JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Pelaksana Tugas Bupati Kabupaten Mimika Johannes Rettob menilai, penetapan dirinya dan Silvy Herawaty sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Papua merupakan proses yang tidak sah dan tidak adil serta melanggar hukum acara pidana dan menginjak-injak hak asasi manusia (HAM).
Statemen John Rettob mengemuka menyusul pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jayapura oleh Kejaksaan Negeri Timika. John mengatakan hal tersebut bertolak dari sejumlah fakta.
Pertama, proses penyelidikan perkara hanya satu bulan oleh Kejaksaan Negri Timika yaitu pada Agustus 2022 dan ditingkatkan menjadi penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Papua mulai Agustus 2022. Proses penyidikan berlangsung selama enam bulan dan ditetapkan menjadi tersangka pada 25 Januari 2023.
“Sebelum saya dan Silvy Herawaty ditetapkan jadi tersangka oleh penyidik, media sudah memuat berita penetapan tersangka. Padahal, saya belum menerima surat pemberitahuan tersangka tetapi surat yang bersifat rahasia tersebut sudah beredar dan dipublikasi melalui media media sosial,” kata John melalui keterangan yang diperoleh kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta.
Kedua, pada saat pemeriksaan John dan Silvy sebagai tersangka pada Kamis (17/2 2022) ada pertanyaan dari penyidik apakah keduanya akan mengajukan empat orang saksi fakta dan satu orang saksi ahli meringankan untuk kepentingan penyidikan, bukan pengadilan.
Tahapan ini, ujar John, belum dilakukan tetapi pada Senin (27/2 2023), keduanya dipanggil untuk penyerahan berkas tahap dua. Hal tersebut dipandang melanggar hukum acara pidana dan hak asasi manusia.
Ketiga, penyerahan berkas tahap dua tidak jadi dilaksanakan dan belum dilaksanakan karena keduanya tidak hadir. Oleh karena keduanya masih menunaikan agenda lain dan meminta ijin melalui surat tertulis disertai bukti alasan, baik secara pribadi maupun dari kuasa hukum. Karena itu, keduanya meminta pengunduran waktu ke Selasa (7/3 2023)
Keempat, pelimpahan berkas tahap dua dari penyidik Kejaksaan Tinggi Papua kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Mimika tanpa sepengetahuan John dan Silvy sebagai tersangka. Keduanya mengaku, tidak pernah hadir dalam proses itu dan tidak pernah menanda tangani berita acara apapun sehingga keduanya merasa proses pelimpahan perkara tahap dua belum pernah terjadi.
Kelima, namun tiba-tiba berkas sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jayapura oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Timika yang didaftarkan pada Rabu (1/2 2023) serta dijadwalkan sidang pada Kamis (9/3 2023).
“Artinya, pelimpahan berkas dan alat bukti ke pengadilan tidak sah dan telah melanggar hukum acara pidana dan telah melanggar kepentingan hukum yang adil serta melanggar dan menginjak hak asasi kami,” kata John tegas.
Hal tersebut, kata John, menjadi preseden buruk penerapan hukum di Indonesia yang dibuat dan dimulai dari Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Mimika sehingga hal ini sangat berbahaya. John bahkan mempertanyakan, bagaimana mau menegakkan hukum yang adil, menegakkan hukum acara pidana bila aparat penegak hukum sendiri yang melanggar.
“Saya yang dalam kedudukan dan jabatan sebagai bupati saja dibuat begini, bagaimana kalau terjadi pada warga negara atau masyarakat lain? Ini persoalan dapat terjadi, karena perkara tipikor yang diproses kejaksaan, penyidik dari kejaksaan dan jaksa penuntut umum juga dari kejaksaan harus dievaluasi,” ujar John.
Kuasa hukum John Rettob, Yohanes Mere, SH, Kamis (2/3) menyurati Kejaksaan Agung Republik Indonesia meminta perlindungan hukum atas kliennya. Pasalnya, Mere menilai, Kejaksaan Negeri Timika sedang mempertontonkan pelanggaran hukum terhadap dua tersangka dugaan korupsi pesawat dan helikopter.
“Kami minta perlindungan hukum, kerja mereka seperti kesetanan, mereka melanggar kaidah hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia,” ujar Mere melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Sabtu (4/3).
Menurut Mere, salah satu pelanggaran yakni Pasal 116 ayat 3 dan 4 yang mewajibkan penyidik memeriksa saksi atau ahli yang meringankan tersangka.
“Tadi kami sudah surati Kejakasaan Agung meminta perlindungan hukum dan menyurat Kejaksaan Tinggi Papua untuk mengevaluasi hal ini. Kami juga sudah mengirim surat ke pengadilan,” ujar Mere lebih jauh.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dua, kata Mere, kliennya ditanya apakah menghadirkan saksi yang meringankan dalam proses penyidikan dan dijawab ada. “Bahkan kami sudah kasih masuk nama. Ternyata saksi yang meringankan tidak dipanggil. Malah mereka naikkan berkas tahap 2 penyerahan dari penyidikan ke penuntutan,” ujar Mere, pengacara dari Law Firm S. Hadjarati, Yan Mere & Patners, Jakarta. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)