SEKARANG, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepak bola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepak bola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya.
Bre Redana, esais yang terkenal, mengucapkan kalimat itu pada sebuah workshop kritik film pada 2018. Acara itu digagas oleh Pusat Pengembangan Film Kemendikbud. Begitulah situasi kita saat ini.
Siapa pun dapat mengunggah pandangannya tentang pandemi Covid-19 ini dengan sangat gampang. Media sosial memberikan ruang terbuka kepada siapa saja. Mau omong bermutu atau sebaliknya nyaris tanpa kendala. Selama masih punya paket data dan terhubung dengan jaringan internet, orang bebas menyebarkan opininya. Siapa pun bebas bicara.
Media sosial menjadi ruang yang hampir tiada batasnya. Di sana orang bisa bercuit tentang yang suci sampai dengan yang paling hina. Ingin bicara yang ada isinya, silakan. Hendak memuntahkan sampah paling bau busuk pun tidak ada yang melarang. Paling-paling setelah itu berkelit dengan alibi: kalau ada gunanya silakan ambil. Kalau tidak, ya, silakan skip.
Tidak semua orang mengerti bahwa media sosial betul-betul sekadar ruang terbuka. Ini seperti panggung dengan lapangan luas —yang tidak memisahkan antara penonton dengan penampil.
Berada di media sosial layaknya Anda berada di kerumunan jutaan orang yang saling berbicara dan, jika beruntung, didengarkan. Setiap orang bebas mau omong. Tidak harus menjadi ahli. Tidak harus menguasai materi yang ingin disampaikan. Tidak harus memiliki pengetahuan. Yang penting tidak bisu!
Di sana sangat orang bisa bertemu dengan nabi-nabi yang sesungguhnya, yang berkuasa untuk mengajar karena memang memiliki ilmu. Di situ juga orang mungkin bersua dengan nabi-nabi palsu yang sibuk mencari pengikut untuk disesatkan. Nabi-nabi palsu ini tidak tahu apa yang dirinya tidak tahu — tapi berlagak sebagai “orang yang mengetahui”. Kita perlu mengerti: media sosial adalah “ruang-pertandingan” antara benih yang baik dengan rumput ilalang yang wujudnya nyaris serupa.
Apakah dengan demikian media sosial menyimpan bahaya? Tanpa mengerti hakikat media sosial, orang bisa tersesat. Yang ada di media sosial tidak semuanya benar. Sama dengan tidak semua komentar yang beredar usai pertandingan sepak bola adalah analisis berdasarkan ilmu persepakbolaan. Yang paling tepat untuk membuat analisisa dalah “ahli sepak bola”.
Pada 1980-an para ahli dari berbagai bidang keilmuan berkumpul dan melahirkan kesepakatan soal AIDS. Setelah perjalanan panjang penelitian para pakar sampai pada kesimpulan bahwa AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia.
Akan tetapi, temuan para ahli itu ditentang oleh sekawanan orang. Orang-orang ini mengambil langkah berlawanan daripada yang disarankan oleh para ahli kedokteran itu.
Temuan tentang HIV itu, yang disusul dengan rekomendasi-rekomendasi praktis dan penelitian-penelitian lanjutan, berhasil menyalamatkan hidup banyak orang. Malah, setelah tahu pencegahan penularan, PBB kini menargetkan pada 2030 tidak ada lagi penularan HIV.
Pandangan kaum penentang konsensus pakar ilmu kedokteran itu menarik Thabo Mvuyelwa Mbeki, Presiden Afrika Selatan periode 1999-2008. Ia menolak bantuan obat-obatan dan kesehatan untuk mengedalikan HIV di negaranya. Virus terus menyebar di negaranya. Akibatnya 300 ribu orang meninggaldan 35 ribu lebih bayi lahir dengan positif HIV.
Kisah tragis ini memaksa kita untuk lebih bijaksana menyikapi pandangan-pandangan yang tumpah-ruah di media sosial tentang pandemi Covid-19. Di Papua tidak sedikit orang yang mendapatkan pengetahuannya dari sana. Kemudian ia mengambil langkah mengikuti yang dibacanya.
Bagus jika di media sosial ia membaca dan mengikuti suara dari “nabi sejati”. Akan tetapi, bagaimana jika sebaliknya? Pada titik yang paling fatal adalah ia membuat hidupnya dalam risiko yang besar. (Editor)