NEW YORK, ODIYAIWUU.com — Aktivis senior tanah Papua Yosef Rumaseb, Rabu (12/2) sekitar pukul 07.00 WIT meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Biak, Jalan Sriwijaya, Brambaken, Distrik Samofa, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua.
Wakil Presiden Eksekutif Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Octovianus Mote mengenang mendiang Yosef Rumaseb melalui perjumpaan semasa menjadi mahasiswa di Indonesia dalam dunia pergerakan.
“Dari aneka obrolan kita melahirkan alternatif aksi perlawanan Bangsa Papua perdana di Jakarta. Adik tuan Yosef Rumaseb, Selamat jalan dengan damai. Persahabatan kita sejak tahun 1987, ketika itu adik sebagai mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, datang dari kota Salatiga menjumpai kaka di gedung Harian Kompas di Jakarta,” kata Octovianus Mote melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Amerika Serikat, Kamis (13/2).
Mote mencurahkan isi hatinya mengenang Rumaseb, sahabat baiknya sesama aktivis mahasiswa tanah Papua di Pulau Jawa. Berikut isi surat Mote selengkapnya:
Aneka obrolan kita termasuk berbagai diskusi dalam menciptakan alternatif perjuangan kemerdekaan bangsa Papua akan saya share dalam tulisan di media sesudah share kisah yang sama dari Yones Douw yang juga dipanggil pulang oleh Allah Bapa di Surga dalam waktu yang sangat berdekatan.
Kita belum lagi keluar dari duka cita yang mendalam dari Yones Douw kini disusul duka baru atas kehilangan adik Yosef.
Lalu dari kedekatan kami itu lahirlah demo pertama anak-anak bangsa Papua di gedung DPR RI terkait masalah penyiksaan terhadap mama Yosepha Alomang di kontainer Freeport.
Pada waktu itu, mahasiswa Papua di tanah Jawa demo tiga hari berturut-turut merupakan kerjasama dua motor utama yakni adik Yosef dan adik Yafet Kabai. Waktu itu, saya koordinasikan dengan adik-adik mahasiswa gunung dan pantai yang saya kenal. Lalu mereka dua bergerak ke kota-kota Jawa Tengah dan Timur di Yogyakarta dan saya ke Bandung Jawa Barat.
Mereka bergerak masuk kota Jakarta. Berkumpul di Markas Walhi persiapan beberapa hari baru masuk melalui beberapa pintu dan aneka penyamaran baru buka baju keluarkan aneka materi dan gelar demo.
Berita demo langsung mendunia karena teman-teman wartawan asing yang siap di sekitar gedung DPR RI langsung bisa wartakan. Apalagi karena Jenderal Syamsudin yang menulis buku, ‘Bergolak di Perbatasan’, itu pidato bakar dengan mengutuk tentara yang melakukan kejahatan di tanah Papua. Dia anggota DPR RI ketika itu. Pace orang Aceh, militer professional dan berhasil bebaskan secara damai rombongan Maloali dan Pater Alo Ombos, OFM yang TPN-OPM sandera di Keerom.
Yang menarik dari demo itu adalah mereka bukan saja teriak dari luar gedung dan pergi. Melainkan mereka masuk ketemu pimpinan DPR atas bantuan Herman Mote dan didukung anggota DPR RI lainnya seperti Henokh Mackbon dan Simon Morin. Mereka bernegosiasi dan dari sana mereka lanjutkan demo di kantor pemerintah yang terkait dengan kasus ini.
Dalam rangkaian itu salah satu tindakan berani yang dilakukan Sisilia Mote diwartakan berbagai media. Yakni mematahkan di depan umum tongkat Komando milik Jenderal TNI (Purn) Faisal Tanjung, Panglima TNI pada era 1993 hingga 1998.
Faisal yang merasa akrab dengan orang Papua, menghampiri para demonstran berdiri sambil tunjuk dengan tongkat komandonya bercerita akan keterlibatannya dalam memerangi orang Mee yang protes Pepera. Sebuah manipulasi politik di mana Indonesia mengubah hak penentuan nasib sendiri secara bebas menjadi penentuan pendapat rakyat.
Pepera pun dimanipulasi karena bukan wakil rakyat yang bebas dipilih atau terpilih melainkan ditunjuk oleh pasukan operasi khusus di bawah pimpinan Ali Murtopo dan aparat militer serta sipil yang ultra nasional yang beragama Katolik dan Protestan. Mereka hanya membacakan apa yang sudah dirumuskan. Jadi tidak ada penentuan pendapat rakyat.
Sisilia menangkap tongkat komando yang diarahkan kepadanya saat menyebutkan Senen Mote dan Mapia Mote sebagai pemimpin pemberontakan yang dia patahkan. Faisal melepaskan tongkat itu karena Sisilia menarik dengan tenaga dalam membuat Faisal hampir terpental.
