Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Pemula Isu-isu Timur Tengah dan Geopolitik Global)
PADA 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan awal ke wilayah Iran. Sedikitnya 30 perwira tinggi militer dan 11 ilmuwan nuklir Iran tewas dalam serangkaian operasi rahasia. Sasaran utama serangan ini adalah tokoh-tokoh strategis yang diyakini memiliki peran penting dalam program nuklir dan militer Iran. Serangan ini memicu kemarahan besar di dalam negeri Iran. Banyak pihak di Iran menganggap tindakan Israel ini sebagai pelanggaran berat terhadap kedaulatan nasional mereka.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 20 Juni 2025, Israel kembali menggempur Iran melalui serangan udara yang ditujukan ke fasilitas militer strategis di wilayah Isfahan dan Natanz. Dua wilayah ini diketahui menjadi pusat utama pengembangan program nuklir Iran. Serangan dilakukan secara presisi dan dianggap sebagai lanjutan dari serangan sebelumnya. Meski tidak secara resmi mengakui keterlibatannya, banyak media internasional menyebut Israel sebagai pelaku.
Pada 21 Juni 2025, giliran Amerika Serikat yang terlibat langsung dalam konflik. Negeri Paman Sam itu meluncurkan serangan ke beberapa situs nuklir rahasia Iran seperti Natanz, Isfahan, dan Fordow. AS menuduh Iran tengah mengembangkan pengayaan uranium tingkat tinggi untuk keperluan militer. Iran mengecam keras tindakan ini dan menyebutnya sebagai bentuk intervensi terbuka yang dilakukan oleh sekutu dekat Israel.
Sebagai balasan atas serangkaian serangan ini, pada 23 Juni 2025, Iran meluncurkan lebih dari 300 rudal dan drone ke arah Israel. Serangan ini dilakukan langsung dari wilayah Iran dan diberi nama “Taufan al-Aqsa II.” Ini merupakan bentuk solidaritas terhadap Palestina sekaligus balasan terhadap agresi Israel dan Amerika Serikat. Ini adalah kali pertama Iran dan Israel terlibat dalam konfrontasi militer langsung, bukan melalui kelompok proksi seperti sebelumnya. Iran pun memperingatkan negara-negara di sekitarnya agar tidak ikut campur dalam konflik, demi mencegah meluasnya perang.
Namun, dari serangkaian peristiwa ini, tampak jelas bahwa Iran bergerak sendirian. Tidak ada dukungan militer terbuka dari negara-negara yang selama ini dianggap sebagai sekutu Iran seperti Rusia, Tiongkok, atau Korea Utara. Padahal banyak pengamat sempat memperkirakan bahwa konflik ini akan memicu blok Timur bersatu melawan dominasi Barat. Tetapi kenyataan berbicara lain. Rusia dan Tiongkok hanya menyuarakan keprihatinan dan menyerukan de-eskalasi. Korea Utara justru tidak bersuara sama sekali. Sebaliknya, Israel justru mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, serta kerja sama intelijen dari negara-negara Arab seperti Yordania. Iran benar-benar tampak sendirian.
Kesendirian Iran dalam konflik ini bisa dijelaskan melalui beberapa alasan penting:
Pertama, ada perbedaan kepentingan strategis antara Iran dengan negara-negara yang sering disebut sekutunya. Meski secara retorika mereka sama-sama menentang dominasi Amerika Serikat, tetapi pendekatan luar negeri mereka sangat berbeda. Tiongkok, misalnya, sangat bergantung pada pasokan energi dari kawasan Teluk dan tidak menginginkan konflik yang bisa mengganggu stabilitas pasokan energi tersebut. Maka dari itu, Tiongkok lebih memilih bersikap hati-hati terhadap Iran.
Kedua, Rusia saat ini sedang fokus dengan konflik yang masih berlangsung di Ukraina. Kremlin tentu tidak ingin membuka front baru yang bisa menyedot sumber daya militer maupun diplomasi. Sementara itu, Korea Utara tidak memiliki kepentingan langsung di Timur Tengah dan lebih memilih menonton dari kejauhan.
