Koalisi Masyarakat Sipil Adukan Kasus Mutilasi Warga Nduga, Papua Pegunungan ke Komnas HAM

Abral Wandikbo (27), warga sipil asal Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Nduga, Papua Pegunungan, korban pembunuhan disertai mutilasi saat dipikul keluarga menyeberangi kali atau sungai usai ditemukan tak bernyawa pada Rabu, 25 Maret 2025. Koalisi masyarakat sipil akhirnya melaporkan kasus ini ke komisioner Komnas Komnas HAM RI di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (13/6). Foto: Istimewa

JAKARTA, ODIYAIWUU.com Sejumlah elemen masyarakat sipil yang terhimpun dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru, Jumat (13/6) mengadukan kasus pembunuhan disertai mutilasi Abral Wandikbo (27 tahun) di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat.

Anggota koalisi terdiri dari perwakilan Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Amnesty International Indonesia, Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dan Asia Justice and Rights.

Kemudian, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Koalisi diterima Ketua Komnas HAM Anies Hidayah dan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P Siagian.

 Dalam pertemuan tersebut, koalisi meminta pihak Komnas HAM mendesak negara segera mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM serta menindak tegas pelaku kekerasan terhadap Abral Wandikbo, warga sipil asal Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan.

“Kami mengecam keras tindakan penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum, extrajudicial killing terhadap Abral Wandikbo. Tindakan keji ini diduga dilakukan aparat TNI pada 22–25 Maret 2025 ketika menjalankan operasi militer di Yuguru,” ujar Direktur Eksekutif YKKMP Theo Hesegem di Kantor Komnas HAM RI, Menteng, Jakarta, Jumat (13/6).

Hesegem menegaskan, Wandikbo bukan anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dan tidak terlibat apapun dalam aktivitas bersenjata. Justru sebaliknya, almarhum dikenal aktif membantu aparat dalam pembangunan kembali lapangan terbang Yuguru guna memfasilitasi lalu lintas atau mobilitas masyarakat.

Namun, lanjut Hesegem, pada Sabtu (22/3) Wandikbo ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI saat memeriksa rumah warga satu per satu. Ia ditangkap tanpa alasan yang jelas dan tanpa bukti yang sah serta tanpa didampingi kuasa hukum. Wandikbo kemudian dibawa ke pos TNI di Lapangan Terbang Yuguru dan tidak pernah kembali.

“Pada Rabu, 25 Maret, Wandikbo ditemukan telah meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan karena tubuhnya termutilasi. Telinga, hidung, dan mulut hilang serta kaki dan betis melepuh. Kedua tangan korban terikat dengan borgol plastik, plasticuff,” kata Hesegem, putra asli Papua dan pegiat HAM senior.

Menurut Hesegem, dugaan kuat kolisi, Wandikbo menjadi korban penyiksaan berat sebelum akhirnya dibunuh. Ironisnya, sebelumnya aparat TNI menyampaikan kepada keluarga bahwa Wandikbo akan dipulangkan dalam keadaan hidup, namun kemudian menyebarkan narasi menyesatkan bahwa korban ‘melarikan diri’.

“Kami masyarakat sipil melakukan audiensi resmi dengan pihak Komnas HAM untuk melaporkan kasus tersebut sebagai dugaan pelanggaran HAM berat seperti yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan standar internasional. Hak korban untuk hidup, tidak disiksa dan hak untuk merasa aman jelas-jelas dilanggar. Begitu pula hak korban untuk mendapat pendampingan hukum ketika ditangkap juga diabaikan begitu saja oleh aparat yang menangkapnya,” ujar Hesegem.

Hesegem menegaskan, selain pembunuhan di luar hukum atas korban, pihak koalisi juga mendapat laporan bahwa sebelum terjadinya kasus tersebut, aparat TNI juga diduga merusak rumah-rumah warga dan fasilitas umum di wilayah tersebut.

“Sebelum kasus mutilasi menimpa Wandikbo hasil investigasi kami juga menemukan fakta-fakta bahwa anggota TNI telah melakukan perusakan terhadap sejumlah rumah warga dan fasilitas publik di Yuguru. Warga melihat anggota TNI melakukan pembongkaran sembilan rumah warga dan satu Puskesmas untuk mengambil papan, kayu-kayu, dan peralatan lainnya tanggal 22-23 Februari,” kata Hesegem.

