Oleh: Yakobus Dumupa
Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2017) dan Bupati Dogiyai (2017-2022)
DI UFUK timur Indonesia, sebuah kisah baru mulai terukir di langit Nabire. Bukan sekadar deru mesin pesawat yang memekakkan telinga, melainkan simfoni harapan yang bergaung di setiap sudut Bandara Douw Aturure. Pada 6 Desember 2024, pesawat Sriwijaya Air membelah cakrawala, disusul oleh Batik Air pada 17 Juli 2025, menorehkan jejak sejarah yang disambut gegap gempita. Ini adalah momen yang membangkitkan air mata bahagia, sebuah penanda bahwa gerbang isolasi perlahan terbuka, mengundang cahaya kemajuan untuk menyinari jantung Papua Tengah. Namun, di balik semarak pesta penyambutan itu, ada bisikan kekhawatiran yang tak kalah mendalam—bisikan dari leluhur, melantunkan melodi peringatan tentang masa depan tanah adat yang tak selamanya mulus.
Membuka Jendela Dunia, Memeluk Asa yang Lama Terpendam
Selama ini, Nabire dan Papua Tengah seringkali terasa seperti permata tersembunyi, indah namun sulit dijangkau. Keterbatasan akses transportasi udara telah lama menjadi belenggu yang memperlambat denyut ekonomi dan geliat pembangunan. Tapi kini, belenggu itu seolah terlepas. Kedatangan dua maskapai besar, Sriwijaya Air dan Batik Air, bukan hanya sekadar rute penerbangan baru; ia adalah jembatan impian.
Bayangkan saja, kini anak-anak Papua Tengah bisa lebih mudah merajut asa pendidikan di kota-kota besar. Pasien yang membutuhkan penanganan medis segera tak lagi terhambat jauhnya jarak. Para pedagang, senyumnya melebar, karena distribusi barang dan hasil bumi tak lagi memakan waktu berhari-hari. Keindahan alam Papua Tengah yang memesona—hutan hijau yang perawan, pantai-pantai berpasir putih, hingga budaya yang kaya—kini terbuka lebar untuk dinikmati dunia, menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat adat.
Pemerintah Provinsi Papua Tengah pun tak kuasa menahan haru dan optimisme. Para pemimpin, bersama para tetua adat dan ribuan warga, membaur dalam upacara penyambutan yang penuh makna. Pada pendaratan Sriwijaya Air, Penjabat (Pj.) Gubernur Papua Tengah, Anwar Damanik, S.STP., MM, dengan mata berbinar menyambut langsung momen bersejarah itu. Beliau menuturkan, “Saya berharap kehadiran Sriwijaya Air dapat memenuhi kebutuhan transportasi yang lebih efektif dan mendukung pembangunan di Papua Tengah.” Sebuah ungkapan harapan yang begitu tulus, demi masa depan yang lebih cerah. Bahkan, beliau menunjukkan komitmen nyata dengan menginstruksikan pendataan bagi putra-putri Papua untuk dilatih menjadi pramugari, membuka gerbang peluang kerja yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Kemudian, pada pendaratan perdana Batik Air dengan pesawat Airbus A320 yang mampu mengangkut 140-180 penumpang, suasana penyambutannya semakin meriah dengan tarian adat yang memukau, diiringi tepuk tangan riuh. Gubernur Papua Tengah Meki Nawipa, yang hadir langsung bersama jajaran petinggi daerah, menyambut hangat para kru maskapai. Dengan keyakinan penuh, Gubernur Meki Nawipa menyatakan, “Kami menyambut baik kehadiran Batik Air, ini adalah sejarah baru bagi konektivitas transportasi udara di Papua Tengah. Kehadiran Batik Air ini diharapkan dapat menjadi pembuka bagi pertumbuhan ekonomi, sektor pariwisata, dan peningkatan konektivitas wilayah Papua Tengah di masa mendatang.” Pernyataan ini menggarisbawahi sebuah visi dan janji akan transformasi.
