Urgensi Etika Ekologi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Urgensi Etika Ekologi

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

KEHANCURAN alam merupakan fakta di hadapan kita akhir-akhir ini. Lihatlah apa yang terjadi  Raja Ampat, Tanah Papua. Alam yang awalnya asri, hijau, kini gundul. Hal yang sama terjadi di beberapa lokasi sekitar Danau Toba seperti di daerah Parlilitan, Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. 

Kayu-kayu dibabat secara membabi buta oleh perpanjangan tangan pebisnis. Kerusakan itu merupakan implikasi pengakuan dan penerapan ideologi antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai agen tunggal atas bumi. Atas dasar ideologi ini pebisnis memuaskan hasrat ekonominya yang rakus dan maruk. Alam hanyalah komoditi baginya.

Akibatnya,  ekosistem bumi terganggu, makhluk infrahuman (hewan dan tumbuh-tumbuhan) terancam punah, sistem dan tatanan sosial kultural seperti local wisdom terkoyak dan tersingkirkan, pola pikir individu berubah dari eco-orientation ke money orientation, dan keharmonisan hidup masyarakat terguncang, karena pebisnis menggunakan pendekatan kolonial devide et impera dalam menguasai lahan-lahan masyarakat. 

Fritjof Capra dalam Titik Balik Peradaban (1999) menempatkan destruksi ekologis itu sebagai titik hancurnya peradaban dalam masyarakat sains. Masyarakat lebih hidup dalam tahap inderawi, daripada ideasional dan idealistik, meminjam terminologi Pitirim A Sorokin, sosiolog Rusia. Semua fakta ini memperlihatkan bahwa bisnis bersasaran sumber daya alam tidak bersahabat baik terhadap bumi, ekosistemnya, dan tatanan sosio kultural. 

In principio, manusia sangat dekat dengan alam. Alam dengan segala isinya merupakan tempat berpijak bagi manusia. Bahkan menurut Fritjof Capra sebagaimana diperlihatkan dalam bukunya yang lain berjudul The Webs of Life (1999), setiap entitas di dalam alam merupakan organisme yang hidup dan saling terpaut, saling mempengaruhi dan menopang. Di sana ada interaksi yang sangat intensif dan dependensi yang tinggi. 

Melihat relasi dan interdependensi ini, Capra menyebut relasi itu sebagai jaring-jaring kehidupan (the webs of life). Interkoneksi dan interdependensi antarorganisme di alam mengisyaratkan bahwa alam merupakan sebuah sistem kehidupan yang holistik, integratif, dan relasional, bukan mekanistik, atomistik, reduksionistik, dan separatif seperti paham antroposentrisme. Jadi, pola pikir contextual and environmental thinking tentang kosmos perlu dibangun.  

Dasar Argumen Moral

Implikasi keterkoneksian dan interdependensi organisme di atas cukup jelas, yakni ketika alam dirusak maka destruksi ini akan mengancam kehidupan secara keseluruhan sekaligus merusak hubungan harmoni alam dengan manusia. Destruksi ekologis adalah ukuran  sejarah buruk manusia sekarang bagi generasi berikutnya. 

Apa yang diperlukan untuk mengembalikan interkoneksi dan interdependensi dan melanggengkannya? Jawabnya hanya tiga kata: hidupkan etika ekologi. Mengapa etika ekologi penting? Dan langkah apa yang diperlukan untuk menghidupkan etika ekologi? Dua pertanyaan menarik untuk dijawab. 

Menjawab pertanyaan pertama, kita bisa beranjak dari pengertian ekologi, sebelum menunjukkan argumen dasar pentingnya etika ekologi dan langkah-langkah membangkitannya. 

William Chang dalam Etika Spesialis (2019) menunjukkan bahwa istilah “ekologi” terbentuk dari dua kata Yunani, yaitu oikos, artinya rumah, tempat tinggal dan logos, artinya kata, uraian. Jadi, secara harfiah ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagad raya. 

