DAERAH  

Dua Jenderal Purnawirawan Polisi dan Tokoh NTT Dukung Cosmas Kaju Ajukan Banding Pasca PTDH

Para tokoh asal Nusa Tenggara Timur di Jakarta saat menggelar konferensi pers mendukung Kompol Cosmas Kaju Gae mengajukan banding terhadap keputusan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri. Foto: Istimewa

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Dua jenderal purnawirawan polisi bersama sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pensiunan, politisi, praktisi hukum, dan tokoh asal Nusa Tenggara Timur di Jakarta mendukung Kompol Cosmas Kaju Gae mengajukan banding terhadap keputusan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.

Kompol Cosmas Kaju Gae, Komandan Batalyon A Resimen 4 Pasukan Pelopor Korps Brimob Polri, dijatuhkan sanksi PTDH dalam Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Divisi Propam Polri kepada Kaju di Jakarta, Rabu (3/9). Saat itu Cosmas berada di dalam kendaraan taktis (rantis) Brimob yang menewaskan pengemudi ojek online Affan Kurniawan di Jakarta, Kamis (28/8).

Dua jenderal purnawirawan itu adalah mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol (Purn) Drs Gories Mere dan mantan Kapolda Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Provinsi Takeo, Kamboja Irjen Pol (Purn) Drs Y Jacki Uly, MH serta mantan Staf Ahli Wakapolri Kombes Pol (Purn) Drs Alfons Loemau, SH, M.Si, M.Bus. 

Selain dua jenderal itu, dukungan juga datang dari anggota DPR RI asal NTT yakni Melchias Markus Mekeng, Ahmad Yohan, Juli Sutrisno Laiskodat, dan Rudi Kabunang serta para advokat seperti Petrus Selestinus, SH, MH; Petrus Bala Pattyona, SH, MH, CL; Honing Sanny, SH; Ketua Divisi Hukum Forum Pemuda NTT Wilfridus Watu serta sejumlah tokoh lain.

Gories Mere dalam kesempatan tersebut menegaskan, langkah banding harus ditempuh agar sanksi PTDH terhadap Cosmas tidak serta-merta menjadi final, tanpa mengabaikan rasa keadilan bagi keluarga Almarhum Afan, korban dalam insiden yang melibatkan kendaraan taktis Brimob.

“Kami semua prihatin, namun keadilan harus ditegakkan tidak hanya berdasarkan hasil akhir, tetapi juga dengan mempertimbangkan konteks dan keadaan di lapangan,” ujar Gories Mere melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (8/9).

Gories mengungkapkan, Kompol Cosmas adalah sosok dengan rekam jejak panjang pengabdian di institusi Polri sejak tahun 1996. Cosmas pernah ditugaskan di sejumlah daerah konflik seperti Timor Timur, Papua, Poso, dan Aceh. 

Cosmas juga terlibat dalam misi perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa di Darfur, Sudan Utara, Afrika sebagai peacekeeper United Nation Mission In Darfour (Unimad).

Salah satu peristiwa penting dalam kariernya terjadi pada 2 Januari 2007, ketika Cosmas tertembak di bahu oleh kelompok bersenjata saat bertugas di daerah konflik. Cedera tersebut, lanjut Gories, hampir membuat Cosmas kehilangan lengan. 

“Namun Cosmas berhasil diselamatkan melalui perawatan intensif di RS Polri Kramat Jati dan RS Elisabeth Singapura. Hingga kini, bekas luka tersebut menjadi saksi pengorbanan Cosmas bagi bangsa dan negara,” kata Gories, tokoh nasional dan mantan perwira polisi yang membentuk Detasemen 88 Antiteror Mabes Polri. 

Menurut Gories, para tokoh asal NTT sepakat bahwa langkah banding harus ditempuh agar putusan PTDH tidak berkekuatan hukum tetap, sembari tetap menghormati dan mengedepankan keadilan bagi korban almarhum Affan Kurniawan.

Menurut Gories, putusan PTDH terhadap Cosmas yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun itu menimbulkan keprihatinan luas. Pasca putusan sidang kode etik di Bareskrim Polri, Kompol Cosmas menyampaikan pernyataan terbuka berisi permohonan maaf serta penghormatan kepada keluarga korban.

Cosmas juga menegaskan, ia hanya melaksanakan tugas sesuai perintah komando, tanpa ada niat untuk mencelakakan siapa pun. Kejadian itu di luar dugaan dan baru diketahui adanya korban setelah tersebar di media sosial.

Para tokoh asal tanah Flobamora juga menegaskan, jika dilihat dari sisi faktual, kondisi kendaraan taktis Brimob memiliki keterbatasan jarak pandang ke bawah, ditambah kaca yang terkena gas air mata sehingga semakin sulit melihat.

Peristiwa terjadi dalam suasana kericuhan, di mana massa justru menyerang kendaraan, bukan menolong korban yang terjatuh. Kompol Cosmas saat itu duduk di samping sopir, bukan pengemudi.

Jika kendaraan kembali bergerak, hal itu dilakukan karena adanya tekanan situasi, bukan karena mengetahui ada korban di bawah ban.

Dari sisi hukum pidana, tidak ditemukan unsur dolus (kesengajaan) karena tidak ada niat atau kehendak batin untuk menghilangkan nyawa orang lain. Unsur culpa (kelalaian) pun sulit dibuktikan mengingat posisi Kompol Kosmas bukan pengemudi, serta situasi objektif yang tidak memungkinkan dirinya mengetahui adanya korban.

Peristiwa ini lebih tepat dikategorikan dalam kerangka overmacht (keadaan memaksa), di mana kendaraan harus bergerak karena terdesak oleh serangan massa demi keselamatan anggota di dalamnya.

Oleh karena itu, penjatuhan sanksi PTDH terhadap Kompol Cosmas dapat dinilai tidak proporsional, baik dari kacamata hukum pidana maupun etik.

Upaya banding menjadi jalan konstitusional yang harus ditempuh agar perkara ini diputus dengan lebih adil dan proporsional.

Kompol Cosmas adalah sosok pengabdian dari NTT untuk NKRI dan tragedi ini seharusnya menjadi refleksi bersama agar hukum ditegakkan dengan adil, proporsional, serta menjunjung tinggi kemanusiaan. (*)