OPINI  

Kolaborasi Membangun SDM Nduga

Ruben Benyamin Gwijangge, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ruben Benyamin Gwijangge

Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura 

DI TENGAH deru konflik bersenjata yang tak kunjung padam, sebuah cahaya kecil menyala di Kenyam, kota Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Cahaya itu bernama Rumah Edukasi Yembe Mileh, diprakarsai oleh seorang anak muda Nduga, Iksana Murib melengkapi Sekolah Abolau yang lebih dahulu beroperasi dari niatan tulus pendirinya. 

Meski sederhana, inisiatif yang lahir dari kerja sama kolaboratif antara pemerintah, gereja, adat, dan rakyat lahir. Kolaborasi itu berupaya menghadirkan ruang belajar bagi anak-anak yang saban tahun terpinggirkan oleh konflik dan ketidakadilan.

Rumah Edukasi Yembe Mileh menjadi bukti bahwa pendidikan bisa tetap berjalan meski dalam keterbatasan sarana, bayang-bayang konflik yang menghantui kamtibmas, dan ketidakpastian masa depan warga yang tak jauh dari bibir Taman Nasional Lorentz,  kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara, dengan luas sekitar 2,4 juta hektar. 

Inisiatif seperti ini bukan sekadar kegiatan belajar, tetapi harus menjadi sebuah tindakan perlawanan damai terhadap realitas yang mematikan harapan. Di tengah gelapnya konflik, Aboklau, Tuani Sion dan Yembe Mileh menyalakan kembali mimpi anak-anak untuk meraih masa depan.

Pengalaman sejarah sebelum lahir Nduga sebagai daerah otonom baru (DOB) dan Aboklau, Tuani Sion dan Yembe Mileh juga memberi pelajaran penting. Pelajaran dimaksud yaitu bahwa pemerintah bukan aktor tunggal dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). 

Untuk mengangkat derajat manusia Nduga, semua pihak (stakeholders): pemerintah, gereja, adat, dan komunitas pendidikan alternatif harus saling bergandengan tangan, merapatkan mengisi peran dan tanggung jawab secara holistik.

Single Fighter

Selama ini, pembangunan SDM sering dipahami sebagai domain pemerintah atau pemain tunggal (single fighter) dalam urusan pemimpin atau generasi berkualitas. Negara menyediakan sekolah, menggaji guru, membangun infrastruktur, dan menyusun kurikulum. 

Namun di daerah seperti Nduga, situasi jauh lebih kompleks. Kondisi geografis yang berat, keterbatasan tenaga pendidik, minimnya infrastruktur, ditambah konflik bersenjata yang menghantui bahkan mencekam, membuat banyak anak kehilangan akses pendidikan.

Jika pemerintah terus bersikeras menjadi single fighter, maka yang terjadi hanya stagnasi. Data menunjukkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Nduga masih termasuk yang terendah di Indonesia. Rendahnya angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cermin dari kenyataan pahit: anak-anak yang tidak bersekolah, angka buta huruf yang tinggi, rendahnya kualitas kesehatan, serta terbatasnya peluang hidup layak.

Karena itu, diperlukan paradigma baru yaitu pembangunan SDM Nduga harus bersifat kolaboratif. Pemerintah Kabupaten Nduga perlu membuka diri, merangkul mitra-mitra sosial yang sudah bekerja di lapangan. Inisiatif seperti Aboklau, Tuani Sion dan Yembe Mileh harus dilihat bukan sebagai kompetitor, melainkan sebagai mitra strategis.

Setiap elemen masyarakat punya keunggulan masing-masing. Jika digabungkan, kolaborasi multipihak ini dapat membentuk pendidikan komprehensif yang menyentuh kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ), kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ), dan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ).

Peran Stakeholders

Pemerintah tetap memegang tanggung jawab menyediakan pendidikan dasar, fasilitas, dan tenaga pengajar. Namun perannya tidak cukup administratif. Pemerintah harus belajar fleksibel, menyesuaikan kebijakan dengan realitas konflik. Misalnya, mendukung model sekolah darurat, pendidikan berbasis komunitas, atau kerja sama dengan yayasan lokal.

Gereja juga memiliki peran tak kalah strategis. Selamat ini gereja adalah benteng moral masyarakat Nduga. Di tengah konflik, gereja tidak sekadar sebagai tempat ibadah, tetapi juga ruang penghiburan, konsolidasi, dan peneguhan iman. 

Pendidikan yang menumbuhkan spiritual quotient akan membentuk generasi yang memiliki dasar moral kuat, penuh kasih, dan pengharapan. Kitab Amsal 22:6 menulis, “didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.”

