KARDINAL Robert Francis Prevost, OSA terpilih menjadi Paus dalam konklaf hari kedua, Jumat (9/5) waktu Roma. Prevost terpilih dari 127 kardinal elektor, kardinal yang berhak dipilih dan memilih dalam konklaf. Kardinal Prevost memakai nama kepausan Paus Leo XIV. Pengumuman dari atas Balkon Basilika Santo Petrus dalam bahasa Latin: Habemus Papam! (Kita punya Paus!) disambut doa syukur, sukacita, dan haru umat Katolik.
Paus asal Chicago, Illinois, Amerika Serikat itu terpilih sebagai Paus ke-267. Kabar sukacita terpilihnya Paus Leo XIV menggemparkan dunia dan menyedot perhatian publik. Para pemimpin negara, pemimpin spiritual, aktivis perdamaian, dan umat Katolik di seluruh dunia, termasuk masyarakat Amerika Latin memberi salam dan menyampaikan sukacita serta harapan-harapannya kepada Paus Leo XIV yang juga Uskup Roma.
Terpilihnya Paus Leo XIV juga dirayakan di seluruh Amerika Latin. Banyak masyarakat memujinya sebagai Paus kedua dari wilayah tersebut, setelah pendahulunya, Paus Fransiskus juga berasal dari Argentina. Berita gembira terpilihnya Paus Leo XIV juga disambut gembira di Peru, tempat di mana Pastor Robert Francis Prevost, OSA tinggal dan bekerja sebagai Misionaris selama lebih dari 20 tahun dan diberi kewarganegaan pada tahun 2015.
Di Lima, ibu kota Peru, lonceng Katedral berdentang untuk merayakan kabar gembira terpilihnya pemimpin Gereja Katolik sedunia. Dalam penampilan perdana dan sapaan dari Balkon Vatikan, Sri Paus beralih dari bahasa Italia ke Spanyol untuk menyapa umat beriman “dari keuskupan saya tercinta di Chiclayo, Peru,” tempat ia menjabat sebagai uskup selama lebih dari satu dekade.
Menyebut keuskupan asalnya di Peru beralih dari bahasa Italia ke Spanyol menunjukkan bahwa Paus Leo XIV adalah sosok yang memahami komunikasi publik dengan baik. Termasuk pemakaian diksi, tata bahasa maupun psikologi umat, masyarakat di keuskupan asalnya yang menggunakan bahasa Spanyol, bahasa resmi negara-negara Amerika Latin, termasuk Peru, sekaligus bahasa asal ibunya, Mildred Martinez, seorang pustakawan.
Uskup Agung Rakyat
Presiden Peru Dina Ercilia Boluarte Zegarra memuji terpilihnya Robert Francis Prevost menjadi Paus pengganti mendiang Paus Fransiskus sebagai momentum rohani bersejarah. Kegembiraan disambut rasa haru dan bahagia mengingat lebih dari 20 tahun dalam ziarah imamatnya Robert Francis Prevost melayani umat Katolik dan masyarakat Peru.
Dina Boluarte menambahkan Paus berusia 69 tahun itu memilih untuk menjadi salah satu di antara umat Katolik dan membawa dalam hatinya iman, budaya, dan impian negara ini. “Paus adalah orang Peru, Tuhan mencintai Peru,” kata Boluarte kepada wartawan The Guardian, Kamis, 8 Mei 2025.
Kesederhanaan, cinta, dan kepedulian Robert Francis Prevost selama menunaikan Misi sebagai pelayan Sabda kepada masyarakat dengan rendah hati dan penuh kisah, termasuk mengawasi mereka yang tertimpa bencana alam lalu berbaur di tengah korban membuat mantan Presiden Peru Alberto Fujimori, menyebut Prevost sebagai Uskup Agung Rakyat.
Meski menjadi tokoh spiritual dan sekaligus intelektual berwibawa yang dihormati masyarakat maupun para elite politik serta pemimpin, Prevost tidak segan-segan untuk melontarkan kritik atau koreksi terhadap penguasa, termasuk rezim Fujimori yang cenderung korup, otoriter, dan kerap melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Prevost bukan pula pemimpin sekuler yang gila hormat dan tersanjung ketika dipuji bahkan silau mata ketika mengemban amanat Agung, sang Sabda. Menurut Prevost, yang ia lakukan adalah wujud panggilan imamatnya menjadi seorang imam religius dan misionaris yang sama sekali tidak butuh popularitas, pujian, dan kehormatan, tetapi membutuhkan totalitas pengabdian dan pengorbanan demi kebaikan dan keselamatan sesama manusia yang lain.
