OPINI  

Israel Tolak Pasukan dari Negara Pendukung Hamas

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

SETELAH lebih dari dua tahun konflik bersenjata antara Israel dan Hamas, dunia internasional terus berupaya mencari cara untuk menjaga gencatan senjata yang mulai berlaku pada pertengahan Oktober 2025. Salah satu langkah yang tengah dibahas di berbagai forum diplomatik adalah pembentukan “international stabilisation force”—pasukan stabilisasi internasional—yang akan bertugas menjaga keamanan, menyalurkan bantuan kemanusiaan, dan membantu proses pemulihan di Gaza.

Gagasan ini awalnya disambut positif oleh banyak negara, karena dianggap bisa menjadi solusi konkret untuk mencegah pecahnya kekerasan baru. Namun, harapan tersebut mulai terhambat setelah pemerintah Israel menyatakan penolakannya terhadap keikutsertaan negara-negara yang dianggap memiliki kedekatan dengan Hamas atau mendukung perjuangan Palestina. Sikap ini segera memunculkan perdebatan di kalangan diplomat dan analis internasional, terutama terkait batas antara kepentingan keamanan dan semangat kemanusiaan.

Pemerintah Israel beralasan bahwa langkah tersebut diambil semata-mata demi keamanan nasional. Menurut Tel Aviv, setiap pasukan yang akan bertugas di Gaza harus benar-benar netral dan bebas dari pengaruh politik apa pun, termasuk simpati terhadap pihak yang selama ini berkonflik dengan Israel. Mereka menilai bahwa keterlibatan negara-negara yang memiliki hubungan dengan Hamas justru dapat memperburuk situasi dan menimbulkan ketegangan baru di lapangan.

Namun, pandangan ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan komunitas internasional. Banyak pihak menilai bahwa konsep “netralitas” yang dimaksud Israel terlalu sempit, karena hampir semua negara di Timur Tengah memiliki posisi tertentu terhadap konflik Palestina-Israel. Beberapa analis berpendapat, jika kriteria itu diterapkan secara ketat, maka hanya sedikit negara yang dapat diterima untuk bergabung, dan hal ini berpotensi mengurangi legitimasi pasukan internasional di mata masyarakat Gaza.

Penolakan terhadap Turki dan Respons Dunia

Kasus Turki menjadi contoh yang paling menonjol dari ketegangan diplomatik ini. Pada akhir Oktober 2025, Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyatakan bahwa negaranya tidak akan menerima pasukan bersenjata Turki sebagai bagian dari misi internasional di Gaza. Alasannya, Turki dianggap memiliki hubungan politik yang terlalu dekat dengan Hamas dan kerap mengkritik kebijakan militer Israel.

Pemerintah Turki menolak tudingan tersebut dan menegaskan bahwa keterlibatan mereka murni untuk tujuan kemanusiaan. Presiden Recep Tayyip Erdogan menilai bahwa negaranya memiliki pengalaman dan kapasitas untuk membantu membangun kembali Gaza. Menurut Ankara, penolakan Israel justru akan menghambat upaya menciptakan perdamaian yang inklusif. Beberapa diplomat di PBB menilai bahwa perdebatan ini memperlihatkan kesenjangan pandangan yang tajam antara kebutuhan keamanan Israel dan harapan dunia terhadap penyelesaian yang adil di Gaza.

Penolakan Israel terhadap pasukan dari negara pendukung Hamas secara tidak langsung membatasi ruang partisipasi bagi sejumlah negara di kawasan Timur Tengah. Negara-negara seperti Qatar, Lebanon, dan Iran diperkirakan juga tidak akan diperbolehkan berperan aktif dalam misi tersebut karena dianggap memiliki kedekatan dengan Hamas. Akibatnya, komposisi pasukan internasional yang sedang dibahas cenderung akan didominasi oleh negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel atau negara-negara Barat.

Bagi sebagian kalangan, situasi ini dapat mengurangi keseimbangan politik dalam pelaksanaan misi di Gaza. Pasukan yang dianggap terlalu dekat dengan satu pihak berisiko kehilangan kepercayaan dari masyarakat lokal. Sebaliknya, Israel berpendapat bahwa keamanan wilayah tidak boleh dikompromikan demi keseimbangan politik. Kedua pandangan ini kini menjadi inti perdebatan yang belum menemukan titik temu.

Kekhawatiran dan Kepentingan yang Bertabrakan

Israel menegaskan bahwa penolakannya tidak ditujukan untuk mempersempit kerja sama internasional, melainkan untuk memastikan bahwa pasukan yang hadir benar-benar profesional dan tidak memiliki agenda tersembunyi. Pemerintah di Tel Aviv mengkhawatirkan kemungkinan infiltrasi atau penyalahgunaan mandat oleh negara-negara yang memiliki hubungan ideologis dengan Hamas. Mereka menilai pengalaman masa lalu di mana konflik sering dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata sebagai alasan kuat untuk bersikap selektif.

Sementara itu, negara-negara yang ditolak berpendapat bahwa kehadiran mereka justru penting untuk membangun kepercayaan rakyat Gaza terhadap misi internasional. Mereka menilai, tanpa partisipasi dunia Islam, pasukan stabilisasi akan dianggap sebagai instrumen politik Barat. Beberapa analis independen bahkan memperingatkan bahwa ketidakseimbangan dalam komposisi pasukan bisa menciptakan persepsi negatif dan mengurangi efektivitas misi di lapangan.

