Dampak Sosial di Lingkaran Tambang di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Dampak Sosial di Lingkaran Tambang di Papua

Loading

Oleh Ben Senang Galus
Pemerhati Masalah Sosial;
Tinggal di Yogyakarta

BILA kita bertanya, bagaimanakah kondisi sosial budaya masyarakat di lingkaran tambang di Papua? Jawabannya tunggal: tidak normal. Ada sejumlah alasan kemungkinan tidak normalnya kondisi itu. Pertama, kebudayaan akan mengalami involusi. Generasi muda akan rapuh kepribadiannya dan mudah diombang ambing oleh proses perubahan yang tidak menentu. Gaya hidup baru muncul yang tidak berbasis pada kebudayaan, anak muda akan tercerabut dari akar budayanya.

Kedua, masyarakat akan semakin menipis perasaan kolektif dan mengalami disharmoni luar biasa. Karena kurang menghargai konsensus dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekerasan menjadi pilihan masyarakat yang nota bene tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan yang secara sah memiliki monopoli atas perangkat kekerasan (organized violence), akan tetapi juga masyarakat itu sendiri akan terbelah ke dalam kedua kelompok kekuatan besar, yang pro dan kontra. Jika hal ini terjadi kemungkinan konflik realistis dan non realistis bisa saja terjadi.

Ketiga, lapisan dalam kebudayaan Papua “ethico-mythical nucleus” yang merupakan central point of reference akan mengalami pembusukan, seperti moral dan etika. Kebudayaan akan menjadi asesoris saja, yang di kemudian hari hanya dikenang sebagai sebuah sejarah bagi anak Papua, namun tidak dapat melanjutkan esensi nilai kebudayaan secara terus menerus kepada generasi berikutnya.

Tidak normalnya kondisi sosial budaya tadi bisa disebut ”sakit” seperti yang dimaksudkan oleh Erich Fromm ketika ia menulis The Pathology of Normalcy (examines the very definitions of mental health and mental sickness in modern-day society. Sections consist of lectures about frame of reference when evaluating mental health, the intersection of alienation and mental health issues, and even the interplay between psychological and economic theory), kesehatan mental dan penyakit mental dalam masyarakat modern, persimpangan alienasi dan masalah kesehatan mental, dan bahkan interaksi antara teori psikologi dan ekonomi.

Jauh sebelum Pathology of Normalcy, para leluhur Papua sudah meramalkan kondisi masyarakat dalam ungkapan bahasa suku Mee: towagii dakoukoo wagiii dimibeuu tiyakekoo koudanitiyakee te, epepe koo akiii ideidee makoo beuu. Dalam ungkapan bahasa Inggris: today is a crazy era, if you don’t go crazy, you don’t get it. Artinya zaman sekarang adalah zaman gila, kalau tidak ikut gila tidak kebagian.

Oleh karenanya kita mesti mencoba memahami proses perubahan yang kondisional dari kebudayaan Papua ke depan akibat dari munculnya masifitas tambang di Papua. Sekarang sedang ada perubahan besar mayarakat Pupua, dari masyarakat pertanian ke masyarakat informasi (industri). Modernisme yang bergerak sampai ke pelosok pedesaan (kampung), agaknya telah mengubah bukan hanya mentalitas bangsa, tetapi juga kondisi materialitas bangsa Papua.

Bahkan beberapa orang yang berharap melihat perubahan yang terjadi, mengharapkan Papua menjadi ”Papua Incoporated”. Modernisasi kita lebih meniscayakan munculnya teknokrasi, energi listrik, transportase lancar, semenisasi, dan sebagainya merupakan perwujudan dari teknologi ini akan mengubah semua pola pikir manusia Papua ke hal-hal yang pragmatis.

Demikianlah modernisme (baca: tambang) terjadi tidak dengan sendirinya mengundang emansipasi dan humanisasi di Papua, bahkan memakan anak kandungnya sendiri. Anak-anak Papua akan terasing di rumah sendiri, generasi muda akan menjadi anak kost di negerinya sendiri, dan hal ini sedang dan sudah terjadi di Papua.

Di tengah gegap gempitanya pemerintah daerah Papua membangun Papua ini telah mengorbankan segala nilai kemanusiaan, merobek-robek otensitas kebudayaan yang sudah lama membentuk tata laku dan etika anak negeri Papua. Tampak para generasi muda maupun tua mengalami krisis kebingungan luar biasa. Mereka terjebak dalam arus kuat modernisasi, tambangnisasi dan bahkan melepaskan segalanya yang dimiliki (honai, tradisi leluhur, adat istiadat leluhur). Akan kah mereka memilih sikap agresif?