Pada awal tahun 2023, Prevost secara terbuka menentang Pemerintahan Presiden Boluarte, di mana ia mendeskripsikan “kesedihan dan rasa sakitnya” atas tewasnya 49 pengunjuk rasa dalam demonstrasi anti-pemerintah yang meletus ketika Presiden Boluarte menjabat pada bulan Desember 2022, menggantikan Pedro Castillo yang dipaksa keluar karena menangguhkan Kongres. “Konflik ini tidak mewakili yang terbaik dari negara ini,” kata Prevost dengan kesal.
Menurut Prevost, kerusuhan tersebut mencerminkan pengabaian historis terhadap masyarakat miskin Peru. Tidak sampai di situ, Prevost juga meminta mendiang mantan Presiden Fujimori, yang dipenjara pada tahun 2009 karena dituduh melakukan pelanggaran HAM dan korupsi untuk meminta pengampunan secara pribadi kepada masing-masing korban pelanggaran HAM pada masa pemerintahannya (ketidakadilan besar yang telah dilakukan dan menyebabkan dia diadili dan dijatuhi hukuman) guna memulai proses rekonsiliasi.
Sarannya muncul hanya dua hari setelah Fujimori diberi pengampunan oleh Presiden sebagai bagian dari konsensus politik dan melakukan permintaan maaf setengah hati yang dirilisnya melalui video. Namun, Fujimori kembali dijebloskan ke penjara tahun 2018, kemudian diampuni pada tahun 2023 di tengah protes jalanan yang masif di Peru sebelum akhirnya berpulang pada 2024.
Rosa Maria Vilchez (49), umat Katolik dan warga asal Keuskupan Chiclayo (keuskupan yang pernah dipimpin oleh Uskup Prevost) yang saat ini tinggal di Lima, mengisahkan, ia bertemu Pastor Prevost saat menghadiri kebaktian gereja beberapa tahun lalu. Vilchez dan umat mengaku mengenal dan menyapanya Pater Prevost. Prevost di mata umat dan warga adalah sosok imam yang menyenangkan.
Vilchez kerap terharu dan menangis saat mengingat Prevost sebagai sosok imam yang baik hati dan tulus melayani umat dan masyarakat. Prevost sosok imam Tuhan yang selalu memancarkan kedamaian bagi siapa saja yang bersua dengannya. “Saya berharap dia membawa sedikit kedamaian, bahwa dia dapat menstabilkan negara ini dengan cara tertentu, karena orang Peru pada umumnya sangat taat beragama dan sangat Katolik. Jadi saya pikir, dia (Prevost) akan menjadi figur otoritas politik,” ujar Vilchez kepada jurnalis The Guardian terbitan 8 Mei 2025.
Kisah dari Peru
Gejolak dan penindasan di Peru memiliki akar sejarah yang kompleks. Mulai dari konflik separatis di Abad ke-19 sampai perang saudara dan protes politik di era modern. Konflik separatis yang menentang pemerintah pusat di masa lalu dilakukan Loreto dan Huanta. Kedua kelompok tersebut melakukan pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, termasuk reformasi yang memicu konflik, seperti penetapan pajak garam dan larangan mata uang Bolivia.
Meski pasca kemerdekaan dari Spanyol tahun 1821, memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan sipil, baik kebebasan individu maupun kebebasan beragama, Peru masih bertabur berbagai gejolak dan penindasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di wilayah tertentu.
Misalnya, meletusnya perang saudara pada dekade 1980-an, yang melibatkan dua partai berhaluan kiri yaitu Sendero Luminosa atau Partai Komunis Peru dan Gerakan Revolusioner Tupac Amaru (MRTA). Buntutnya, kekerasan dan kematian dalam skala yang besar di kalangan masyarakat sipil, terutama masyarakat asli. Sekitar 50.000 hingga 70.000 orang diperkirakan meregang nyawa.
Selain itu, Koordinator Kelompok Katolik Keuskupan Chiclayo Jesus Leon Angeles mengatakan, telah bekerja sama dengan Prevost yang memiliki keterampilan kepemimpinan, tetapi juga pendengar yang baik sejak tahun 2018.
