Obituari Simon Patrice Morin  - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Obituari Simon Patrice Morin 

Frans Maniagasi, Pengamat Politik Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Frans Maniagasi

Pengamat Politik Papua

SEJAK Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia memasuki masa pancaroba politik ditandai dengan era reformasi. Reformasi yang menghendaki perubahan terhadap paradigma politik lama seperti totaliter, otoriter, dan sentralisasi kekuasaan.

Kekuasaan yang hanya terpusat di satu tangan dan didukung oleh militerisasi dan konglomerasi mesti diubah dengan demokrasi dan demokratisasi. Perubahan itu tidak luput bergema hingga ke daerah seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atau Aceh, Timor Timur, dan Papua. Timor Timur akhirnya merdeka menjadi nation state sendiri yang kini dikenal dengan Republik Demokratik Timor Leste alias Timor Leste.

Papua dan Aceh tuntutan yang sama namun akhirnya dapat dicapai kesepakatan politik berupa pemberian kebijakan negara berbentuk otonomi khusus (otsus). Kisah awal perjuangan otsus di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak semata mata pemberian pemerintah pusat. Namun, ada perjuangan yang cukup gigih oleh para wakil rakyat Papua di Senayan.

Tahun 1999, dilaksanakan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) Republik Indonesia membahas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk periode 1999-2004.

Ketetapan MPR itu juga mengamanatkan agar dikeluarkan Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah.

Saat itu, hadir juga para wakil rakyat asal Irian Jaya seperti Simon Patrice (SP) Morin, Dr Drs Jacobus Perviddya (JP) Solossa, M.Si, Pendeta Wem Rumsarwir, Ruben Gobai, Alex Hesegem, Tonny Rahail, Pendeta Lukas Sabarofek, Marthina Mehue Wali, SM Tampubolon, Sulaeman L Hamzah, dan John Fakhiri. Dua nama terakhir, Sulaeman L Hamzah, dan John Fakhiri, adalah anggota MPR RI Utusan Daerah Irian Jaya.

Sunter terdengar di arena SU MPR bahwa Aceh akan diberikan kebijakan status otsus. Maka berlangsung pula pertemuan para anggota DPR/MPR dari Irian Jaya dan Aceh. Setelah pertemuan itu mereka kembali ke lantai 11 ruang JP Solossa menyusun strategi bagaimana menekan pimpinan sidang Akbar Tanjung sekaligus Ketua DPR/MPR RI agar Papua juga mesti memperoleh kebijakan dan status otsus seperti Aceh.

Oleh karena di lantai 11 itu, penulis (saya) dan Wolas Krenak sebagai jurnalis yang ditempatkan di press room DPR, ruangan khusus untuk para wartawan yang ngepos di Senayan. Telepon dari lantai 11 Fraksi Golkar DPR RI berdering karena Pak JP Solossa, salah satu pimpinan Fraksi. Penulis dan Wolas diminta datang ke lantai 11 ruangan Pak Jaap Solossa.

Setiba di ruangan kerja Pak Jaap, sudah ada Pak Simon Morin, Tonny Rahail, Lukas Karel Degei, Martina Mehue, dan SM Tampubolon. Rapat singkat yang berlangsung sekitar 15 menit memutuskan skenario akan ada manuver politik dari seluruh Anggota DPR/MPR dari Irian Jaya.

Manuver segera dilakukan apabila dalam sidang yang digelar Irian Jaya atau Papua tidak memperoleh kebijakan dan status otsus, seluruh anggota parlemen asal Papua akan mengeluarkan statemen mengumumkan Papua merdeka di gedung DPR/MPR RI agar masyarakat dan komunitas internasional tahu.

Skenario ini diatur oleh SP Morin, Jaap Solossa, Toni Rahail, dan Lukas Karel Degei. Tugas penulis dan Wolas Krenak adalah mengorganisir seluruh wartawan dalam dan luar negeri, dimobilisasi untuk meliput momen di dalam Sidang Umum MPR RI tentang GBHN.

Tatkala Sidang dibuka oleh Akbar Tanjung, langsung diinterupsi SP Morin dan JP Solossa dengan nada mengancam. Apabila Irian Jaya atau Papua tidak diberikan status khusus seperti Aceh, maka detik dan jam ini pula kami anggota parlemen dari Irian Jaya memproklamasikan Papua merdeka.

Rupanya trik dan manuver politik ini memperoleh sorotan dari seluruh media cetak dan elektronik, baik nasional dan internasional. Trik dan manuver politik itu berhasil ditanggapi pimpinan rapat Akbar Tanjung dari meja sidang.

Akbar Tanjung kemudian menyuruh SP Morin dan Jaap Solossa dan seluruh anggota parlemen asal Irian Jaya duduk. Tak lama, Akbar Tanjung mengetuk palu sidang dengan keputusan: Irian Jaya juga memperoleh status otsus.

Akhir trik dan manuver politik itu: sidang secara aklamasi menyatakan mendukung sepenuhnya Irian Jaya memperoleh status khusus dan dicantumkan dalam Tap MPR Nomor IV/MPR Tahun 1999.

Demikian secuil kenangan mengenang senior, kakanda SP Morin, Jaap Solossa, Tonny Rahail, Lukas Karel Degei, Sulaeman Hamzah, dan John Fakhiri, dan kawan-kawan terkait latar perjuangan Papua memperoleh status otonomi khusus hingga saat ini.

Selamat jalan senior, kakanda SP Morin, sosok putra asli Papua yang rendah hati. Ada pelajaran berharga yang penulis peroleh dari para senior ini yaitu bagaimana memperjuangkan aspirasi politik sesuai sistem dan mekanisme dalam negara ini.

Selamat jalan untuk senior, kakanda SP Morin dan para senior yang telah mendahului memenuhi panggilan Tuhan menuju rumah-Nya. Semoga kaka SP Morin, Pak JP Solossan, dan para senior yang sudah berpulang damai dalam keabadian Allah dan para kudus di Surga.

Tinggalkan Komentar Anda :