Oleh Marinus Mesak Yaung
Dosen Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih
MASYARAKAT luas, khususnya orang atau kelompok nasionalis Papua tentu bertanya-tanya. Mengapa proposal aplikasi Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda ditolak oleh negara-negara peserta forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) ke-22 di Port Villa, Vanuatu?
Padahal, menjadi anggota penuh MSG adalah “jalan tol” menuju pada praktek politik referendum di Papua. Tulisan ini bertujuan membuka tabir di balik gagalnya diplomasi ULMWP di basis politik utamanya yaitu komunitas Melanesia.
Dalam perspektif hubungan internasional, pola hubungan interaksi di antara aktor-aktor utama politik internasional ditentukan dan diatur oleh great power actor, negara-negara besar. Bukan ditentukan dan diatur oleh small power actor, negara-negara kecil.
Hegemoni lama
Di kawasan regional Melanesia, great power actor adalah Australia dan Selandia Baru. Dua negara besar ini adalah kekuatan hegemoni lama yang selama ini mengontrol dan mengendalikan dinamika sosial politik dan keamanan di kawasan Melanesia.
Forum MSG yang dibentuk tahun 1988 sesungguhnya adalah kepanjangan tangan dari kepentingan nasional Australia dan Selandia Baru. Meskipun negara-negara MSG adalah negara-negara merdeka, namun negara-negara tersebut masuk dalam kategori negara “Banana Republic”. Negara-negara itu tidak independen menentukan tujuan kepentingan nasionalnya.
Keuangan masing-masing negara tersebut sangat tergantung dari dana hibah Australia dan Selandia Baru. Sebelum China sekarang menjadi sumber utama dana hibah bagi APBN mereka, defisit perdagangan dengan Australia dan Selandia Baru sebagai pasar perdagangan utama mereka terus terjadi.
Tak berlebihan, negara-negara tersebut begitu mudah diintervensi Australia dan Selandia Baru terutama dalam urusan kebijakan luar negeri. Termasuk kebijakan dalam isu keanggotan penuh ULMWP di MSG.
Selandia Baru dan Australia adalah aktor utama di balik kegagalan atau penolakan propossl ULMWP untuk menjadi anggota penuh forum MSG.
Semua komunike atau keputusan sidang MSG selalu memperhitungan kepentingan Selandia Baru dan Australia. Karena itu, ketika Benny Wenda dan delegasi ULMWP melangkah ke sidang KKT MSG tanpa dukungan Selandia Baru dan Australia, ending diplomasi ULMWP sudah bisa ditebak atau diprediksi.
Egianus Kogoya
Jurnalis senior Radio New Zealand Johnny Blades sebelumnya mengirim surat elektronik (e-mail) kepada Brigjen Egianus Kogoya dan kelompoknya di Kabupaten Nduga, Papua. Surat itu dikirim melalui juru bicara Komisi Nasional (Komnas) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sebby Sambon.
Surat itu sampai juga ke tangan penulis. Pesan surat itu terbaca dengan jelas bahwa kunci keberhasilan diplomasi ULMWP di KKT MSG tahun 2023 di Port Villa, Vanuatu, berada di tangan Egianus Kogoya.
Apabila sandera pilot pesawat Susi Air Kapten Philip Mark Mehrtens masih di tangan Egianus Kogoya sampai pertemuan puncak para anggota MSG atau sampai pada saat leader summit meeting diadakan, pintu diplomasi ULMWP di kawasan Melanesia dan pasifik akan ditutup.
Apa yang disampaikan Blades merupakan suatu ancaman diplomatik yang serius. Apakah ancama itu terbukti? Dalam poin ke 13 huruf VII, Komunike MSG menulis dengan jelas. “Reinforced that the membership of the MSG must be limited only to sovereign and independent states with the special arragement for FLNKS.”
Terbukti ancaman tersebut. Keputusan KKT MSG dengan tegas menutup pintu bagi keinginan ULMWP menjadi anggota penuh MSG. Komunike MSG dengan tegas menyatakan keanggotaan penuh MSG hanya dikhususkan untuk negara-negara merdeka dan berdaulat dengan pengecualian untuk Gerakan Pro Kemerdekaan Kaledonia Baru (FLNKS), suatu organisasi kemerdekaan suku Kanak di Kaledonia Baru.
Inilah benang merah dari kasus penyanderaan Merthenz, pilot asal berkebangsaan Selandia Baru, dengan keterlibatan Selandia Baru dan Australia di balik kegagalan diplomasi kemerdekaan Papua oleh ULMWP di komunitas Melanesia.
Benny Wenda pada beberapa bulan lalu sudah meminta agar sandera pilot Mehrtens dibebaskan. Dewan Gereja Papua juga sudah mengeluarkan himbauan yang sama.
Tetapi permintaan tersebut tidak diindahkan oleh kelompok kriminal bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Ini resiko politik yang harus diterima oleh ULMWP dan para pendukungnya. Pintu keanggotaan penuh di MSG sudah ditutup rapat.
Internasionalisasi isu Papua di komunitas Melanesia berakhir di tangan Vanuatu, tuan rumah MSG leader summit. Suatu keputusan politik yang pahit dan mengecewakan rakyat Vanuatu sendiri dan juga masyarakat Papua pendukung ULMWP.