bersamaan dengan itu, kekayaan dan sumber daya alam Papua (Indonesia) malah semakin masif dieksploitasi. Pemerintah meramahkan beragam aturan yang saling silang dengan kepentingan kapitalisme.
Konsekuensinya, rakyat Papua menjadi korban di tengah ketidakberdayaannya. Pemerintahan sekarang bukannya menjadi ramah dengan lingkungan. Justeru semakin parah dengan begitu banyaknya tanah longsor, perampasan lahan oleh penguasa/pengusaha (sebut saja misalnya perampasan lahan tambang emas, sawit, demi apa yang disebut demokrasi atau pilkada, pileg, pilgub, dan pilpres.
Seiring dengan begitu besarnya biaya politik pilkada/pileg/pilpres, perampasan-perampasan/pengerukan lahan tanah (gali tambang) oleh korporasi dan pemerintah semakin menjadi-jadi dan sulit dikontrol. Konflik berkepanjangan terus meningkat. Konflik antara rakyat tertindas dan penguasa bahkan sering memakan korban atau dipenjarakan.
Eksploitasi dan kerusakan lingkungan telah sampai pada titik kritis sehingga menarik perhatian berbagai kalangan civil society. Akan tetapi, respons yang kemudian bergema lebih banyak menyoroti masalah lingkungan daripada masalah kemanusiaan.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain (meminjam Ajun Thanjer), perjuangan terhadap ekologi sudah seharusnya merupakan perjuangan melawan sistem ekonomi kapitalisme dan reorganisasi radikal terhadap cara produksi kapitalisme. Itulah satu-satunya jalan penyelamatan lingkungan yang berkesinambungan sekaligus penyelamatan kemanusiaan dan masa depan anak negeri Papua.
Memilih jalan tengah melalui konsep good will dengan maksud terjadi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan biaya lingkungan yang masih bisa ditanggung adalah omong kosong. Kerusakan alam Papua, merupakan konsekuensi mutlak atas sistem modal yang tak memikirkan kemanusiaan dan kelestarian alam.
Dibutuhkan perluasan kesadaran bahwa demorasi fosil (kapitalisme alam) penyebab kerusakan lingkungan, yang membuat manusia mati sia-sia di atas reruntuhan tanah longsor, timbunan kayu dari banjir bandang, kelaparan, penyakit, badai akibat perubahan iklim, dan lainnya. Juga dibutuhkan perluasan pemahaman bahwa kesejahteraan tak mungkin didapat untuk jangka waktu yang lama jika lingkungan (demokrasi fosil) tak segera dihentikan.
Sebagai solusinya kita bisa menggunakan demokrasi nokenala masyarakat lokal (di Papua) misalnya mungkin kita bisa mengembangkan demokrasi honai (rumah adat Papua) sebagai pilihan dan solusi paling tepat mengurai benang kusut demorasifosil, yang paling mengancam kelestarian bumi Cenderawasih.