Tak hanya itu. Sekolah juga digeledah anggota TNI pada tanggal 24 Februari hingga peralatan belajar dihamburkan seperti buku-buku, ijazah, surat baptis, dan lain sebagainya. Hal tersebut, kata Hesegem, jelas pelanggaran hak warga untuk merasa aman, pelanggaran atas hak kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak anak.

Anies Hidayah dalam pertemuan tersebut mengatakan, Komnas HAM mencatat ada 113 peristiwa terkait HAM terjadi di Papua sepanjang tahun 2024, 85 kasus di antaranya berdimensi konflik bersenjata dan kekerasan. Konflik ini menimbulkan dampak besar terhadap warga sipil, termasuk korban jiwa, luka-luka, dan pengungsi internal.

“Komnas HAM menyatakan keprihatinannya terhadap aksi kekerasan berupa pemukulan, pembunuhan, dan mutilasi terhadap warga sipil di kampung Yuguru. Komnas HAM mengecam aksi kekerasan itu karena hak hidup adalah hak fundamental. Kami mendorong tidak terjadi impunitas atas kasus kekerasan di Papua,” ujar Anis Hidayah.

Perwakilan KontraS Muhammad Yahya Ihyaroza dalam kesempatan itu menambahkan, penangkapan Wandikbo dilakukan hanya berdasarkan foto. Jadi, sebetulnya TNI melakukan penindakan terhadap korban, Wandikbo, hanya berdasarkan foto.

“Jadi ada foto yang didapati oleh TNI, di mana dalam foto itu ada orang Papua sedang memegang senjata. Sementara fotonya itu sebetulnya kurang jelas dan tidak dapat dibuktikan apakah orang yang berada di foto tersebut merupakan Abral atau bukan. Fotonya pun juga diambil dari Facebook,” kata Yahya.

Menurut Yahya, peristiwa ini mencerminkan pola pelanggaran hukum dan HAM yang terus terjadi di Papua, termasuk pandangan rasialis dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua, khususnya terkait tuduhan keterlibatan dengan gerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

“TNI dalam hal ini melakukan tindakan secara sewenang-wenang tanpa adanya proses hukum yang jelas terlebih dahulu, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu apakah betul orang yang ada di foto tersebut merupakan Wandikbo,” ujar Yahya.

Dalam pertemuan tersebut, koalisi menyampaikan tuntutan atas tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Nduga Abral Wandikbo. Pertama, pemerintah dan TNI harus segera mengusut tuntas dugaan penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Wandikbo serta dugaan perusakan rumah dan fasilitas umum di Yuguru. Aparat TNI di lapangan maupun pimpinan mereka di tingkat komando harus dimintai pertanggungjawaban hukum secara adil dan transparan.

Kedua, pemerintah harus memberikan pemulihan menyeluruh kepada keluarga korban dan warga Kampung Yuguru yang turut terdampak. Pemerintah daerah juga harus merenovasi fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas yang rusak, serta memastikan kebutuhan pendidikan dan kesehatan warga terpenuhi.

Ketiga, Komnas HAM harus menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat dan segera memulai penyelidikan pro justitia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Keempat, pelaku penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan harus diadili secara terbuka di pengadilan sipil, bukan militer, demi menjamin keadilan dan akuntabilitas publik. Kelima, negara harus segera menghentikan pendekatan militeristik dalam penyelesaian konflik di Tanah Papua, yang selama ini makin memperparah kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga sipil.

Keenam, pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi pemantau HAM independen, jurnalis, dan organisasi kemanusiaan ke wilayah Papua, termasuk ke Yuguru sebagai bentuk transparansi dan jaminan hak atas informasi.

Tanpa akses yang adil bagi media dan semua pemantau HAM independen di Papua, maka Papua akan terus berada dalam bayang bayang ketertutupan dan potensi pelanggaran HAM yang luput dari pengawasan publik akan terus terjadi. (*)