Ini adalah momen “kita bersama,” sebuah suara bulat dari warga yang ingin melihat tanah mereka maju, sejahtera, dan terhubung dengan dunia. Pesawat-pesawat itu seolah membawa serta angin segar, meniupkan semangat baru bagi seluruh penghuni tanah Papua Tengah.
Di Balik Gemuruh, Bisikan Leluhur yang Enggan Pergi
Namun, setiap cahaya yang terang pasti meninggalkan bayangan. Di balik gemuruh pesawat yang membawa asa baru, terukir jelas kekhawatiran yang telah lama menghantui mimpi-mimpi masyarakat Papua. Ini adalah suara-suara hati yang teringat pada sejarah kelam, di mana setiap kemajuan seringkali datang dengan harga yang mahal: kehilangan. Bisikan para leluhur seolah mengingatkan, bahwa modernisasi jangan sampai mengorbankan akar dan identitas.
Kekhawatiran pertama adalah tentang migrasi tak terkendali. Pembukaan akses udara yang lebih mudah dan murah ini dikhawatirkan akan menjadi jembatan empuk bagi gelombang pendatang dari luar Papua. Para pendatang, dengan bekal dan pengalaman yang mungkin lebih matang, berpotensi mendominasi sektor-sektor ekonomi vital, menggeser perlahan peran dan keberadaan masyarakat asli. Seorang aktivis muda Papua, dengan nada getir, mengungkapkan, “Kami menyambut baik kemajuan ini, tetapi jangan sampai kemajuan ini justru menggerus identitas kami. Pesawat ini bisa menjadi jembatan empuk bagi orang-orang dari luar untuk datang ke sini dalam jumlah besar, mencari keuntungan, tanpa peduli pada keberlanjutan budaya dan tanah adat kami.” Sebuah keresahan yang jujur dari hati yang mencintai tanah kelahirannya.
Lebih jauh lagi, ada bayangan pencaplokan tanah adat. Tanah, bagi masyarakat Papua, bukan sekadar lahan, melainkan napas kehidupan, warisan leluhur, dan rumah bagi roh-roh mereka. Dengan dalih investasi dan pembangunan, seringkali lahan-lahan ulayat beralih fungsi dan kepemilikan tanpa persetujuan yang adil dan transparan. Peristiwa ini, yang telah berulang kali terjadi di berbagai wilayah Papua, menorehkan luka mendalam. Kekhawatiran bahwa mobilitas yang meningkat akan memuluskan jalan bagi para spekulan dan korporasi untuk merampas tanah adat adalah mimpi buruk yang selalu membayangi, sebuah pengabaian terhadap bisikan para leluhur yang menjaga tanah ini.
Dan yang tak kalah menakutkan adalah potensi eksploitasi sumber daya alam Papua. Tanah Papua Tengah adalah surga yang diberkahi dengan kekayaan alam luar biasa—hutan lebat, mineral melimpah, dan lautan biru yang penuh kehidupan. Namun, kemudahan akses ini bisa menjadi pisau bermata dua. Ada kekhawatiran bahwa investor yang hanya berorientasi profit akan datang, mengeruk habis kekayaan alam tanpa peduli dampak lingkungan yang menghancurkan atau hak-hak masyarakat adat. Hutan bisa berubah jadi padang gersang, sungai menjadi keruh, dan laut kehilangan nyawa. Pengalaman pahit di tempat lain telah mengajarkan bahwa eksploitasi yang tidak bertanggung jawab hanya akan menyisakan kehancuran dan kemiskinan bagi masyarakat pemilik tanah, seolah mengkhianati amanah dari generasi ke generasi.
