INDONESIA sedang dirusak dari dalam oleh sekelompok orang yang menamakan diri nasionalis, tetapi sesungguhnya hanyalah penjahat kebangsaan. Mereka memelintir makna nasionalisme menjadi alat untuk menindas, memaksakan penyeragaman, dan menolak kebhinekaan. Padahal, tanpa kebhinekaan, Indonesia tidak pernah lahir. Nasionalisme sempit ini bukan memperkuat bangsa, melainkan menghancurkan Indonesia pelan-pelan, ibarat rayap yang menggerogoti kayu hingga lapuk.
Nasionalisme ekstrem adalah racun. Ia lahir dari ketakutan terhadap perbedaan, lalu menjelma menjadi kebijakan diskriminatif, sikap intoleran, dan keputusan politik yang memecah belah. Dengan dalih cinta tanah air, mereka menolak hak-hak kelompok minoritas, menutup ruang partisipasi, bahkan melegalkan penindasan. Inilah wajah asli nasionalisme sempit: menindas yang lemah, menyingkirkan yang berbeda, dan memelihara kebencian.
Lebih parah lagi, para nasionalis ekstrem ini gemar berteriak soal persatuan. Tetapi persatuan yang mereka kumandangkan hanyalah persatuan palsu—persatuan yang lahir dari paksaan dan dominasi. Itu bukan persatuan, melainkan penindasan berjubah nasionalisme. Mereka tidak sedang menyelamatkan bangsa, melainkan menggiring Indonesia ke jurang kehancuran.
Kita harus berani menyebut mereka sebagai pengkhianat Pancasila. Sebab Pancasila menegaskan persatuan yang hidup dalam keadilan, persatuan yang menghormati keberagaman. Menutup mata terhadap kebhinekaan sama saja menodai dasar negara dan menampar wajah para pendiri bangsa. Jika dibiarkan, nasionalisme ekstrem akan terus melahirkan konflik, memperlebar jurang perpecahan, dan akhirnya meruntuhkan rumah besar bernama Indonesia.
Inilah saatnya bangsa ini tegas berkata: cukup! Jangan biarkan nasionalisme ekstrem mencabik-cabik Indonesia. Aparat negara harus berhenti memanjakan mereka dengan kebijakan yang diskriminatif. Media massa, intelektual, tokoh agama, dan masyarakat sipil wajib bersatu mengecam keras cara pandang sempit ini. Pendidikan kebangsaan harus menegaskan kembali bahwa mencintai Indonesia berarti mencintai semua perbedaan, bukan menyingkirkannya.
Sejarah dunia sudah mencatat banyak bangsa yang hancur karena fanatisme sempit. Indonesia tidak boleh mengikuti jejak itu. Jika kita ingin negeri ini tetap berdiri, maka nasionalisme sejati harus ditegakkan—nasionalisme yang merangkul, bukan menindas; yang mempersatukan, bukan memecah belah. Editorial ini menegaskan dengan tegas: nasionalisme ekstrem adalah musuh bangsa. Dan jika dibiarkan, ia akan menghancurkan Indonesia sampai ke akar-akarnya. (Editor)