Menurut Chang, umumnya ekologi dilukiskan sebagai penyelidikan mengenai hubungan-hubungan antara planet, hewan, manusia dan lingkungan hidup serta keseimbangan di antaranya, ilmu tentang hubungan antarorganisasi yang hidup dan lingkungannya, tentang tatanan dan fungsi alam dan kelompok organismenya dalam alam dan interaksi di antara mereka. 

Dari penelusuran makna etimologis di atas, terlihat dengan jelas bahwa ekologi mengandung pengertian keterkoneksian berbagai organisme yang memberikan kehidupan bagi manusia dan makhluk lainnya. Ketika alam dieksploitasi secara membabi buta, maka tindakan ini mengancam kehidupan secara keseluruhan. 

Aksi destruktif ini sama dengan memperpendek kehidupan alam, dan menggali kuburan baik bagi manusia sekarang maupun manusia yang akan datang. Sekali lagi, untuk menghentikan tindakan destruksi ekologi itu, etika ekologi diperlukan.  

Urgensi Etika Ekologi

Ada lima alasan pentingnya etika ekologi dihidupkan. Pertama, peneguhan akan interrelasi erat kehidupan manusia dengan alam. Kesalahan manusia modern adalah cara pandangnya terhadap alam yang hanya menggunakan skema antroposentris, dan melupakan skema kosmologis. 

Artinya, alam hanya dilihat sebagai objek bagi manusia, dan manusia menjadi penguasa bagi alam, padahal alam dan manusia saling berhubungan. Manusia modern, lebih-lebih pelaku bisnis melupakan prinsip saling keterhubungan itu, dan melihat alam secara parsial. 

Hutan-hutan dan segala isinya berkaitan dengan hidup manusia, dan sebaliknya kehadiran manusia dalam memelihara kehidupan lingkungan dan segala isinya diperlukan. Tidak merusak (no harm) merupakan sikap baik minimal manusia, meminjam pemikiran Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiment (2022) untuk itu. 

Selain tidak merusak, skema kosmologi menghidupkan prinsip-prinsip lain etika lingkungan, yakni sikap hormat terhadap alam, bertanggung jawab, bersolider kosmik, peduli pada alam, hidup sederhana dan selaras dengan alam, berkeadilan, integritas moral, dan demokrasi, seperti ditawarkan oleh A Sonny Keraf dalam Etika Lingkungan (2021). 

Zeying Wang, seorang profesor dari Cina dalam Developing Business Ethics in China (2009) memperkuat argumen pentingnya etika ekologi itu. Baginya etika ekologi meningkatkan pemahaman yang semakin baik di masyarakat tentang keuntungan dan kerugian dari peradaban industrial dan tentang ekonomi pasar. Etika ekologi hadir untuk mengkritisi perilaku pebisnis dan membangkitkan kesadaran ekologis.  

Kedua, demi kehidupan generasi berikut. Generasi muda mendatang adalah moral patient (yang perlu dipedulikan), meminjam istilah Richard Rorty. Posisi ini menuntut kepedulian tentang kehidupan dan masa depan mereka. Generasi masa depan adalah penyambung dan penerus bumi ini. Generasi masa depan memiliki eksistensi yang sama dengan manusia sekarang. 

Artinya apa? Berbagai dimensi yang mengitari kehidupan manusia sekarang juga akan dialami oleh generasi berikutnya, walau pun mungkin bentuk dan prioritasnya berbeda. Demikian halnya, nilai intrinsik yang ada dalam manusia sekarang, juga akan ada dalam manusia yang akan datang.  

Manusia yang akan datang tetap akan memiliki kebutuhan dasar seperti makanan, air, udara dan ruang, sama dengan kebutuhan dasar kita sekarang sebagai pemenuhan actus hominis-nya (baca: pemenuhan kebutuhan badan). Karena itulah hak-hak dasar mereka untuk hidup, untuk dilindungi dari kondisi yang mengancam harus dijamin oleh manusia sekarang.  

Dengan kerangka berpikir demikian, manusia sekarang memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan bumi yang baik demi keberlangsungan kehidupan manusia yang akan datang. Immanuel Kant bahkan mengatakan bahwa tanggung jawab moral itu merupakan imperatif kategoris, artinya kewajiban moral tanpa syarat manusia sekarang. 

