Pejabat Tanpa Integritas

Pejabat Tanpa Integritas. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

FENOMENA pejabat pemerintah di Indonesia yang terus-menerus tersangkut masalah seakan menjadi pemandangan sehari-hari. Dari pusat hingga daerah, dari legislatif, eksekutif, yudikatif, hingga TNI dan POLRI—selalu ada kasus baru yang menyeruak. Masalahnya pun beragam: dari persoalan pribadi yang tidak pantas, pelanggaran etika jabatan, hingga tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Yang lebih memprihatinkan, daftar pelakunya terus bertambah, seolah-olah jabatan publik justru menjadi pintu masuk untuk berbuat salah, bukan untuk mengabdi.

Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi integritas di kalangan pejabat publik. Integritas semestinya menjadi syarat utama bagi siapa pun yang dipercaya memegang amanah rakyat. Namun dalam praktiknya, integritas justru menjadi barang langka. Banyak pejabat lebih sibuk memperkaya diri dan kelompoknya ketimbang menjalankan tugas sebagai pelayan publik. Mereka menjadikan jabatan sebagai alat untuk mengakumulasi kekuasaan dan keuntungan pribadi, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Padahal, jabatan publik tidak hanya soal kewenangan, tetapi juga soal keteladanan moral. Ketika seorang pejabat terjerat masalah etika atau hukum, dampaknya bukan hanya pada dirinya, melainkan juga mencoreng wajah institusi dan meruntuhkan kepercayaan publik. Sayangnya, alih-alih ada efek jera, praktik semacam ini justru berulang dan diwariskan. Generasi baru pejabat pun tampaknya belajar dari kebiasaan buruk para pendahulunya, bukannya memperbaiki keadaan.

Salah satu penyebab fenomena ini adalah lemahnya sistem pengawasan dan sanksi. Banyak kasus hukum terhadap pejabat justru berjalan lambat, berbelit-belit, atau bahkan berhenti di tengah jalan. Tidak sedikit pula yang dilindungi oleh jaringan kekuasaan, sehingga hukum menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Situasi ini melahirkan budaya impunitas, di mana pejabat merasa bisa melakukan apa saja tanpa takut konsekuensi.

Di sisi lain, publik pun sering terjebak dalam sikap permisif. Masalah integritas pejabat dianggap sebagai hal biasa, bahkan kadang-kadang dilupakan begitu saja ketika muncul isu baru. Akibatnya, tekanan sosial terhadap pejabat bermasalah tidak cukup kuat untuk mendorong perubahan. Sementara partai politik, sebagai pintu masuk utama jabatan publik, kerap menutup mata demi kepentingan elektoral dan finansial.

Fenomena pejabat tanpa integritas adalah penyakit kronis yang menggerogoti tubuh bangsa. Selama tidak ada kesadaran kolektif untuk memperbaiki budaya politik dan birokrasi, masalah ini tidak akan pernah selesai. Dibutuhkan keberanian hukum, ketegasan institusi, dan kesadaran publik untuk menolak dan mengakhiri praktik busuk ini. Tanpa itu, pejabat akan terus menjadi sumber masalah, bukan solusi.

Jika pejabat publik kehilangan integritas, maka negara kehilangan arah. Karena tanpa pejabat yang jujur, beretika, dan bertanggung jawab, keadilan dan kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan. (Editor)