JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam kekerasan dan intervensi yang dialami jurnalis dan media saat meliput aksi unjuk rasa berdarah yang berlangsung Senin-Sabtu (25-30/8).
Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida menegaskan, aksi demonstrasi terjadi bersamaan dengan kebrutalan aparat penegak hukum saat menangani eskalasi aksi di berbagai daerah yang disertai penjarahan. Situasi ini tak hanya menimbulkan kerugian bagi warga, tetapi menempatkan jurnalis pada posisi rentan saat meliput.
Situasi memanas sejak Senin (25/8) di Jakarta dan meluas ke beberapa daerah hingga saat ini. Aksi demonstrasi tersebut merupakan respon warga atas kebijakan yang ugal-ugalan dari pemerintah, Presiden, DPR, dan aparat penegak hukum (TNI-Polri).
“Aspirasi warga tersebut direspon secara brutal oleh aparat kepolisian dengan tembakan gas air mata, kendaraan taktis Brimob menabrak dan melindas pengemudi ojek online, kekerasan, pengeroyokan hingga penangkapan warga oleh aparat tak terkecuali jurnalis,” ujar Nany Afrida melalui keterangan tertulis Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung di Jakarta, Selasa (2/9).
Menurut Nany Afrida, AJI Indonesia mencatat, selama 1 Januari hingga 31 Agustus 2025 tercatat ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, termasuk teror, intimidasi dan serangan digital ke website dan akun media sosial media. Sebagian besar serangan dan kekerasan tersebut diduga pelakunya dari institusi militer dan kepolisian.
Dalam satu pekan terakhir, lanjut Nany, AJI Indonesia menerima beberapa laporan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa di gedung DPR RI Senayan dan Markas Komando Brimob, Kwitang, Jakarta.
“Jurnalis foto Antara Bayu Pratama S mengalami kekerasan ketika meliput demonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Senayan, Jakarta, pada Senin 25 Agustus 2025. Kemudian dua jurnalis foto dari Tempo dan Antara dipukul orang tidak dikenal saat meliput demonstrasi di sekitar Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (28/8) malam,” ujar Nany.
Pada hari yang sama, jurnalis Jurnas.com mengalami intimidasi saat merekam aksi demonstrasi yang ricuh di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta pada Kamis (28/8) malam.
Kemudian, pada Sabtu (30/8) malam, dua jurnalis Tribun Jambi terperangkap di gedung Kejati saat memantau kerusuhan aksi massa yang melakukan demonstrasi di gedung DPRD Jambi. Sabtu (30/8) dini hari, mobil operasional Tribunnenews yang diparkir di Kejaksaan Tinggi Jambi dibakar massa anarkis yang baru datang malam harinya.
Pada Minggu (31/8) dini, jurnalis TV One ditangkap, dipukul serta mengalami intimidasi saat melakukan siaran langsung melalui akun media sosialnya. Selain itu, jurnalis dari pers mahasiswa disiram air keras saat meliput di Polda Metro Jaya.
“Kasus tersebut menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Padahal, di tengah gejolak politik-sosial yang memanas publik justru membutuhkan liputan yang akurat, independen, dan bisa dipercaya,” kata Nany.
Nany mengatakan, selain kekerasan, jurnalis dan media di Indonesia juga mengalami pelarangan dan pembatasan yang dilakukan baik individu maupun lembaga pemerintah. Media didesak untuk menyajikan berita yang ‘sejuk’ dan ‘damai’ tentang aksi massa yang sangat berbeda dengan kenyataan di lapangan.
“Media juga ‘diimbau’ untuk tidak melakukan live streaming. Hal ini bisa menghambat kebebasan pers atau kemerdekaan media dalam menyampaikan informasi secara langsung kepada publik. Media harus bisa bekerja tanpa tekanan dari pihak manapun agar demokrasi dan kebebasan berekspresi tetap terjaga,” ujar Nany.
Dampak lainnya, kata Nany, publik banyak mencari informasi melalui media sosial yang kebenarannya meragukan dan dikhawatirkan akan menyesatkan masyarakat yang belum terliterasi dalam penggunaan media sosial.
AJI Indonesia menilai, pelarangan dan pembatasan ini sebagai upaya pembungkaman dan intervensi pada pers yang seharusnya memberikan informasi sebenar-benarnya pada masyarakat.
AJI Indonesia juga menyatakan sikap. Pertama, mengecam keras segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan perusakan terhadap jurnalis. Para penegak hukum harus mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama demonstrasi berlangsung.
Kedua, menangkap dan mengadili pelaku, termasuk aparat yang terlibat dalam kekerasan terhadap jurnalis. Ketiga, mengecam upaya pembungkaman yang dilakukan untuk membatasi kerja jurnalis dan media, sehingga menyuburkan disinformasi dan hoaks yang meresahkan masyarakat.
Keempat, mengingatkan kepada semua pihak untuk menghormati kerja jurnalistik, tidak menghalangi jurnalis dalam memberitakan informasi aksi demonstrasi kepada publik.
Kelima, mengingatkan semua pihak, termasuk aparat kepolisian dan perusahaan bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran hukum dan demokrasi.
“Di tengah banjir informasi dan situasi yang tidak menentu, jurnalis dan karya jurnalistik yang kredibel adalah benteng utama melawan hoaks dan disinformasi. Upaya pembungkaman media dan platform hari-hari ini mengingatkan kita pada praktik represif Orde Baru. Kebebasan pers adalah syarat demokrasi, bukan barang yang bisa dinegosiasikan,” ujar Nany. (*)