Menurut LL Ravenstein (1989), kehadiran tambang di suatu daerah menjadi magnet bagi arus masuknya migrasi baru. Dalam salah satu hukum migrasinya bahwa motif ekonomi merupakan pendorong utama seseorang melakukan migrasi. Demikian pula faktor ekonomi merupakan alasan utama seseorang melakukan migrasi.

Warga pendatang ini terdiri dari berbagai macam suku. Kebanyakan warga pendatang lebih bersifat individualistik, dan jarang bersosialisasi bersama warga setempat. Keberadaan warga pendatang di suatu daerah dapat menimbulkan kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonomi antara warga lokal dengan warga pendatang, berkaitan dengan peluang untuk bekerja di perusahaan pertambangan.

Dapat diduga warga lokal tidak merasakan dampak positif dari keberadaan perusahaan pertambangan, justru warga pendatanglah yang lebih merasakan dampak positifnya. Namun yang paling berbahaya menurut Ravenstein, adalah faktor non ekonomi, yakni muncul rumah-rumah pelacuran, yang berdampak rusaknya tatanan sosial dalam masyarakat, serta hubungan kekerabatan warga masyarakat akan merenggang.

Selanjutnya, kehadiran tambang menjadi magnet bagi pendatang untuk ikut menikmati tetesan manfaat dari uang yang beredar. Dapat diduga di Papua, terutama di seputaran lokasi tambang Freeport, dengan mudah bisa menemukan warung makan yang berbau “remang-remang” bahkan juga menjamur praktik prostitusi terselubung. Biasanya konsumen utamanya adalah sopir pengangkut hasil tambang dan kadang pekerja tambang yang tinggal di perkemahan penambang.

Kehadiran warung remang-remang bahkan tempat prostitusi ini telah menjadi semacam pembawa keresahan bagi masyarakat sekitar (HIV/AIDS), dan penyakit lainnya, bisa juga muncul perjudian). Hal sederhana saja para ibu-ibu sangat takut kalau-kalau suaminya ikut mampir di sana (kalau ini terjadi perceraian akan meningkat, paling tidak KDRT). Di level yang lebih luas, masyarakat khawatir dengan degradasi moral generasi muda di kampung lingkaran tambang. Tentu ini realitas yang baru terlihat di permukaan dan belum mendalam. Jika kita mau lebih mendalami mungkin banyak hal lain yang lebih mencengangkan dari kehadiran tambang.

Kehadiran perusahaan pertambangandi Papua yang ikut mendongkrak pendapatan masyarakat setempat ternyata membawa perubahan perilaku konsumsi mereka. Ada kecenderungan pola konsumsi menjadi berubah dari semula pemenuhan kebutuhan primer meloncat kekebutuhan tersier. Misal saja belanja motor dan mobil mewah (mahal) meningkat drastis. Gadget juga menjadi seolah kebutuhan primer.

Dapat diduga keadaan warga Papua semakin termarjinalkan sebab mereka tak dilibatkan sedari semula, sehingga kepentingan mereka cenderung tak terwakili. Maka, kehadiran tambang ikut mengancam keberadaan mereka, selain perkebunan tentunya. Singkat kata, kehadiran tambang, masyarakat akan tercerabut dari akar budayanya. Honai, sebagai pusat budaya akan punah. Jika punah, punah pula kehidupan itu.

Tiga tipologi

Sadar atau tidak dampak pembangunan saat ini di Papua maupun ke depanakan membentuk masyarakat menjadi tiga tipologi yang berbeda tajam. Pertama adalah kelompok inti (core society). Mereka adalah penguasa (pemerintah — pengambil kebijakan) atau orang-orang yang dekat dengan penguasa atau bisa disebut sisa-sisa penguasa (feodal) yang memonopoli sebagian besar sumber daya alam milik rakyat. Mereka menyusun program untuk kesejahteraan rakyat, namun rakyat tetap miskin.

Kedua, kelompok setengah pinggiran (semi peripheral society). Mereka adalah para idealis, masyarakat rasional, mereka tidak membutuhkan penghargaan yang tinggi. Yang termasuk dalam komunitas ini adalah golongkan cendekiawan, seniman, penulis, civil society. Mereka jauh dari kekuasaan atau harta, yang menurut WS. Rendra mereka adalah orang-orang yang “berumah di atas angin “, tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.