Pengalaman di daerah lain di Papua juga menjadi cermin yang menakutkan. Di beberapa wilayah yang telah lebih dulu terbuka, masalah sosial seperti meningkatnya konsumsi miras, kriminalitas, dan degradasi moral kerap dikaitkan dengan masuknya budaya dan gaya hidup dari luar yang tidak diimbangi dengan filter sosial yang kuat. Masyarakat adat, dengan nilai-nilai luhur dan kearifan lokalnya, menjadi sangat rentan di tengah perubahan yang begitu cepat dan masif. Bisikan leluhur seolah mengingatkan pentingnya menjaga budaya dan nilai moral di tengah arus modernisasi.
Merajut Harapan, Merawat Kearifan: Jalan ke Depan
Momentum pendaratan perdana ini adalah undangan untuk merenung dan bertindak. Apresiasi terhadap terbukanya akses udara di Nabire harus diimbangi dengan kesadaran penuh akan risiko yang mengintai. Pemerintah Provinsi Papua Tengah, bersama pemerintah pusat, tokoh adat, dan seluruh elemen masyarakat, memikul tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kemajuan ini bersifat inklusif dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar membuka pintu bagi eksploitasi. Ini adalah saatnya mendengarkan gemuruh pesawat yang membawa harapan, sekaligus tak mengabaikan bisikan kearifan leluhur.
Pertama, lindungi tanah adat dan alam Papua dengan segenap jiwa. Perlu ada regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap upaya pencaplokan lahan tanpa persetujuan yang adil dari masyarakat adat. Bumi Papua adalah titipan, bukan sekadar komoditas. Setiap proyek pembangunan harus melalui konsultasi yang tulus dan memberikan manfaat nyata bagi pemilik tanah. Inventarisasi tanah adat yang komprehensif adalah langkah awal untuk menjamin kepastian hukum.
Kedua, berdayakan putra-putri Papua dengan sepenuh hati. Pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan yang relevan, dan kesempatan kerja yang adil harus menjadi prioritas utama. Jangan biarkan masyarakat Papua menjadi penonton di tanah sendiri. Afirmasi dan pendampingan bagi wirausaha lokal adalah kunci untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi.
Ketiga, kelola migrasi dengan bijaksana. Keterbukaan adalah keniscayaan, tetapi bukan berarti tanpa kontrol. Perlu ada mekanisme yang memastikan bahwa arus pendatang tidak merusak tatanan sosial dan budaya lokal. Dialog antara masyarakat adat dan pendatang harus terus dibangun untuk menumbuhkan saling pengertian dan harmoni.
Keempat, dorong ekonomi lokal yang berbasis pada kearifan budaya. Kembangkan pariwisata berbasis komunitas yang menghargai adat istiadat, pertanian berkelanjutan yang menjaga alam, dan industri kreatif yang mengangkat kekayaan budaya Papua. Biarkan masyarakat Papua menjadi aktor utama dalam mengelola kekayaan mereka sendiri.
Kelima, perkuat peran adat dan nilai-nilai lokal. Kearifan leluhur adalah benteng terakhir yang menjaga identitas dan harmoni. Setiap kebijakan pembangunan harus selaras dengan nilai-nilai ini, dan suara lembaga adat harus didengar dan dihargai dalam setiap pengambilan keputusan.
Pendaratan pesawat-pesawat di Nabire adalah sebuah awal, sebuah janji. Ia membuka lembaran baru bagi Papua Tengah. Namun, apakah lembaran ini akan dipenuhi dengan kisah-kisah kemajuan yang membanggakan atau justru cerita pahit tentang kehilangan, itu semua bergantung pada langkah-langkah yang kita ambil hari ini. Akankah gemuruh modernisasi mengubur bisikan kearifan leluhur, ataukah Papua Tengah akan menjadi model pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, di mana kemajuan sejalan dengan pemeliharaan warisan budaya dan alamnya? Jawaban atas pertanyaan ini ada di tangan kita semua, dalam setiap kebijakan, setiap tindakan, dan setiap hati yang peduli akan masa depan Papua.