Kedua sisi memiliki argumen yang sama kuatnya. Israel menekankan faktor keamanan yang realistis, sementara pihak lain menekankan aspek legitimasi sosial dan politik. Dilema ini menunjukkan bahwa perdamaian di Gaza bukan sekadar soal militer, tetapi juga soal kepercayaan dan persepsi.

Mandat Pasukan dan Tantangan Implementasi

Selain masalah keanggotaan, persoalan lain yang masih diperdebatkan adalah bentuk mandat pasukan internasional. Sebagian negara mendorong agar pasukan tersebut berfungsi sebagai “peacekeeping force”—penjaga perdamaian yang berperan memantau dan menegakkan gencatan senjata tanpa intervensi militer aktif. Namun, Israel mendorong model “peace-enforcing force”, yang memberi kewenangan kepada pasukan untuk menggunakan kekuatan jika situasi keamanan memburuk.

Perbedaan pandangan ini memperlihatkan cara pandang yang kontras. Israel beranggapan bahwa ancaman keamanan dari kelompok bersenjata di Gaza masih tinggi, sehingga dibutuhkan pasukan yang siap bertindak cepat dan tegas. Di sisi lain, sebagian besar negara menganggap bahwa penggunaan kekuatan justru berpotensi menimbulkan konflik baru dan mengurangi kepercayaan masyarakat Gaza terhadap misi tersebut. Hingga awal November 2025, rancangan resolusi di Dewan Keamanan PBB masih belum disepakati karena perbedaan ini belum menemukan jalan tengah.

Kendala lainnya adalah bagaimana pasukan itu akan dikoordinasikan di lapangan. Israel ingin memiliki peran pengawasan langsung terhadap aktivitas pasukan internasional, terutama di area perbatasan. Namun, sejumlah negara menilai bahwa intervensi semacam itu akan mengganggu independensi pasukan dan menimbulkan kesan bahwa misi tersebut dikendalikan oleh satu pihak. PBB dan beberapa mediator, termasuk Mesir dan Qatar, mencoba mencari formula kompromi agar pasukan tetap bisa bekerja efektif tanpa menyinggung kedaulatan Israel atau menurunkan kepercayaan rakyat Gaza.

Perdebatan ini menggambarkan kompleksitas situasi pascaperang di Gaza. Setiap langkah politik, sekecil apa pun, harus memperhitungkan sensitivitas keamanan, persepsi publik, dan dinamika regional. Tidak ada keputusan yang benar-benar bebas dari risiko, dan setiap kompromi membawa konsekuensinya sendiri.

Dampak terhadap Diplomasi Regional

Penolakan Israel terhadap negara-negara tertentu dalam misi perdamaian juga berdampak pada hubungan diplomatik di kawasan. Turki, yang sebelumnya telah memulai pemulihan hubungan bilateral dengan Israel, kini kembali bersikap kritis. Ankara menyatakan bahwa pendekatan Israel dapat memperlambat proses rekonsiliasi yang sedang berjalan.

Sementara itu, negara-negara Arab lain memilih langkah yang lebih hati-hati. Mesir dan Yordania, dua negara yang memiliki perjanjian damai dengan Israel, berupaya menengahi agar pembentukan pasukan internasional tetap berjalan tanpa menimbulkan ketegangan baru. Mereka menyadari bahwa stabilitas Gaza akan memengaruhi kestabilan politik kawasan secara keseluruhan. Negara-negara Teluk juga mengikuti perkembangan ini dengan seksama, mengingat implikasinya terhadap hubungan regional dan kerja sama keamanan di masa depan.

Beberapa analis menilai bahwa perbedaan pandangan ini mencerminkan realitas baru di Timur Tengah—bahwa konflik Gaza tidak lagi hanya soal Israel dan Palestina, melainkan juga arena bagi negara-negara di kawasan untuk menegaskan pengaruh dan perannya masing-masing.

Penutup: Mencari Titik Temu

Hingga 7 November 2025, masa depan Gaza masih diselimuti ketidakpastian. Rencana pembentukan pasukan internasional belum mencapai kesepakatan final, sementara kondisi kemanusiaan di lapangan tetap memprihatinkan. Israel tetap teguh pada sikapnya untuk menolak partisipasi negara yang dianggap pro-Hamas, sedangkan banyak negara lain menilai pendekatan tersebut bisa menghambat pemulihan jangka panjang.

Pada titik ini, baik Israel maupun negara-negara pendukung Palestina memiliki tanggung jawab moral untuk menempatkan kepentingan rakyat Gaza di atas kepentingan politik masing-masing. Pasukan internasional, apa pun bentuknya, hanya akan efektif jika didukung kepercayaan dari semua pihak yang terlibat. Tanpa itu, perdamaian hanya akan menjadi kesepakatan di atas kertas yang mudah runtuh oleh realitas di lapangan.

Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya membentuk pasukan stabilisasi, melainkan membangun konsensus global tentang bagaimana mendefinisikan perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Jika keadilan dan keamanan dapat berjalan seiring, maka Gaza berpeluang memasuki babak baru yang lebih damai. Namun jika keduanya terus dipisahkan oleh kepentingan politik, konflik ini kemungkinan akan terus berulang dengan wajah yang berbeda.