DAERAH  

Mantan Tapol Kirim Surat ke Presiden Bebaskan Aktivis Negara Federal Republik Papua Barat

Mantan tahanan politik Papua Selpius Bobii (kiri) dan Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto (kanan). Foto: Istimewa

Loading

NABIRE, ODIYAIWUU.com — Mantan tahanan politik (tapol) Papua Selpius Bobii, Rabu (27/8) melayangkan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto.

Dalam surat yang beredar di sejumlah jejaring jagat maya di tanah Papua, Selpius meminta Presiden membebaskan aktivis Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) Abraham Goram dan kawan-kawannya.

Para aktivis NFRPB ini ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka di Polres Sorong, Polda Papua Barat Daya karena menyampaikan pendapat melalui bentuk surat kepada Pemerintah Republik Indonesia terkait status politik bangsa Papua.

“Keempat aktivis NFRPB ditahan dan ditetapkan sebagai terdakwa adalah pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin UU Nomor 9 tahun 1998 yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum di Indonesia, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945,” ujar Selpius Bobii dalam surat terbuka yang salinannya diperoleh dari Nabire, Papua Tengah, Rabu (27/8).

Berikut isi salinan surat terbuka Selpius Bobii.

Surat Terbuka 

Demi keadilan dan kemanusiaan segera bebaskan tanpa syarat Abraham Goram, cs 

Kepada Yth 

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto 

di – Jakarta

Dengan hormat 

Melalui surat terbuka ini, saya aktivis kemanusiaan, eks tapol Papua menyampaikan pandangan saya terkait dengan kasus diskriminasi yang menimpa saudara Abraham Goram dan kawan-kawannya. 

Mereka ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka di Polres Sorong, Papua Barat Daya karena menyampaikan pendapat melalui bentuk surat kepada Pemerintah Republik Indonesia terkait status politik Bangsa Papua. Kami mengatakan bahwa kasus ini adalah kriminalisasi terhadap aktivis HAM yang telah menyampaikan aspirasi secara bermartabat dan terhormat. 

Saya selaku eks Ketua Panitia Kongres Papua III yang berlangsung di Lapangan Zakeus di Padang Bulan, Jayapura, Papua pada Oktober 2011 menyikapi kasus yang menimpa saudara saudara kami di Sorong Papua Barat Daya yang sedang menghadapi proses hukum sandiwara. 

Keempat aktivis NFRPB yang telah ditahan dan ditetapkan sebagai terdakwa adalah pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh UU Nomor 9 tahun 1998 mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum di Indonesia, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945. 

Undang-undang ini menetapkan bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum, kewajiban dan tanggung jawab masyarakat saat menyampaikan pendapat, serta batas-batas yang tidak boleh dilanggar agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dan menjaga ketertiban umum.

Penyampaian aspirasi dalam bentuk surat dari Presiden NFRPB Forkorus Yaboisembut, S.Pd kepada Presiden Republik Indonesia, yang disalurkan melalui pemerintah daerah oleh para stafnya, Abraham Goram, dan kawan kawan adalah bagian dari upaya negosiasi untuk menyelesaikan status politik bangsa Papua secara bermartabat melalui dialog atau perundingan. 

Penyerahan surat kepada wakil pemerintah pusat di daerah Sorong, Papua Barat Daya adalah bagian dari proses demokrasi untuk membangun kepercayaan antara negara Indonesia dan Negara Papua (NFRPB) agar dalam waktu yang tidak terlalu lama duduk di satu meja perundingan sebagai dua negara bangsa yang setara untuk menuntaskan status politik bangsa Papua. 

Upaya yang ditempuh oleh NFRPB melalui para stafnya Abraham Goram dan kawan kawan adalah cara yang bermartabat dan tidak melawan hukum, sepanjang yang bersangkutan menyampaikan aspirasinya secara demokratis. 

Terkait dengan Deklarasi Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) pada puncak Kongres bangsa Papua III, 19 Oktober 2011 itu, kami telah bertanggung jawab di Pengadilan Republik Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jayapura, di mana putusan hukumnya kami perkarakan (naik banding) sampai di Mahkamah Agung di Jakarta. 

Kami “Jayapura Five”, yaitu Forkorus Yaboisembut, Edison Klaudius Waromi, Dominikus Sorabut, Agus S Kraar, dan saya (Selpius Bobii) telah mempertanggung jawabkan terkait dengan berdirinya NFRPB melalui jalur pengadilan Republik Indonesia. Kami  sudah bayar harga, maka itu seharusnya para staf NFRPB yang telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka itu tidak harus diproses hukum. 

Melalui surat terbuka ini, kami menyampaikan bahwa: 

Pertama, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, maka kemerdekaan itu hak bangsa Papua juga.

 Kedua, “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”, sebagaimana diatur dalam Mukadimah UUD 1945, maka “penjajahan Indonesia terhadap bangsa Papua juga harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan”. 

Ketiga, kasus yang menimpa para staf NFRPB Abraham Goram dan kawan kawannya di Sorong adalah diskriminasi rasial terhadap aktivis HAM atas penyampaian aspirasi  secara damai, demokratis dan bermartabat. Padahal tentang penyampaian aspirasi secara damai itu dijamin oleh UU Nomor 9 tahun 1998 dan UUD 1945.

Keempat, langkah dan upaya yang ditempuh oleh para staf NFRPB Abraham Goram, cs adalah bagian dari proses penyelesaian status politik bangsa Papua secara damai dan bermartabat melalui jalur diplomasi politik yaitu perundingan antara negara Indonesia dan negara Bangsa Papua yang setara. 

Kelima, tentang pendirian NRFPB, kami “Jayapura Five” telah bertanggung jawab melalui Pengadilan Republik Indonesia pada tahun 2011-2012, dan kami telah menjalani hukuman 3 tahun Penjara (dari tahun 2011 s/d 2014). 

Maka itu kami mendesak:

Pertama, menolak tegas pemindahan 4 tahanan politik (tapol) ke Makassar. 

Kedua, proses hukum terhadap 4 staf NFRPB di Sorong Papua Barat Daya harus dihentikan tanpa syarat. 

Ketiga, para staf NFRPB yang ditahan itu harus segera dibebaskan tanpa syarat demi menjunjung tinggi hukum, keadilan, demokrasi, dan martabat manusia.

Keempat, Presiden Republik Indonesia segera menunjuk special envoy (utusan khusus presiden) untuk mempersiapkan langkah langkah perundingan antara negara bangsa Indonesia dan negara bangsa Papua. 

Demikian surat ini dibuat untuk ditindak-lanjuti oleh Presiden Republik Indonesia untuk mengakhiri pertumpahan dari di atas Tanah Papua demi kemanusiaan dan keadilan. 

Nabire, Papua Tengah, Rabu, 27 Agustus 2025

Teriring salam dan hormat

TTD

Selpius Bobii 

Eks Ketua Panitia KRP III, Eks Tapol Papua, Aktivis Kemanusiaan