Jika tidak, manusia sekarang sedang menciptakan jurang yang dalam tempat ratapan pilu bagi manusia berikutnya. Ini, menurut Maeve Mckeown dalam With Power Comes Responsibility (2024), merupakan kesalahan yang paling fatal dan menjadi tanda nihilnya tanggung jawab moral manusia kini terhadap manusia masa depan. 

Apatisme ini merupakan wujud dari sikap tidak adil manusia sekarang bagi generasi berikut. Ia menikmati hasil alam dengan sepuasnya, namun membuat generasi mendatang  hidup dalam kondisi buruk, penuh dengan tangisan pilu, bukan akibat dari perbuatan mereka sendiri. 

Atas dasar ini Iris Marion Young dalam Justice and Politics of Difference (1996) cukup benar mengatakan bahwa perusakan lingkungan merupakan  kejahatan yang tidak bisa ditolerir dan wajib dihentikan.

Ketiga, pengakuan terhadap faktisitas keterlemparan manusia (historical accident). Lahir di dunia bukanlah pilihan setiap orang, tetapi sebuah keterlemparan, meminjam istilah Martin Heidegger, filsuf eksistensialis Jerman. Namun keterlemparan itu bermakna, karena kehadiran manusia yang satu membawa arti bagi manusia yang lain dan dunianya. 

Ini berarti, manusia sekarang, lebih-lebih  pebisnis, tidak punya hak klaim khusus atas ruang dan waktu khusus karena kelahirannya, juga tidak punya hak istimewa apapun atas dunia dan sumber daya alamnya melebihi  generasi yang lain. Manusia sekarang punya hak yang sama dengan generasi berikutnya, karena kehadirannya sama-sama sebagai sebuah keterlemparan. Bedanya hanya di soal giliran waktu dilahirkan.

Keempat, demi hidup spesies. Seperti dikatakan di atas bahwa organisme di alam semesta memiliki interkoneksi dan interdependensi. Terkait ini Fritjof Capra dalam The Hidden Connection (1996) mengidentifikasi lima prinsip ekologi. 

Pertama, prinsip jejaring di mana satu sama lain organisme saling mengikat bagai tali temali yang memungkinkan setiap sistem saling tergantung, namun saling mendukung. Kedua, siklus yang teratur untuk memproduksi dalam waktu tertentu. 

Ketiga, kemitraan yang mengakomodir pertukaran energi dan sumber daya dalam ekosistem alam didasari kerjasama yang kokoh. Keempat, keragaman namun memiliki simbiosis mutualis antarorganisme. Kelima, keseimbangan dinamis dalam hal mana jaring-jaring tidak bersifat kaku, melainkan hidup. 

Kelima prinsip ini mengisyaratkan bahwa kepentingan spesies harus mengalahkan kepentingan individu, dalam hal ini pebisnis. Kesadaran akan hal ini harus tumbuh. Dan yang membuat itu tumbuh adalah etika ekologi.

Alasan terakhir, mempertahankan ritme kehidupan yang berkelanjutan. Satu ciri kehidupan adalah bahwa ia tidak bisa dihentikan. Kehidupan akan terus berlangsung sesuai dengan kodratnya. Di sisi lain, manusia memiliki keterbatasan dalam waktu hidupnya. 

Selama dia hadir di dunia, ia perlu membangun sejarah hidupnya yang baik, karena itu  akan menjadi guru bagi kehidupan yang lain. Cicero, orator ulung mengatakannya dengan semboyan “historia magistra vitae-sejarah menjadi guru kehidupan”. Manusia memiliki kewajiban moral untuk mendukung keberlangsungan itu. Membangkitkan kesadaran ini adalah inti etika ekologi.  

Konsientisasi Ekologis

Apa yang harus dilakukan untuk menghidupkan etika ekologi? Karena etika berkaitan dengan kesadaran tentang nilai-nilai, yakni membedakan mana benar dan salah, mana yang baik dan buruk, maka saya setuju dengan William Chang yang menempatkan pentingnya membangkitkan kesadaran tentang kebaikan lingkungan alam ketika manusia merawatnya, dan kesadaran tentang dampak negatif apatisme pada kelestarian ekologi.  

