Selesai dengan Minta Maaf? - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Selesai dengan Minta Maaf?

Sumber foto ilustrasi: lsisi.id

Loading

SETELAH ramai berita tentang peristiwa rasis di Merauke, para petinggi TNI meminta maaf. Kepala Kantor Sekretariat Presiden Jenderal Moeldoko juga melakukannya. Komandan Lanud Kol (Pnb) Arief Budiyanto dicopot dari jabatannya. Komandan Satuan Polisi Militer AU Merauke juga dipindahkan.

“Karena mereka tidak bisa membina anggotanya. Kenapa tidak peka. Memperlakukan disabilitas seperti itu. Itu yang membuat saya marah,” kata Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Jakarta.

Permintaan maaf itu ditujukan kepada Steven dan seluruh masyarakat Papua melalui video. Langkah hukum yang tegas harus diambil. Gubernur Lukas Enembe meminta rakyat Papua untuk mengawasi proses hukum selanjutnya. Semoga saja proses hukum dilakukan secara transparan.

Pada hari selanjutnya, seperti yang tersiar, keluarga Steven didatangi oleh tentara. Tidak lain maksud datangnya adalah untuk meminta maaf secara langsung kepada Steven dan keluarganya. Pada foto yang beredar luas, tentara membawa serta beras satu karung, babi besar satu ekor, dan bahan pangan yang lain.

Semuanya diberikan kepada keluarga Steven, pemuda tunawicara yang diringkus di trotoar dan kepalanya diinjak sepatu tentara Angkatan Udara.

Kita tahu benda-benda itu berguna untuk keperluan sehari-hari keluarganya. Namun, kita juga sangat tahu, semua benda itu tidak akan pernah bisa mengembalikan martabat manusia yang sudah dirampas.

Perasaan sebagai manusia yang dicampakkan dan ditindas di bawah sepatu sulit dihapus. Meski Steven sulit untuk mengartikulasi karena keterbatasan diri, rasa kalah yang tidak adil itu bertahan di benaknya. Beras, babi, dan kata-kata minta maaf itu sulit untuk melenyapkan memori buruk Steven. Ia akan terus menjalani hari-harinya di masa depan dengan rasa kalah dan terluka secara tidak bermartabat!

Rasa kalah, terluka, martabat yang dirampas, tidak boleh melawan, rasa kecil dan tertindas tidak akan hilang dengan pemberian. Juga tidak dengan ungkapan maaf yang pura-pura. Peristiwa yang sama getirnya masih terjadi di hari-hari selanjutnya. Luka di atas luka.

Di Papua, tragedi Steven bukanlah yang pertama. Barangkali juga tidak akan menjadi yang terakhir. Kekerasan, penindasan, pelanggaran hak-hak warga negara — dan sebutan-sebutan yang lain tentang ketidakadilan — sudah menjadi bagian dari sejarah orang Papua sejak lama.

Masih di Merauke, di mana kepala Steven diinjak, orang-orang asli sejak beberapa tahun lalu kehilangan lahan dan ruang hidup mereka. Hutan tempat mereka bertahan hidup beralih fungsi dan beralih milik. Orang-orang yang sederhana itu kini harus berhadapan dengan korporasi yang menguasai lahan mereka. Ruang hidup mereka menjadi sempit. Kanan-kiri depan-belakang sudah dipasang garis. Mereka terjepit. Seperti Steven, orang-orang Papua itu kini menjadi tampak sebagai kaum yang kalah di tanah mereka sendiri.

Menyimak sejarah kelam Papua — yang sarat dengan kekerasan yang serupa dialami oleh Steven — kita akan mengerti betapa orang-orang Papua telah ditelanjangi dari hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara. Kematian-kematian kadang terasa sangat tragis: sebagai biaya untuk sebuah ideologi yang terlanjur disakralkan. Lalu, kita pun akan tahu bahwa biaya yang ditanggung oleh Papua sangat besar.

Orang-orang PKI dan yang dituduh sebagai anggota PKI menanggung yang sama. Sebagian memikul hukuman tanpa pengadilan seumur hidup. Para mahasiswa yang dikirim oleh Presiden Sukarno dicabut status kewarganegaraannya. Mereka hidup terkatung-katung di negeri sendiri dan seolah merasa asing: kehilangan tanah air dan dipaksa berpisah dari kaum sebangsanya.

Yang lain dibuang ke Pulau Buru selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Untuk tahu apa yang sehari-hari terjadi selama di pembuangan, kita bisa membaca catatan Pramoedya Ananta Toer. Ia adalah salah satu sastrawan yang dikucilkan ke wilayah yang buas itu. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mengisahkan tidak sedikit tahanan yang mati. Ada yang karena sakit, dipagut ular, tertimpa pohon ketika menebang untuk membuat pondok, ditembak karena berusaha melarikan diri, dan bunuh diri.

Orang-orang yang dibuang itu ditelanjangi dari hak-haknya sebagai manusia. Mereka diperlakukan seakan-akan binatang. Pramoedya menuturkan para tahanan dipaksa untuk memakan nasi yang dicampur dengan kerikil. Demi bertahan hidup, para buangan itu menangkap binatang apa saja asal bisa untuk mengisi perut. Bukan saja fisik mereka yang hancur, diri manusia mereka remuk berkeping-keping.

Karya-karya dari Pulau Buru, yaitu tetralogi Bumi Manusia yang sudah diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia itu, dicap sebagai ancaman yang membahayakan negara. Pada dekade 1980-an, buku itu terbit dan beredar diam-diam. Banyak yang berupa materi stensilan. Tidak boleh dibaca secara terbuka. Hanya bisa diam-diam. Orang-orang yang membaca buku itu bisa diseret ke penjara. Sebabnya? Membaca buku karya orang komunis. Hanya setelah Soeharto jatuh, pada beberapa tahun setelahnya, buku-buku itu bisa dibeli di toko buku dan dibaca secara bebas. Sayangnya, sudah terlanjur banyak manuskrip Pramoedya dibakar atau dimusnahkan.

Semoga banyak orang menjadi mengerti: kekerasan yang menimpa Steven bisa terjadi pada siapa saja. Tidak terbatas pada orang Papua. Masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah juga sedang berjuang merebut hak-hak mereka. Perjuangan yang sulit. Barangkali sama beratnya dengan marga Mahuze di Merauke.

Pada akhirnya, minta maaf adalah bagian dari proses untuk mengakui bahwa negara sudah melakukan kesalahan kepada warganya. Itu belum cukup. Negara masih diharapkan untuk berpihak dan menghormati hak-hak warga negara, baik sebagai manusia dan sekaligus sebagai warga negara. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :