Polisi Takut Mahasiswa Uncen Jayapura?

Polisi Takut Mahasiswa Uncen Jayapura? Gambar ilustrasi: Istimewa

Loading

HAMPIR setiap kali mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) turun ke jalan, aparat selalu menyambutnya dengan gas air mata, water cannon, dan penangkapan. Seolah-olah suara mahasiswa adalah momok yang menakutkan bagi polisi. Pertanyaannya: apakah polisi benar-benar takut dengan mahasiswa Uncen? Atau, jangan-jangan polisi takut pada kebenaran yang mahasiswa bawa?

Sejarah panjang membuktikan pola berulang. 16 Maret 2006, peristiwa kelam yang dikenal sebagai “Uncen Berdarah” menelan korban jiwa setelah demonstrasi dibubarkan dengan kekerasan. 10 Desember 2022, aksi memperingati HAM yang digelar mahasiswa dan aktivis di Abepura kembali dibubarkan, dua polisi luka-luka. 15 November 2024, mahasiswa Uncen yang menolak program transmigrasi dipaksa bubar, aparat berdalih aksi tidak berizin. 22 Mei 2025, mahasiswa menolak kenaikan UKT; polisi membalas dengan gas air mata, kericuhan pecah, satu truk polisi dibakar, dan empat aparat luka. Dan yang terbaru, 30 September 2025, aksi memperingati 63 tahun Perjanjian Roma kembali berakhir dengan pembubaran paksa, water cannon dan gas air mata ditembakkan, serta empat mahasiswa ditangkap.

Deretan peristiwa itu menunjukkan satu hal: bukannya memberi ruang bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat, polisi justru menjadikan pembubaran paksa sebagai respon standar. Dalihnya selalu sama: mencegah kerusuhan, menjaga ketertiban, atau menolak long march. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan kericuhan justru terjadi setelah polisi turun tangan dengan cara represif. Negosiasi gagal karena aparat lebih memilih kekuatan daripada dialog.

Padahal, hak menyampaikan pendapat dijamin konstitusi. Pasal 28E UUD 1945 tegas menyebut setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mempertegas bahwa demonstrasi bukan kejahatan, melainkan hak warga negara. Polisi bahkan diwajibkan memberi pengamanan agar aksi berjalan tertib, bukan membubarkannya secara paksa.

Mahasiswa Uncen tidak membawa senjata, mereka hanya membawa suara. Mereka bicara soal UKT, transmigrasi, HAM, hingga politik Papua. Suara itu sah, suara itu konstitusional. Jika polisi terus merespons dengan kekerasan, maka yang dilanggar bukan mahasiswa, melainkan hukum itu sendiri. Polisi tidak sedang menjaga demokrasi, melainkan meruntuhkannya.

Polisi harus ingat: mereka digaji oleh rakyat, bukan oleh ketakutan. Tugas mereka adalah melindungi, bukan menindas. Mahasiswa Uncen berhak bersuara, sama seperti mahasiswa di seluruh Indonesia. Pembubaran berulang hanyalah bukti ketidakdewasaan institusi kepolisian dalam menghadapi kritik.

Sudah saatnya polisi berubah. Berhenti represif, berhenti alergi terhadap kritik. UU sudah jelas: demonstrasi adalah hak, bukan ancaman. Polisi harus mematuhi hukum, menjamin keamanan, dan memperlancar aksi mahasiswa. Hanya dengan itu, polisi bisa menunjukkan bahwa mereka bukan takut pada mahasiswa, tetapi berani berdiri di sisi demokrasi. (Editor)