Yang ingin ditegaskan Chang adalah sumber etika ekologi itu, yakni bermula dari kesadaran manusia dalam menghadapi keadaan hidup dan lingkungannya. Kesadaran ini merupakan titik pijak untuk melihat perilaku-perilaku para pebisnis dan bertindak untuk menghentikan perilaku-perilaku buruk demikian, sebaliknya mendorong manusia untuk membentuk sistem pemikiran ekologis yang berpusat pada sikap peduli dan tanggung jawab terhadap alam. 

Dengan kesadaran ini manusia menghidupkan kembali nilai-nilai alam semesta. Kurangnya kesadaran tentang tanggung jawab dan kewajiban manusia secara umum dan para pelaku bisnis secara khusus terhadap sistem ekologi merupakan akar dari kehancuran bumi dewasa ini. 

Seperti dikatakan oleh Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (2022), kesadaran yang baik membuat hidup lebih baik. Dalam konteks ekologi, kesadaran akan etika ekologi akan membuat  pelaku bisnis bersama masyarakat berusaha ikut menciptakan alam yang baik. 

Kesadaran ekologis demikian merupakan hal yang fundamental untuk menghentikan, minimal mengurangi destruksi ekologi dan perilaku-perilaku buruk terhadap lingkungan hidup. Jadi, benar apa yang dikatakan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1972), yakni perlunya konsientisasi masyarakat, lebih-lebih pelaku bisnis secara terus menerus. Dengan konsientisasi demikianlah tanggung jawab terhadap lingkungan akan tumbuh dan berkembang.

Terkait dengan hal di atas menurut penulis, sekurang-kurangnya empat fokus dalam konsientisasi etika ekologis. Pertama, kesadaran etis yang jelas tentang masalah ekologi yang muncul, dan perlindungan lingkungan hidup yang kuat. 

Kedua, tatanan filosofis kultural tentang makna moral lingkungan hidup perlu diangkat, termasuk refleksi teologis yang berkenaan dengan masalah alam dan penciptaan. 

Ketiga, perlunya politik lingkungan hidup yang nyata. Artinya, harus ada perlindungan terhadap makhluk ciptaan lain, demi kepentingan generasi sekarang dan masa depan secara legal. Dalam hal ini, intervensi politik, tepatnya peran pemerintah melalui peraturan yang berlaku tentang keselamatan lingkungan sangat diperlukan. 

Lebih-lebih penerapan dan pengawasan melekat pelaksanaan dasar legal yang dibuat. UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya sudah memadai untuk itu, namun implementasinya masih memerlukan komitmen dan keseriusan, lebih-lebih penegakan hukumnya. Fungsi legal, fungsi etis, fungsi pengawasan pemerintah sebagaimana dimuat dalam undang-undang itu belum terlihat jelas.    

Keempat, pedagogi ekologis yang berkelanjutan. Bagaimanapun yang akan meneruskan dan menikmati bumi ini adalah generasi berikutnya. Karena itu sejak dini generasi sekarang perlu terus menerus dididik dan kesadarannya terhadap lingkungan dibangkitkan agar kepeduliannya muncul. 

Merekalah yang akan menjadi subjek terhadap bumi yang tentunya akan mereka wariskan ke generasi berikutnya. Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh Paulo Freire, yakni konsientisasi pada masyarakat, menjadi hal penting. Paulo Freire menyatakan bahwa upaya penyadaran tentang realitas lingkungannya merupakan sumber pengetahuan yang paling nyata bagi anak-anak dan menghidupkan bagi mereka.  

Jadi, berhadapan dengan kehancuran alam yang menggila belakangan ini seperti terjadi di Raja Ampat Papua, di sekitar Danau Toba, khususnya di Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, menghidupkan etika ekologi sangat mendesak. 

Pedagogi etika ekologi ini harus melibatkan masyarakat, aparat pemerintah, dan pebisnis. Kesadaran yang tumbuh secara seimbang dalam ketiganya menjadi jaminan bagi kelestarian lingkungan hidup, karena rasa tanggung jawab terhadap alam tumbu kuat di antara ketiganya.

Tinggalkan Komentar Anda :