Lembaga adat adalah penjaga identitas dan nilai kearifan lokal. Mereka berperan dalam membangun karakter, solidaritas, dan hubungan emosional antar warga. Pendidikan yang menumbuhkan emotional quotient sangat penting bagi anak-anak Nduga agar mereka mampu mengelola emosi, menjalin relasi, serta tumbuh sebagai pribadi yang berakar pada budaya.

Inisiatif seperti Aboklau, Tuani Sion dan Yembe Mileh mengisi ruang kosong yang ditinggalkan negara. Fleksibilitas para pihak ini memungkinkan anak-anak tetap belajar meskipun sekolah formal lumpuh akibat konflik. Mereka adalah wujud nyata pendidikan dari bawah, sebuah praksis pendidikan yang lahir dari kepedulian masyarakat sendiri.

Jika keempat pilar ini bekerja bersama, maka pendidikan Nduga tidak hanya mencetak manusia pintar secara akademis, tetapi juga membentuk pribadi yang berkarakter dan beriman.

Dalam bukunya, Pedagogy of the Oppressed (1968), Paulo Freire menulis, “education either functions as an instrument which is used to facilitate the integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity to it, or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.”

Kutipan ini sangat relevan dengan kondisi Nduga. Pendidikan tidak boleh hanya berfungsi sebagai instrumen birokratis yang menyesuaikan anak-anak dengan sistem yang menindas. Pendidikan harus menjadi praktik kebebasan. Ia membuka ruang bagi anak-anak untuk mengkritisi realitas, memahami situasi konflik yang mereka alami, dan menemukan jalan untuk mengubah masa depan mereka sendiri.

Rumah Edukasi Yembe Mileh, Aboklau dan Tuani Sion diharapkan menjalankan praksis pendidikan ala Freire. Dengan segala keterbatasan, mereka menciptakan ruang dialog, mendekatkan guru dengan murid, dan menumbuhkan kesadaran kritis. Inilah inti dari pendidikan pembebasan: bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembentukan manusia merdeka yang mampu melawan penindasan dengan akal, hati, dan iman.

Jalan Keluar dari Jurang IPM Rendah

Rendahnya IPM Nduga bukan kutukan, melainkan tantangan yang harus dijawab bersama. Jalan keluarnya bukanlah proyek pembangunan yang serba top-down, melainkan pendekatan komprehensif antara intelligence quotient, emotional quotient, dan spiritual quotient.

Aspek intelligence quotient: pemerintah membangun infrastruktur, menghadirkan guru, dan menyediakan kurikulum yang kontekstual. Kemudian, emotional quotient: adat dan keluarga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan rekonsiliasi. Berikut spiritual quotient: gereja meneguhkan iman, pengharapan, dan kasih sebagai dasar pendidikan.

Tanpa ketiga aspek tersebut, pembangunan SDM akan timpang. Anak-anak mungkin pintar secara akademis, tetapi rapuh secara moral dan emosional. Atau sebaliknya, mereka (anak-anak) berakar pada tradisi, tetapi tanpa keterampilan menghadapi dunia modern. Pendidikan komprehensif adalah satu-satunya jalan untuk membentuk manusia Nduga yang utuh.

Kolaborasi multipihak bukan sekadar strategi teknis, melainkan jalan menuju damai. Konflik di Nduga telah menciptakan luka sosial yang dalam. Pendidikan yang kolaboratif dapat menjadi jembatan rekonsiliasi. Ia mempertemukan pemerintah, gereja, adat, dan masyarakat sipil dalam tujuan mulia yang sama: membangun generasi.

Gerakan Yembe Mileh adalah contoh nyata. Jika pemerintah memberi dukungan, gereja menguatkan spiritualitas, adat menanamkan kearifan, dan komunitas pendidikan melengkapi dengan kreativitas, anak-anak Nduga akan memiliki pendidikan yang menyentuh seluruh dimensi kemanusiaannya.

Dari Kenyam, satu lagi cahaya kecil Yembe Mileh telah menyalakan asa, harapan. Namun, cahaya ini tidak boleh dibiarkan redup. Pemerintah Kabupaten Nduga harus segera mengambil langkah strategis dengan menggandeng gereja, adat, dan komunitas pendidikan alternatif dalam kerangka pembangunan SDM komprehensif.

Membangun manusia Nduga seutuhnya tidak bisa dilakukan oleh satu aktor. Pemerintah bukan single fighter. Gereja, adat, keluarga, dan komunitas adalah mitra setara dalam upaya keluar dari jurang rendahnya IPM.

Freire mengingatkan, pendidikan harus menjadi praktik kebebasan. Ia jalan bagi anak-anak Nduga untuk menafsir ulang realitas dan mengubah dunia mereka. Hal itu hanya mungkin bila pendidikan dibangun bersama, oleh semua, untuk semua. (*)