NABIRE, ODIYAIWUU.com — Aktivis hak asasi manusia (HAM) Papua Selpius Bobii menuding Gubernur Meki Fritz Nawipa, SH melakukan kebohongan publik kepada masyarakat Papua Tengah.
Tudingan Bobii disampaikan menanggapi statemen Nawipa yang menyebut ‘Papua Tengah sudah damai, aman, dan tentram. Di Ilaga dan Intan Jaya tidak ada perang’ saat membuka Sharing Session SindoNews Journalism di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Senin (25/8).
“Kita di Papua Tengah ini sudah damai, aman, dan tentram. Di Ilaga tidak ada perang, Intan Jaya tidak ada perang. Semua aman,” ujar Bobii mengutip pernyataan Gubernur Meki Nawipa saat membuka Sharing Session SindoNews Journalism di Nabire, Papua Tengah, Senin (25/8).
Statemen Gubernur Nawipa, lanjut Bibii juga dilansir media online lokal seperti papua60detik.id. Statemen orang nomor satu Papua Tengah itu, kata Bobii, sangat kontras dengan kondisi real Papua Tengah. Fakta di lapangan memperlihatkan hal berbeda.
“Masih banyak insiden di Papua Tengah yang publik belum ketahui karena berbagai insiden itu tak ada (media) yang meliput. Indikator apa yang dipakai Gubernur Papua Tengah untuk membuktikan bahwa Papua Tengah itu aman dan damai? Pernyataan Gubernur Papua Tengah tidak bisa dipertanggung jawabkan,” ujar Bobii melalui keterangan tertulis yang diterima dari Nabire, Papua Tengah, Selasa (26/8).
Bobii menyajikan sejumlah insiden yang terjadi di Papua Tengah. Pertama, seorang anggota TNI dilaporkan gugur setelah kontak tembak antara Satgas TNI dengan pasukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Joshua Maiseni di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Jumat, 8 Agustus 2025.
Kedua, berdasarkan informasi masyarakat, pada 8 Agustus 2025 di Distrik Mewoluk, Puncak Jaya, Satgas melaksanakan penyisiran di Kampung Biak yang diduga menjadi lokasi persembunyian OPM jaringan Tenggamati Enumbi. Pada saat itu terjadi kontak senjata antara TPNPB-OPM dan TNI- Polri.
Ketiga, pada 11 Agustus 2025 di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, pasukan TNI-Polri kembali terlibat kontak senjata dengan kelompok TPNPB OPM Kodap VIII Kemabu. Dalam kejadian tersebut, Dece Mujijau, anggota OPM yang merupakan tokoh di bawah pimpinan Sabinus Waker tewas.
Dua anggota OPM lainnya, Daume Maeseni dan Sabinus Joani, mengalami luka tembak. Anggota TNI mengamankan barang bukti berupa empat butir amunisi kaliber 5,56 mm, satu tas selempang, satu HP Android, dan satu kalung OPM.
Keempat, pada 12 Agustus 2025 di sekitar Kampung Eknemba, Distrik Sugapa, Intan Jaya, kelompok OPM mencoba melakukan serangan balasan, namun berhasil digagalkan. Kontak senjata tersebut mengakibatkan dua anggota OPM, Teleginus Maiseni dan Seprianus Maiseni tewas. Barang bukti yang diamankan meliputi dua gelang, dua kalung, dua cincin perak, dua cincin OPM, dan satu pasang sarung tangan.
Kelima, berdasarkan laporan Tribun-Papua.com, tiga anggota kelompok kriminal bersenjata dikabarkan tertembak dalam sebuah insiden di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua Tengah pada Selasa (15/8/2023).
Sementara, satu anggota TNI juga dilaporkan terluka. Baku tembak antara TNI Pamtas Yonif Raider 300/BJW melawan kontra kelompok kriminal bersenjata pecah pada pukul 09.45 WIT. Kontak tembak bermula ketika Dansatgas Pamtas Yonif Raider 300/BJW bersama tim menuju Pos Gome untuk menghadiri acara bakar batu bersama masyarakat.
“Data di atas adalah bukti bahwa Papua Tengah belum aman dan damai. Papua Tengah menjadi dapur dalam memproduksi konflik. Aktornya adalah TNI-Polri dan TPNPB OPM. Dampak konflik bersenjata itu, banyak anggota TNI- Polri dan juga anggota TPNPB OPM menjadi korban. Selain mereka, banyak warga sipil berjatuhan entah luka maupun meninggal,” kata Bobii.