Ketiga, Iran tidak memiliki aliansi militer formal seperti NATO. Hubungan Iran dengan Rusia atau Tiongkok bersifat pragmatis dan tidak diikat oleh perjanjian pertahanan bersama. Artinya, tidak ada kewajiban hukum atau politik bagi Rusia dan Tiongkok untuk membantu Iran saat negara itu diserang.
Keempat, strategi Rusia dan Tiongkok selama ini memang cenderung berhati-hati. Mereka lebih suka membantu Iran di balik layar melalui kerja sama ekonomi dan teknologi. Mereka menghindari keterlibatan langsung karena tidak ingin memperkeruh hubungan dagang mereka dengan Barat.
Kelima, keterlibatan langsung dalam konflik ini akan membawa risiko besar bagi Rusia dan Tiongkok. Bisa jadi akan muncul sanksi tambahan dari negara Barat, terganggunya arus perdagangan global, hingga konflik berskala luas yang merugikan posisi mereka secara geopolitik.
Selain dari sisi global, Iran juga terlihat kesepian secara regional. Negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, hingga Yordania tidak menunjukkan solidaritas terhadap Iran. Bahkan beberapa dari mereka justru memberikan bantuan intelijen atau akses logistik kepada Israel. Yordania, misalnya, dilaporkan membantu Israel untuk mencegat serangan Iran dengan sistem pertahanan udara canggih.
Salah satu alasan utama kenapa banyak negara Arab tidak bersimpati kepada Iran adalah karena peran aktif Iran dalam mendukung kelompok milisi bersenjata seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak dan Suriah. Banyak negara Arab menilai bahwa kehadiran Iran justru memperkeruh konflik yang sudah ada di kawasan. Iran dianggap lebih sering memperpanjang konflik daripada membantu penyelesaiannya. Apalagi penggunaan narasi agama oleh Iran untuk memperluas pengaruhnya membuat negara-negara Arab semakin waspada.
Meskipun tampak kesepian, Iran tetap menunjukkan bahwa mereka bukan pihak yang lemah. Serangan balasan mereka dengan ratusan rudal dan drone menjadi bukti bahwa Iran memiliki kekuatan militer yang cukup besar dan terorganisir. Bagi rakyat Iran, aksi ini adalah bentuk pembelaan harga diri dan martabat bangsa. Iran ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri sendiri dalam menghadapi tekanan global, sekalipun tanpa dukungan dari sekutunya.
Di dalam negeri, serangan ini dijadikan alat untuk membangkitkan nasionalisme rakyat. Pemerintah Iran menggunakan momentum ini untuk menyatukan rakyat, mengalihkan perhatian dari masalah internal seperti krisis ekonomi dan pengangguran, serta membangun citra bahwa mereka adalah korban agresi Barat.
Namun, dalam jangka panjang, posisi Iran yang kesepian ini bisa berdampak negatif. Tanpa dukungan internasional, tekanan ekonomi dan politik bisa semakin berat. Iran harus mencari jalan baru untuk membuka kerja sama strategis yang lebih luas agar tidak terus-menerus terisolasi.
Konflik ini menunjukkan bahwa solidaritas internasional tidak lagi dibangun atas dasar ideologi semata. Kini, yang paling menentukan adalah kepentingan nasional dan pertimbangan pragmatis. Dunia telah berubah dari pola blok-blok ideologis menjadi jejaring kepentingan yang kompleks dan dinamis. Kesendirian Iran bukan disebabkan oleh pengkhianatan, tetapi karena realitas politik global yang terus berubah.
Dengan memilih bertahan sendiri, Iran ingin menyampaikan pesan bahwa keberanian tidak selalu bergantung pada dukungan luar. Bahwa harga diri bangsa tetap bisa dipertahankan meski dalam kesendirian. Namun, pertanyaan yang masih menggantung adalah: sampai kapan Iran mampu bertahan dalam posisi ini? Dan apakah dunia akan terus membiarkan mereka berjuang sendirian?