Dia angkat tongkat itu dan patahkan dengan lututnya sambil berkata ini tongkat komando yang diberikan oleh negara bukan untuk membunuh melainkan melindungi rakyat.
Panglima yang pulang tanpa tongkat komando itu tidak tahu bahwa Sisilia adalah perempuan Mapia Mote tadi. Sisilia membalas penghinaan Faisal terhadap perjuangan orangnya dengan mematahkan tongkat komando di depan gedung rakyat Indonesia.
Dari USA saya menyampaikan, ‘Selamat jalan adik tuan Yosef Rumaseb. Tuhan menyambutmu di Surga’.
Octovianus Mote
Wakil Presiden Eksekutif ULMWP
Yosef Rumaseb bukan sosok aktivis tanah Papua yang berkutat dalam mengadvokasi masyarakat di bumi Cenderawasih. Pada tahun 2007, ia bersama Pendeta Herman Saud, S.Th menginjakkan kaki di Amerika Serikat dan bersua dengan koleganya, Octovianus Mote di negeri Paman Sam.
Melalui cuitannya di akun Facebook-nya, Yosef Rumaseb, yang diunggah pada 24 Mei 2023, Rumaseb menulis kenangan manis saat berada di Amerika Serikat. Berikut catatan selengkapnya:
Kekuatan Mimpi (The Power of Dream)
Ini foto lama, dibuat Mei 2007 di depan Capitol Hill, Washington DC bersama kaka Octovianus Mote dan Bapa Pendeta Herman Saud, S.Th (anggota Tangguh Independent Advisory Panel/TIAP – Panel Penasihat Independent Tangguh).
Ada dua kisah yang penting dari foto ini. Pertama, kisah tentang persaudaraan OAP yang berbeda suku dan ideologi. Kaka Octo dari suku Mee dengan ideologi berbeda dengan Bapa Saud dari Ayamaru dan saya dari Biak. Perbedaan itu dilebur dalam satu persaudaraan sebagai orang Papua. Pertemuan bapa dan anak di negeri Paman Sam, jauh dari tanah Papua.
Kisah kedua terlihat dari pakaian kami. Waktu itu sudah musim panas, kedua bapak tidak memakai jas. Mereka memakai pakaian sehari-hari. Kami jalan kaki dari hotel ke tempat ini. Keringat keluar.
Kedua bapak ini tanya saya, kenapa engkau pakai jas? Lalu saya cerita alasannya. Dari SD sampai SMP, saya bertumbuh di Boma dan Kawagit di pedalaman Merauke (sekarang Kabupaten Boven Digoel). Almarhum bapa saya adalah seorang mantri yang mengabdi sana sejak tahun 1972-1985. Dia memboyong kami sekeluarga ke sana.
Tahun 1975, PNG merdeka. Mereka buka jalur penerbangan Air Nugini ke Jaýapura dan sering bawa majalah PNG. Kalau tidak salah ingat namanya “Paradise”.
Entah bagaimana caranya, tahun 1977 kami di pedalaman Merauke bisa dapat satu majalah itu. Saya melihatnya. Sangat menarik melihat pakaian adat mereka, seni ukir badan, berbagai jenis burung, patung, dan sebagainya.
Tapi saya lebih tertarik memperhatikan foto seorang kepala suku yang jadi anggota parlemen di sana. Dia jalan menggunakan tongkat dengan jas hitam dan foto di depan Capitol Hill.
Saya terkesan sekali dengan foto itu. Lalu timbul mimpi di imajinasi saya sebagai anak-anak. Saya bermimpi, jika sekali waktu saya tiba di Washington DC maka saya akan foto di depan Capitol Hill memakai jas hitam. Seperti tokoh adat dari PNG itu.
Benar-benar mimpi anak-anak yang mustahil terpenuhi. Kami hidup jauh di pedalaman, di tengah hutan belantara, dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Mana bisa ke Washington DC.
Tapi ternyata di mata Tuhan angan-angan anak kecil di pedalaman yang mustahil itu adalah doa yang sungguh-sungguh. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Dia mengabulkan doa (mimpi) masa kanak-kanak itu.
Tiga puluh tahun kemudian mimpi itu terwujud. Saya bisa injak di Washington DC untuk pertama kali. Dan saya tepati janji untuk pake jas dan foto di muka Capitol Hill. (Sesudah itu saya beberapa kali ke Washington DC lagi tapi tidak foto pakai jas di sini).
Hikmahnya? Jangan ragu untuk menciptakan suasana yang merangsang anak mengembangkan imajinasi dan mimpinya. Di antara sekian mimpi anak-anak yang kelihatannya mustahil, pasti ada yang merupakan doa tulus kepada Tuhan. Tuhan akan mewujudkan doa itu, cepat atau lambat, sebab tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Biak, 24 Mei 2023
Yosef Rumaseb
(Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)