HUBUNGAN antara pemerintah pusat di Jakarta dan masyarakat Papua kerap diibaratkan seperti “api dalam sekam”. Permukaan tampak tenang, namun di bawahnya menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat meletus. Sejarah panjang perbedaan pandangan, persoalan ketidakadilan, dan kegagalan komunikasi telah memperpanjang daftar permasalahan yang tak kunjung tuntas. Kini, saatnya mengakhiri siklus ketidakpercayaan ini dengan pendekatan yang lebih manusiawi, yaitu melalui dialog yang jujur, setara, dan bermartabat.
Papua memiliki dinamika sosial, politik, dan budaya yang kompleks. Sejak bergabung dengan Indonesia pada 1969, Papua sering merasa diperlakukan sebagai daerah pinggiran yang hanya dieksploitasi sumber daya alamnya tanpa mendapat manfaat yang adil. Pembangunan di sektor infrastruktur sering kali tidak diiringi dengan pemberdayaan masyarakat lokal. Dampaknya, ada perasaan terpinggirkan dan teralienasi yang meluas di kalangan masyarakat Papua.
Salah satu akar persoalan adalah pendekatan keamanan yang selama ini menjadi strategi utama Jakarta dalam menangani gejolak di Papua. Operasi militer yang berkepanjangan justru memperdalam luka sosial dan menciptakan trauma kolektif. Alih-alih meredam konflik, pendekatan represif ini memperkuat narasi ketidakpercayaan dan memperlebar jurang pemisah antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat.
Di tengah berbagai persoalan tersebut, dialog menjadi jalan yang paling masuk akal. Upaya ini pernah dirintis oleh Jaringan Damai Papua (JDP), sebuah inisiatif yang berupaya membangun dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua dengan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif. Konsep Dialog Jakarta-Papua yang digagas JDP menempatkan komunikasi sebagai alat utama untuk menyelesaikan persoalan. Dialog ini berfokus pada keterbukaan mendengar aspirasi masyarakat Papua tanpa tekanan dan ancaman, serta mengakui bahwa solusi terbaik harus lahir dari kesepakatan bersama.
Namun, hingga kini, gagasan dialog yang diusung JDP belum sepenuhnya diimplementasikan dengan optimal. Beberapa kalangan di Jakarta masih enggan membuka ruang dialog karena kekhawatiran akan isu separatisme. Padahal, kegagalan untuk membangun dialog yang bermakna hanya akan memperpanjang konflik dan memicu ketegangan baru. Ketakutan akan dialog sama saja dengan menutup pintu bagi penyelesaian damai.
Dialog yang dibutuhkan bukan sekadar pertemuan formal yang penuh basa-basi. Dialog ini harus mampu menyentuh persoalan fundamental, seperti hak atas tanah, keadilan ekonomi, pelanggaran HAM, dan pengakuan atas identitas budaya Papua. Pemerintah perlu hadir sebagai mitra sejajar, bukan sebagai pihak yang mendikte. Dalam dialog ini, para pemangku kepentingan—baik dari Jakarta maupun Papua—harus sama-sama memiliki komitmen untuk membangun kepercayaan melalui langkah nyata.
Untuk memperkuat komitmen ini, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus menjadi prioritas. Selain itu, tokoh-tokoh Papua yang selama ini vokal dalam menyuarakan aspirasi daerah perlu dilibatkan secara aktif dalam pengambilan kebijakan. Kepercayaan tidak akan lahir jika pemerintah hanya memaksakan solusi sepihak.
Di sisi lain, masyarakat Papua juga perlu meyakinkan bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan untuk keadilan dan hak asasi, bukan agenda separatisme. Dengan demikian, dialog tidak hanya menjadi sarana untuk mengatasi konflik, tetapi juga menjadi jembatan menuju keadilan sosial dan persatuan bangsa.
Program-program pembangunan, seperti jalan trans-Papua dan Otonomi Khusus (Otsus), yang sudah dijalankan sejauh ini perlu dievaluasi dalam kerangka dialog. Apakah program tersebut telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua? Apakah ada keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaannya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur dalam dialog Jakarta-Papua.
Kini, saatnya pemerintah lebih serius dalam menghidupkan kembali konsep dialog yang digagas oleh JDP. Dialog ini harus berkelanjutan, berorientasi pada solusi jangka panjang, dan tidak hanya mengutamakan pembangunan fisik tetapi juga pembangunan manusia. Dengan dialog yang tulus, kita bisa memadamkan api dalam sekam yang selama ini terus membara di bawah permukaan. Masa depan Papua adalah masa depan Indonesia. Merangkul Papua dengan keadilan dan kasih sayang adalah wujud konkret dari komitmen kita terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. (Yakobus Dumupa/Editor)