Ketiga, kelompok pinggiran (peripheral society). Kelompok tidak stabil, mudah bergeser dari satu sektor ke sektor lain, cepat berpindah pekerjaan, tidak mempunyai idealisme, hidupnya sederhana, kehidupan ekonominya berlangsung dari tangan ke mulut. Namun mempunyai andil besar terhadap kekuasaan (contohnya pada waktu Pemilu).

Masyarakat ini kita sebut saja “masyarakat miskin” dan membutuhkan pembelaan. Walaupun secara materi mereka tidak memiliki apa-apa namun mereka diserahi tugas oleh Tuhan menjaga alam Papua. Mereka telah menyumbangkan udara segar untuk kita hirup. Kedekatan mereka dengan alam/hutan menjanjikan harapan bagi semua orang, hidup sehat dan mata air mengalir, hutan terpelihara dan terjaga dengan baik.

Pola interaksi sosial ketiga tipologi masyarakat di atas dikendalikan oleh kekuasaan dan kekuatan modal. Dengan demikian kesenjangan budaya semakin lebar, ternyata menimbulkan gesekan-gesekan justeru karena masih kuatnya pengaruh beasmtaat pada lapisan core society. Kecenderungan hidup eksploitatif pada core society melahirkan tirani kekuasaan, dan menempatkan kekayaan atau kesewenangan sebagai tujuan prilaku dan faktor penentu untuk mengukur kedudukan sosialnya dalam masyarakat.

Bagaimana pula hubungan negara dengan warga negara saat ini? Hubungan warga negara dengan negara mengandaikan hubungan oposisi biner. Negara diposisikan sebagai institusi yang kuat, sementara warga negara pada posisi lemah. Negara yang memiliki kekuasaan menindas dan warga negara ditempatkan di bawah kekuasaan negara. Sangat mungkin terjadi negara mendikte warga negara sampai pada ruang privat. Kontrol negara begitu kuat atas warga negara secara politis akan melahirkan wacana juridica politis, ruang yang secara politis dikontrol ketat oleh suatu jenis kekuasaan tertentu.

Dampak yang paling parah hubungan negara dengan warga negara dalam oposisi biner (binary oposition) sebenarnya bukan terletak pada kerusakan sistem ekonomi semata, namun lebih pada kerusakan psikologis, hilangnya aset kebudayaan Papua, hilangnya otensitas kebudyaan Papua, honai, mata air, hutan bisa punah seketika. Dalam oposisi biner terdapat struktur kekuasaan di mana warga negara diposisikan sebagai warga tidak berdaya. Demikian pula dalam struktur kebudayaan masyarakat muncul oposisi kaya miskin, penguasa dan rakyat yang begitu kuat karena dikonstruksi dalam binaritas kuat lemah.

Masyarakat kita dikonstruksikan menjadi amnesia kebudayaan yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, sehingga memengaruhi pola prilaku masyarakat kita. Masyarakat yang dibentukpun seolah-olah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan kebudayaan dan mudah digagalkan dan diombang ambingkan oleh relasi ketergantungan.

Kondisi sosial budaya Papua saat ini maupun ke depan tidak banyak berubah. Bahkan beberapa aspek penting dari kebudayaan Papua mengalami degradasi, terutama menyangkut nilai, tujuan, latar belakang, dan sifat dasar penampilannya. Misalnya dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi menjadi kehilangan spiritnya yang justeru mendewasakan manusia Papua dalam berpolitik. Demokrasi mulai menampakkan dirinya sekadar slogan.

Agar kondisi sosial budaya menjadi lebih baik dari sekarang ini kita harus membangun kebudayaan baru yang relevan dengan alam pikiran kebudayaan Papua, dengan mengutamakan pendidikan karakter, mengutamakan etika dan moral, mengutamakan demokrasi, mengutamakan HAM, mengutamakan iptek yang humanis dan ramah lingkungan, mengutamakan pendidikan berbasis kebudayaan, mengutamakan bisnis yang beretika, mengutamakan politik yang bermartabat, mengutamakan kebijakan (dalam hal ini pemda) pro lingkungan, keutuhan ciptaan Tuhan, mengutamakan demokrasi bumi dan air, mengutamakan komunikasi yang beretika dengan masyarakat.

Semuanya itu akan menjadi baik jika penyelenggara negara (Pemda Papua) berhati baik dan menaati segala aturan yang berlaku, maupun tata sosial budaya yang berlaku. Program pembangunan tidak asal menabrak tatanan sosial masyarakat, namun semuanya harus mendahulukan etika bermusyawarah dan keselamatan lingkungan, demi masa depan bumi Papua.

Tinggalkan Komentar Anda :