LIMA Februari selalu menjadi hari yang sarat makna di Tanah Papua. Di Pulau Mansinam, sebuah pulau kecil namun penuh sejarah di Teluk Doreri, Manokwari, gema sukacita, syukur, dan harapan melingkupi setiap jiwa yang hadir. Hari ini, setiap orang Papua mengingat dan merayakan sebuah peristiwa besar: masuknya Injil di Tanah Papua pada tahun 1855. Melalui kehadiran dua misionaris asal Jerman, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler, kabar baik itu pertama kali ditaburkan di pulau ini, menjadi awal mula transformasi rohani, sosial, dan peradaban yang masih terasa hingga kini.
Pulau Mansinam bukan sekadar simbol sejarah. Ia adalah saksi bisu dari awal mula perubahan besar yang menyentuh setiap sendi kehidupan masyarakat Papua. Bukan perubahan instan, melainkan perjalanan panjang yang penuh tantangan, pengorbanan, dan iman yang kokoh. Bagi banyak orang Papua, Injil tidak sekadar membawa ajaran agama, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Kehadiran Injil menjadi landasan bagi pembangunan peradaban yang mencakup keadilan, kesejahteraan sosial, dan martabat manusia. Di tengah rintangan yang tidak mudah, pesan kasih dan damai Kristus terus menguatkan mereka.
Hari ini, generasi baru di Papua memikul warisan iman itu dengan penuh tanggung jawab. Di setiap sudut negeri ini, di desa-desa terpencil hingga kota-kota besar, gema Injil terus berkumandang. Namun, perjalanan ini belum selesai. Di tengah tantangan modernisasi, ketimpangan pembangunan, dan berbagai permasalahan sosial, semangat Mansinam mengingatkan kita akan pentingnya persatuan, kerja keras, dan harapan dalam membangun peradaban yang beradab dan berkelanjutan.
Ucapan syukur membahana dari hati yang paling dalam. Orang Papua sadar bahwa mereka berdiri di atas dasar yang kuat, warisan iman yang telah ditanam dengan air mata dan doa. Setiap Februari, rasa syukur itu diperbarui, menguatkan langkah-langkah mereka menuju masa depan yang penuh pengharapan. Masa depan itu diharapkan tidak hanya memberikan kesejahteraan ekonomi tetapi juga membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan kesetaraan.
Namun, ucapan syukur ini juga disertai doa dan komitmen. Komitmen untuk melanjutkan perjuangan, memperjuangkan keadilan, pendidikan yang lebih baik, kesehatan yang merata, serta memperkokoh peradaban yang menghargai keberagaman dan keharmonisan. Tanah Papua yang kaya akan sumber daya dan budaya membutuhkan pembangunan manusia yang seimbang. Semangat Injil yang dahulu menyala di Mansinam menjadi obor penerang yang mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati bukan hanya tentang materi, tetapi tentang manusia yang bermartabat dan beradab.
Oh, Mansinam, engkau tetap menjadi pelita bagi Tanah Papua. Melalui perayaan ini, kami tidak hanya melihat masa lalu, tetapi juga menyusun langkah menuju masa depan. Masa depan di mana anak-anak Papua bisa tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta, damai, dan harapan. Masa depan yang didukung oleh peradaban yang menghormati nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan kasih.
Lima Februari adalah hari yang sakral. Ini adalah waktu bagi kita semua untuk merenungkan bagaimana pesan Injil dapat terus menjadi kekuatan yang membangun dan menyatukan. Kita bersyukur atas sejarah yang telah dilalui, namun tidak berhenti di sana. Papua memandang ke depan, dengan keyakinan bahwa Tuhan yang telah memulai karya baik ini akan setia menyelesaikannya.
Selamat memperingati Hari Masuknya Injil di Tanah Papua. Terima kasih, Mansinam, atas terang yang terus kau pancarkan. Kami akan terus menjaga api itu tetap menyala, untuk generasi sekarang dan masa depan. (Yakobus Dumupa/Editorial)