Oleh Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum, CT, CMP
Doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Trisakti
KOMISI Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memutuskan tidak memberikan persetujuan secara keseluruhan terhadap Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung Tahun 2024.
Kesimpulan DPR tersebut mengejutkan publik setelah Komisi Yudisial menyampaikan kepada DPR melalui Surat Nomor: 1653/PIM/TH.01.07/2024 serta pembahasan uji kelayakan dan kepatutan Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung Tahun 2024 yang dibatalkan.
Tentu saja keputusan ini dikeluarkan karena dua orang calon hakim agung bidang pengadilan pajak, yaitu Hari Sih Advianto dan Tri Hidayat Wahyudi dinyatakan tidak memenuhi syarat dan karenanya ditolak akibat tidak memenuhi syarat minimal 20 tahun sebagai hakim, termasuk minimal 3 tahun sebagai hakim pengadilan tinggi.
Apabila kedua calon hakim tersebut tidak memenuhi syarat, maka Komisi Bidang Hukum DPR sebaiknya hanya memberikan klarifikasi atau catatan, khususnya yang diusulkan oleh Komisi Yudisial hanya dua orang.
Timbul pertanyaan, mengapa semua calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial juga ditolak untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan? Tentu saja kejadian ini membuat masyarakat bertanya-tanya. Terutama para calon hakim agung yang masuk dalam daftar nama yang diajukan Komisi Yudisial.
Klarifikasi Komisi Yudisial
Terkait hal tersebut, pada Kamis (29/8), juru bicara Komisi Yudisial Profesor Mukti Fajar Nur Dewata, SH, M.Hum menyampaikan klarifikasi statemen Komisi Hukum DPR terkait penolakan 9 orang calon hakim dan 3 orang calon hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung. Isi klarifikasi tersebut sangat jelas dan rinci terkait alasan kedua orang calon hakim agung tersebut yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Substansi klarifikasi Komisi Yudisial tersebut sangat jelas dan pembatalan usulan Komisi Yudisial terkait 9 bakal calon hakim agung dan 3 bakal calon hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung tidak berdasar. Tentu saja hal tersebut menimbulkan kesan ada unsur politisasi atau kepentingan politik yang menjadi concern publik.
Kemudian pada Jumat (6/9), Komisi Yudisial juga memberikan klarifikasi tertulis tambahan kepada DPR terkait penolakan terhadap Komisi Yudisial dan bakal calon hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung.
Klarifikasi tersebut ditandatangani Ketua Komisi Yudisial Profesor Amzulian Rifai, Rabu (4/9). Rifai menegaskan, proses seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait.
Lembaga etik
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang diberi kewenangan oleh konstitusi untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung sebagaimana tersirat dalam Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945. Bunyinya, Komisi Yudisial bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung serta mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim agung.
Artinya, Komisi Yudisial sangat mengetahui dan memahami usulan calon hakim agung yang diajukannya sesuai dengan tata cara dan mekanisme yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kalau saja karena kedua calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial dibatalkan sama sekali oleh Komisi Bidang Hukum DPR.
Tentu hal ini patut dipertanyakan. Sebab, Komisi Yudisial bukanlah lembaga legislatif yang notabene merupakan wakil rakyat dengan berbagai kepentingan politik melainkan lembaga etik. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dilakukan secara profesional, independen, dan nihil intervensi dari pihak manapun. Hal ini berbeda dengan peran lembaga legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Peran tiga lembaga
DPR berwenang menetapkan siapa saja yang berhak menjadi calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi Yudisial dan kemudian ditetapkan oleh Presiden. Sebab, proses rekrutmen calon hakim agung memang melibatkan tiga lembaga kekuasaan negara, yakni Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif, DPR sebagai lembaga legislatif, dan Presiden sebagai lembaga eksekutif.
Dalam konteks ini, sesuai amanat konstitusi, Komisi Yudisial yang diberi amanat untuk melaksanakan proses rekrutmen calon hakim agung tetap menjalankan peran yang objektif dan bersifat regulasi. Agar mereka yang terpilih tidak mudah dipengaruhi dan/atau diintervensi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, serta kepentingan lainnya.
Komisi Yudisial tetap menjalankan peran sesuai kewenangannya, yakni mengusulkan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan atau sebaliknya. Kemudian setelah disetujui oleh legislatif, Presiden mengangkat calon hakim agung, sesuai dengan ketentuan Pasal 24A Ayat 3 UUD 1945.
Pasal tersebut menyatakan, calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan dan selanjutnya diangkat menjadi hakim agung oleh Presiden.
Akuntabilitas dan independensi
Pengusulan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial kepada Komisi Hukum DPR telah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam ketentuan yang berlaku. Misalnya, ketentuan dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung dan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung dan juga putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, usulan tersebut juga didasarkan pada aspirasi dan kepentingan masyarakat untuk memperoleh kepastian dan keadilan.
Keterlibatan Komisi Bidang Hukum DPR dalam proses pengangkatan calon hakim agung juga terkait dengan kepentingan untuk menjamin akuntabilitas publik dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim agung. Sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum, asas independensi peradilan harus diimbangi dan/atau diseimbangkan dengan penerapan asas akuntabilitas publik. Fungsi peran serta masyarakat sangat diperlukan dan penting karena terkait dengan fungsi DPR RI sebagai lembaga perwakilan untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pihak tertentu.
Komisi Yudisial sebagai lembaga teknis administratif, tentu harus dijamin independen dari campur tangan politik pemerintah maupun lembaga politik legislatif. Sebaiknya, Komisi Yudisial juga harus diamankan dari keterlibatan pengaruh politik dan tidak mudah menerima intervensi dari mana pun dan/atau lembaga mana pun.
Dengan demikian, Komisi Yudisial harus benar-benar mampu berperan sebagai lembaga yang kritis dan objektif untuk meraih kehormatan, kepercayaan, dan martabat hakim serta lembaga peradilan di Indonesia.
Pentingnya mekanisme seleksi calon hakim agung dalam konteks menjaga independensi peradilan terkait dengan bagaimana mencegah masuknya kepentingan lain dan politisasi dalam seleksi hakim agung. Hal ini terkait dengan posisi strategis seorang hakim agung, baik secara hukum maupun politik, sehingga banyak kekuatan politik yang berkepentingan terhadap jabatan tersebut.
Di berbagai negara maju maupun negara berkembang, proses seleksi calon hakim agung biasanya akan dipengaruhi oleh kepentingan politik. Misalnya, lembaga eksekutif, lembaga legislatif atau yang memiliki kekuasaan politik biasanya akan saling berlomba untuk melakukan intervensi dalam proses penjaringan bakal calon hakim agung.
Oleh karena itu, tidak jarang proses penjaringan bakal calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial justru dipolitisasi atau didominasi oleh pemerintah, partai politik yang menguasai parlemen atau hierarki peradilan yang lebih tinggi (Mahkamah Agung).
Tentu saja dinamika ini juga menjadi perhatian publik terhadap penegakan supremasi hukum di Indonesia. Dengan demikian, kondisi ini pun baik dalam penjaringan, pengusulan hingga penetapan terkait penjaringan bakal calon hakim agung sangat rentan intervensi.
Meskipun secara das sein dan das sollen terkait penjaringan bakal calon hakim agung telah sesuai dengan ketentuan dan mekanisme yang berlaku, tetap saja sulit untuk menghindari politisasi.