JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Eka Kristina Yeimo, S.Pd. M.Si mengusulkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia tidak boleh melakukan pemetaan dan sertifikasi tanah komunitas masyarakat adat di tanah Papua.
Penegasan tersebut disampaikan Eka Yeimo, anggota DPD RI asal Papua Tengah saat berlangsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI dengan jajaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/3).
“Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tidak boleh melakukan pemetaan dan sertifikasi tanah komunitas masyarakat adat di tanah Papua,” ujar Eka Yeimo melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (12/3).
Menurut Eka, langkah untuk tidak melakukan pemetaan dan sertifikasi tersebut penting mengingat tanah komunal masyarakat adat merupakan pemberian dari Tuhan kepada nenek moyang yang diwarisi turun-temurun setiap marga yang menyebar di berbagai wilayah adat di Papua.
“Tanah komunal masyarakat adat di tanah Papua tidak perlu lagi memperoleh pengakuan dari negara mengingat tanah itu merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu atau marga dan suku tertentu yang memilikinya. Tanah adat tidak boleh dibuat sertifikat karena hal itu menjadi ancaman bagi generasi Papua,” kata Eka Yeimo, senator jebolan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI).
Eka mengatakan, ihwal di balik penolakan proses pemetaan dan sertifikasi juga bertolak dari mental dan tabiat manusia yang haus uang lalu menjual tanah komunitas masyarakat adat. Mental manusia yang harus uang mendorong manusia menjual tanah komunitas masyarakat adat yang ujungnya generasi berikutnya tidak memperoleh tanah warisan sekadar berkebun atau berburu untuk mempertahankan hidup.
“Jika tidak ada sertifikat maka tidak akan ada transaksi jual beli tanah. Sebaliknya, jika ada sertifikat maka transaksi jual beli tanah akan lebih mudah. Konsekuensinya, banyak tanah adat akan terjual habis demi uang. Tanah komunitas masyarakat adat juga akan tinggal nama,” kata Eka.
Eka juga menegaskan, tanah di Papua bukan sekadar lahan tidur yang ada begitu saja. Masyarakat dan komunitas adat Papua menghargai tanah atau hutan itu milik marga lain. Tanah itu hanya dapat digarap atau dibangun oleh marga atau suku pemiliknya. Negara jangan berpikir bahwa tanah Papua adalah tanah kosong dan banyak lahan tidur yang tidak dipakai pemiliknya.
“Orang Papua sangat menghargai hak kepemilikan tanah secara komunal sehingga hutan di Papua masih terjaga dengan baik dan memberikan kontribusi oksigen bagi dunia. Orang Papua bisa hidup tanpa uang tetapi tidak bisa hidup tanpa tanah dan hutannya. Saya berharap usulan ini bisa menjadi catatan penting untuk pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional agar tidak mencampur adukan urusan adat dengan negara,” ujar Eka.
Sementara itu, Wakil Ketua I BAP DPD RI Dr Yulianus Henock Sumual, SH, M.Si mendesak Kementerian ATR/BPN segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di beberapa daerah. Desakan tersebut disampaikan menindaklanjuti pengaduan masyarakat kepada BAP DPD RI.
“BAP DPD RI sangat concern terhadap penanganan konflik agraria yang melibatkan pihak pemerintah dan masyarakat. Mengingat urgensi dan banyaknya aduan masuk terkait konflik agraria, kami mendesak pemerintah segera menyelesaikan permasalahan tersebut,” ujar Yulianus, anggota DPD RI Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur.
Wakil Ketua II BAP DPD RI Ahmad Syauqi Soeratno dalam kesempatan tersebut juga mempertanyakan aduan masyarakat atas kasus kelalaian hilangnya sertifikat asli di Kantor Pertanahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
“Setelah sertifikat yang hilang dibuat kembali muncul permasalahan baru yakni terdapat selisih luas tanah di sertifikat lama yang hilang dengan luas di sertifikat baru,” kata Ahmad Syauqi, senator asal Daerah Istimewa Yogyakarta.
Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan Kementerian ATR/BPN Eko Priyanggodo menjelaskan, pihaknya belum mendapat informasi mengenai hilangnya sertifikat tanah P-98 di Kantor Pertanahan Kabupaten Merauke.
“Namun mengenai permasalahan perbedaan luas, kami informasikan bahwa ini terkait masalah administrasi pertanahan. Saat ini sudah terbit Peta Bidang Tanah (PBT) dan sudah ada surat pernyataan dari Universitas Musamus yang telah menerima hasil pengukuran ulang tersebut,” ujar Eko.
Direktur Penanganan Perkara Pertanahan Kementerian ATR/BPN Joko Subagyo menjelaskan, pihaknya belum menerima penyampaian keberatan untuk kasus lahan masyarakat Kabupaten Muko-Muko. Sementara itu untuk pengaduan masyarakat Desa Simpang Gambus masih dalam tahap penelitian. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)