Jesus dan Prevost pernah bekerja sama dalam sejumlah proyek amal dan bantuan sosial di Chiclayo dan Trujillo serta daerah-daerah di sekitarnya. Prevost juga getol mengunjungi kota-kota lainnya di Peru. Prevost seorang pastor yang memiliki kebajikan, tidak sombong sehingga sangat dicintai umat dan masyarakat.
Jesus dan Prevost juga gemar blusukan dan menyelami budaya lokal, suka makan ceviche, kacang-kacangan dengan daging kambing, dan cau-cau yang semuanya merupakan hidangan lokal yang populer di Peru.
Jeninna Sesa, yang bertemu Prevost saat bekerja untuk lembaga amal Katolik Caritas, mengatakan, Prevost adalah tipe imam yang suka blusukan. Saat terjadi hujan dan bencana melanda Chiclayo dan desa-desa sekitarnya tahun 2022, tanpa ragu Prevost mengenakan sepatu bot dan mengarungi lumpur.
Prevost membantu mereka yang paling membutuhkan (terdampak bencana), sekaligus mengirimkan makanan dan selimut ke desa-desa terpencil di Andes. “Beliau mengendarai mobil pick up putih dan tidur di atas kasur tipis di lantai,” ujar Jeninna.
Itulah gambaran singkat aneka persoalan HAM dan sosial yang dihadapi masyarakat Peru. Beragam persoalan yang mungkin terjadi sebelum bahkan di tengah Prevost menjadi misionaris dan Uskup di Peru. Lebih dari 20 tahun Prevost berkarya di tanah Misi Peru. Banyak suka dan duka yang ia lalui dan merekatkan persaudaraan dalam kesederhaan dengan masyarakat Peru ala Agustinian sejati.
Pengalaman menjadi misionaris di Peru lalu didapuk menjadi Uskup di negara itu, membuat Prevost sebagai seorang imam asing yang sangat dihormati. Hal itu terjadi menyusul dedikasi dan loyalitas serta totalitas pengabdian yang dipersembahkan Prevost kepada umat Tuhan dan masyarakat Peru. Prevost juga sangat dicintai sebagai sosok humanis, sederhana, dan rendah hati.
Apa yang dilakukan oleh Prevost di Peru, sama halnya yang dilakukan oleh pendahulunya, Paus Fransiskus, saat masih menjadi imam, Uskup Agung, Provincial Jesuit hingga Kardinal di Argentina pada masa-masa sulit. Argentina yang kala itu dirundung berbagai fenomena sosial, politik, dan HAM dengan sistem pemerintahan yang non-demokratis, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Jorge Rafael Videla (1976-1981).
Videla adalah Presiden de facto Argentina era itu dan Paus Fransiskus adalah Provinsial Jesuit setelah akhirnya menjadi Uskup Agung Buenos Aires. Pemerintahan Videla menjadi titik awal perang kotor, masa penuh kekerasan dan pelanggaran HAM yang mengerikan dalam sejarah Argentina.
Videla yang naik ke panggung kekuasaan melalui kudeta militer menggulingkan Isabel Peron (istri mantan Presiden Argentina Juan Peron), melakukan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM berupa penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap rival politik, aktivis, dan warga sipil.
Di masa-masa sulit itu, Paus Fransiskus menunjukkan sikap keberpihakannya kepada para korban, termasuk para pastor Jesuit yang melayani di pemukiman kumuh yang diculik oleh junta militer Videla. Paus berjuang untuk keadilan bagi para korban, mendukung upaya pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran HAM yang terjadi kala itu.
Paus Fransiskus membantu menjamin keselamatan bagi orang-orang yang menjadi target rezim militer, dengan memberi tempat perlindungan kepada beberapa orang, termasuk para Jesuit yang menjadi target kebrutalan rezim Videla.
Inilah salah satu sisi kesamaan Paus Leo XIV dan Paus Fransiskus yang menunjukkan sikap keberpihakannya kepada sesama yang lain, terutama mereka yang lebih membutuhkan atau menderita. Bukan mengikuti kemauan kekuasan atau perasaan mayoritas orang yang hidup dalam kenyamanan diri.
Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV tidak segan-segan untuk mengkritik kekuasaan, tidak menjaga kesembangan atau netralitas di mata penguasa bermental tiran. Mereka manunggal dengan umat, terlibat bersama rakyat dengan prinsip: luka untukmu (korban) dan darah untukku (Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV).
Karena rekam jejak dan pengalamannya mengantarkan Jorge Mario Bergoglio beranjak menjadi Paus Fransiskus yang menjadi pemimpin paling berpengaruh, dihormati dan dicintai oleh miliaran umat manusia. Bukan saja dikasihi dan dicintai umat Katolik, tetapi juga umat dan masyarakat non-Katolik.
Paus Fransiskus menjadi Paus liberal dan progresif yang telah berhasil melakukan reformasi di tubuh Gereja, menjadikan Gereja yang inklusif, melihat penderitaan semua orang sebagai tanggungjwab spiritual dan kemausiaannya.
Demikian juga terpilihnya Prevost yang menggunakan nama Paus Leo XIV, tentu akan melanjutkan semua agenda dan cita-cita agung dari Paus Fransiskus untuk gereja dan kemanusiaan. Paus Leo XIV hadir di tengah dunia yang masih berkecamuk dengan aneka tantangan dan krisis kemanusiaan, sosial, dan ekologis.
“Seakan-akan ini kembaran Paus Fransiskus yang lebih muda, dengan hidup sederhana, penuh bela rasa, hidup suci, penuh dedikasi yang muncul di dalam pribadi Kardinal Prancis Prevost (Paus Leo XIV),” ujar Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC (10 Mei 2025).
Paus Leo XIV muncul di saat banyak orang hidup tersimpuh meratapi penderitaan, entah kekerasan, ketidakadilan sosial, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan diskriminasi rasial, gender, dan strata sosial. Karena kasih dan kerahiman Tuhan,
Paus Leo XIV hadir di saat-saat yang penuh ketidakpastian. Seperti kata Santo Agustinus, Misericordia Domini inter pontem et fontem, kerahiman Tuhan itu hadir di antara arus air dan jembatan.
Pandangan Santo Agustinus, Bapak Gereja Latin dan teolog terbesar kesayangan Gereja Katolik, intinya pada cinta kasih Tuhan yang begitu besar kepada manusia makhluk ciptaan-Nya. Ketika manusia dalam situasi sulit diterjang berbagai bencana dan membuatnya tidak berdaya di situlah Tuhan hadir untuk menolongnya.
Paus Leo XIV sebagai pewaris dari spirit Agustinus dan Paus Fransiskus, hadir untuk menjawab tantangan zaman, menyembuhkan luka sejarah, menyatukan Gereja dan mewartakan kabar perdamaian kepada semua umat manusia di muka bumi, baik di Afrika, Amerika, Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Pasifik.
Termasuk tanah Papua yang masih tersandera konflik bersenjata, kekerasan, pelanggaran HAM, penghancuran budaya, dan kerusakan lingkungan masif sejak pemerintah Indonesia masuk ke tanah Papua melalui invasi militer yang dikenal Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 dan referendum “bermasalah” tahun 1969.
Itu sejalan dengan kata-kata Santo Agustinus yang diucapkan oleh Paus Leo XIV pada penampilan perdananya menyapa umat beriman dan dunia dari atas Balkon Basilika Santo Petrus, “Saya adalah seorang putra Santo Agustinus, seorang Augustinian.” Paus Leo XIV juga pernah mengatakan, “Bersama kalian, aku adalah seorang Kristen, demi kalian aku adalah seorang Uskup”.
Paus Leo XIV mengajak, marilah kita semua melangkah bersama menuju tanah air sejati yang telah disiapkan Allah bagi kita semua. Untuk Gereja di Roma, salam khusus dariku: “Kita perlu bersama-sama mencari cara untuk menjadi Gereja yang misioner, yang membangun hubungan yang membuka dialog, yang selalu siap menyambut siapa pun dengan tangan terbuka. Seperti lapangan ini, terbuka untuk semua, terbuka bagi siapa pun yang membutuhkan kasih, kehadiran, dialog, dan cinta dari kita.”
Selamat kepada Bapa Paus Leo XIV atas tugas kegembalaan memimpin umat Katolik sedunia. In illo uno unum. Dalam Dia/Kristus yang satu, kita satu. Semoga.
Thomas Ch Syufi
Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Sanctus Thomas Aquinas tahun 2013-2015.










