Silfester Matutina Memang Sakti

Silfester Matutina Memang Sakti. Gambar ilustrasi: Istimewa

Loading

KALAU ada ukuran “kesaktian” di republik ini, barangkali bukan soal kebal senjata, melainkan kebal eksekusi. Kasus Silfester Matutina sudah inkrah sejak 2019, lengkap dengan amar kasasi 1,5 tahun penjara. Namun enam tahun berlalu, negara masih sibuk mencari, menimbang, dan berjanji. Kalimat “kami sedang cari” dari Jaksa Agung—serta penegasan bahwa eksekusi adalah urusan Kejari Jaksel—justru memperlihatkan betapa mudahnya vonis pengadilan berubah jadi hiasan rak administrasi.

Publik wajar bertanya: mengapa perkara yang sesederhana melaksanakan putusan berkekuatan hukum tetap bisa berlarut-larut? Argumen klasik dilontarkan: terpidana sempat “hilang”, lalu pandemi membuat eksekusi tertunda. Tetapi dalih ini tak lagi memadai pada 2025. Hukum acara pidana menyediakan instrumen penangkapan, upaya paksa, dan pencarian terpidana. Jika aparat tak mampu mengeksekusi putusan selama bertahun-tahun, yang “sak­ti” bukan Silfester semata, melainkan kelalaian aparat sendiri. Kelambanan ini tampak bukan sekadar teknis, tetapi cenderung disengaja, seolah ada sesuatu yang ditutupi.

Lebih jauh, kegagalan eksekusi ini menimbulkan aroma ketakutan. Seolah-olah jaksa ragu melangkah, takut berhadapan dengan “tembok” yang tak kasat mata. Dalam kultur hukum kita, ketakutan semacam ini biasanya hanya muncul jika di belakang seorang terpidana ada “orang kuat” yang membekingi. Sulit dibayangkan, seorang individu tanpa jaringan berpengaruh mampu menghindari eksekusi hingga enam tahun. Jika benar ada tangan kuat di belakangnya, maka yang sakti bukan hanya Silfester, tetapi juga jejaring perlindungan yang membungkusnya.

Ironi bertambah ketika permohonan PK yang diajukan Silfester justru gugur karena pemohon tak hadir dan alasan sakitnya tidak jelas. Pengadilan menilai keterangan medisnya kabur. Sementara itu, Kejagung sendiri menegaskan PK tidak menghalangi eksekusi. Artinya, secara hukum tidak ada alasan prosedural untuk menunda. Namun lagi-lagi, Kejaksaan bersembunyi di balik alasan teknis. Kecurigaan publik pun makin menguat: apakah ini sekadar ketidakmampuan, ataukah ada “lobi” yang membuat hukum berbelok arah?

Kasus ini menjadi cermin telanjang wajah penegakan hukum kita: tegas di podium, lunglai di lapangan. Negara seolah kehilangan keberanian ketika harus mengeksekusi orang-orang yang diduga memiliki sandaran politik, ekonomi, atau kekuasaan. Hukum kehilangan efek jera jika vonis bisa “disekolahkan” di koridor birokrasi. Lebih berbahaya lagi, ia merusak rasa keadilan korban dan publik. Kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) hanyalah slogan jika pelaksanaannya tergantung siapa pelakunya, siapa kawan-kawannya, dan seberapa kuat “beking” yang melindungi.

Karena itu, ada tiga langkah mendesak. Pertama, Kejari Jaksel harus mengumumkan rencana eksekusi yang jelas—timeline, strategi penangkapan, dan pejabat penanggung jawab—agar publik bisa mengawasi. Kedua, Kejagung wajib menunjukkan sikap berani dengan supervisi harian, bukan sekadar melempar tanggung jawab ke bawahannya. Ketiga, jika benar ada intervensi dari “orang kuat”, publik berhak tahu siapa mereka. Transparansi adalah disinfektan terbaik bagi kecurigaan.

Pada akhirnya, “kesaktian” itu hanyalah metafora getir dari sistem yang membiarkan vonis tak bernyawa. Negara hukum diuji bukan di pidato dan poster, melainkan di pintu rutan saat terpidana menjalani hukuman. Jika Silfester masih bebas, maka yang benar-benar sakti bukan orangnya—melainkan keberanian aparat yang tak kunjung lahir. (Editor)