JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Aktivis hak asasi manusia (HAM) dan eks tahanan politik (tapol) Papua Selpius Bobii melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto pasca terbit Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.
“Papua butuh percepatan penyelesaian masalah distorsi sejarah Papua, bukan percepatan pembangunan bias pendatang,” ujar Selpius yang juga Ketua Umum Front Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua Barat dan Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua (JDRP2) dari Jayapura, Papua, Selasa (14/10).
Berikut isi surat terbuka Selpius Bobii.
Kepada
Yth Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto
di Jakarta
Dengan hormat
Melalui surat terbuka ini, saya menyampaikan [andangan dan sikap terkait dengan pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang dilantik di Istana Jakarta pada 8 Oktober 2025 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110/P Tahun 2025.
Komite yang beranggotakan sepuluh orang dari berbagai latar belakang yang dipimpin Velix Wanggai selaku ketua, yaitu John Wempi Wetipo, Ignatius Yogo Triyono, Paulus Waterpauw, Ribka Haluk, Ali Hamdan Bogra, Gracia Josaphat Jobel (Billy) Mambrasar, Yanni, John Gluba Gebze, dan Juharson Estrella alias Ari Sihasale.
Melalui surat terbuka ini, saya menyampaikan pandangan dan sikap terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Otsus dan alat kelengkapannya, termasuk komite eksekutif.
Pertama, pemberlakuan UU Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua adalah kebijakan Jakarta, bukan hasil kompromi politik antara bangsa Papua dan negara Indonesia, artinya bukan win win solution.
Kedua, tujuan pemberlakuan UU Otsus adalah bukan untuk memberikan rasa keadilan dan mengangkat martabat warga asli Papua, tetapi tujuan terselubung dari pemberlakuan UU Otsus Papua adalah bertujuan untuk pendudukan (kolonialisme lanjutan), perampokan sumber daya alam, dan penghancuran tanai air Papua, serta pembasmian etnis Papua rumpun Melanesia baik secara langsung maupun terselubung. Singkatnya untuk membendung aspirasi Papua merdeka dan mempertahankan Penindasan atas bangsa Papua.
Ketiga, untuk mewujudkan tujuan terselubung yang dikemas rapi dalam paket UU Otsus Papua, Negara Indonesia menempuh berbagai upaya, antara lain (1) penegakkan hukum dan keamanan yaitu operasi intelijen dan operasi militer untuk penaklukan warga asli Papua, pengusiran warga setempat demi merampok SDA, dan pemusnahan etnis; (2) pendekatan pemekaran provinsi, kabupaten, distrik dan kampung untuk pendudukan, perampasan dan pendepopulasi warga asli Papua; (3) memperkuat kelembagaan struktural pemerintah dan masyarakat sipil untuk mewudkan misi Jakarta untuk menduduki, merampok SDA, merusak tanah air Papua, dan membasmi etnis Papua baik secara nyata dan terselubung.
Keempat, pemberlakuan UU Otsus Papua bukannya menyelesaikan kompleksitas masalah di tanah Papua, tetapi justru UU Otsus itu sendiri menjadi masalah, sehingga menambah deretan masalah di atas sekelumit masalah yang sudah ada dari sejak 1 Mei 1963.
Kelima, masalah mendasar yang seharusnya ditangani dan diselesaikan oleh Negara Indonesia adalah distorsi sejarah Bangsa Papua yaitu soal status politik bangsa Papua yang dianeksasi secara sepihak ke dalam negara Indonesia.
Keenam, untuk menyelesaikan masalah distorsi sejarah ini, dalam paket politik UU Otsus tahun 2001 telah diatur dalam salah satu pasal tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tetapi dalam revisi UU Otsus Papua tahun 2021, pasal yang mengatur tentang pebentukan KKR itu dihapus, sehingga UU Otsus Papua itu hanyalah sebagai “kaleng kosong” tanpa menyentuh dan menyelesaikan akar masalah Papua.
Ketujuh, pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang di-handle langsung oleh Presiden Prabowo itu hanya mengulang kembali pembentukan UP4B yang dibentuk di era Presiden SBY dan Badan Pengawasan Otsus Papua yang dibentuk oleh Presiden Jokowi yang di-handle oleh Wakil presiden, yang dilanjutkan oleh Presiden Prabowo yang kini badan itu diubah menjadi Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Komite ini akan mengalami nasib yang sama dengan UP4B di era Presiden SBY dan Badan Percepatan Pembangunan yang dibentuk di era Presiden Jokowi.
Kedelapan, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua ini tidak menyelesaikan sumber masalah Papua, yaitu distorsi sejarah Bangsa Papua lebih tepatnya “status politik Bangsa Papua”. Komite ini hanyalah berurusan dengan “kontrol pemerintah pusat atas perangkat pemerintah daerah di tanah Papua dalam menjalankan UU Otsus Papua” untuk suksesi pembangunan bias pendatang.
Kesembilan, melalui surat terbuka ini kami menyampaikan kepada presiden Prabowo bahwa langkah yang harus ditempuh untuk membahas tuntas status politik Bangsa Papua adalah segera mengggelar perundingan antara Indonesia dan Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, dan dilaksanakan di tempat netral.
Kesepuluh, untuk itu Presiden Prabowo segera menunjuk special envoy (utusan khusus presiden) untuk mengkomunikasikan kedua belah pihak menuju perundingan demi menghentikan konflik ideologi politik antara negara Indonesia dan Bangsa Papua.
Demikian surat terbuka ini kami buat untuk ditindak-lanjuti oleh presiden Indonesia dan pihak pihak terkait lainnya. Sekian dan terima kasih. Shalom.
Jayapura Minggu, 12 Oktober 2025
Teriring Salam dan Hormat
Seplius Bobii