Menurut Bobii, buntut konflik tersebut banyak kampung kosong atau tak berpenghuni di Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya dan beberapa kampung lain di wilayah Provinsi lain di tanah Papua. Para warga di beberapa kabupaten telah lama mengungsi.
“Banyak pengungsi mengalami penderitaan hebat entah lapar, gizi buruk, dan sakit. Ada pula yang meninggal dunia. Banyak anak kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak. Laporan dari Keuskupan Timika baru-baru ini menunjukkan bahwa para pengungsi semakin meningkat dan kondisi mereka mengkhawatirkan,” kata Bobii.
Bobii menegaskan, pernyataan Gubernur Nawipa menyayat luka batin para pengungsi dan keluarga korban akibat konflik sosial, ekonomi, politik, dan ideologi yang berkepanjangan. Berdasarkan fakta di atas, ujar Bobii, Gubernur Papua Tengah melakukan kebohongan publik karena fakta di lapangan masih terjadi konflik.
“Masih terjadi konflik berarti Papua Tengah belum aman. Masih terjadi konflik berarti Papua belum sejahtera. Pernyataan Gubernur Papua Tengah itu hanya sensasi politik agar majikan di Jakarta senang,” ujar Bobii lebih lanjut.
Pihaknya menyarankan Gubernur Nawipa dan para pejabat publik agar ke depan berbicara kepada publik berdasarkan fakta dan data yang akurat serta kredibel. Jangan asal ngomong, nanti dibilang ‘pejabat itu hanya omong-omong saja tanpa bukti data dan fakta di lapangan’.
“Gubernur Papua Tengah punya dinas dinas terkait untuk mendapatkan informasi akurat sehingga pernyataannya juga akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Ke depan gunakan data-data dari dinas terkait agar pernyataan dapat dipercaya dan berdampak positif,” ujar Bobii.
Keuskupan Timika melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), Selasa (22/7) menggelar konferensi pers terkait situasi kemanusiaan menyusul konflik bersenjata yang melibatkan aparat TNI-Polri dan TPNPB OPM di wilayah pelayanan pastoral Keuskupan Timika.
“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang semakin hari semakin memburuk di tanah Papua, khususnya terkait dengan konflik perang yang terus berlangsung antara aparat keamanan negara dan pejuang Papua merdeka di sejumlah wilayah pastoral Keuskupan Timika,” ujar Saul Wanimbo dan Rudolf Kambayong, perwakilan SKP Keuskupan Timika dari Timika, Papua Tengah, Rabu (23/7).
Saul mengatakan, hingga saat ini eskalasi konflik bersenjata atau perang semakin meningkat, mematikan, dan mengancam kehidupan masyarakat sipil di tanah Papua, khususnya di wilayah pastoral Keuskupan Timika seperti di Kabupaten Intan Jaya, Puncak, dan sesekali di Paniai, Dogiyai, dan Deiyai.
“Semakin meningkatnya eskalasi konflik perang bukan saja karena operasi militer, perang dengan strategi ‘membumihanguskan’ perkampungan warga sipil. Eskalasi itu terutama juga karena aparat keamanan menggunakan persenjataan modern dan canggih dengan daya ledak tinggi dengan jangkauan lebih luas,” kata Saul.
Saul menambahkan, penggunaan persenjataan modern dimaksud seperti pesawat tempur, mortir, bom, dan drone. Persenjataan modern itu tidak hanya menyerang anggota TPNPB OPM tetapi menyasar pemukiman dan ruang-ruang sipil seperti perkampungan, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, gereja dan rumah petugas gereja, kebun, kandang ternak warga, dan tempat-tempat lain dimana masyarakat sipil beraktivitas sehingga mereka benar-benar masyarakat sipil terperangkap di tengah konflik perang.
Saul mencontohkan, baru-baru ini serangan terjadi di Kampung Tuanggi I, Distrik Gome Utara, Kabupaten Puncak. Sedangkan pada Senin (12/5) terjadi serangan terhadap empat warga sipil di Kampung Titigi, Distrik Sugapa, Intan Jaya, yang berujung salah seorang warga sipil dengan gangguan jiwa (ODGJ) meninggal.
“Perang antara TNI-Polri melawan TPNPB OPM sudah cukup lama dan memakan banyak korban jiwa. Korban bukan hanya pihak yang berkonflik tetapi juga warga sipil. Ribuan warga sipil ketakutan lalu lari meninggalkan rumah, kebun, ternak piaraan dan pekerjaan sehari-hari mencari tempat aman untuk mengungsi,” ujar Saul.
Saul menjelaskan, hingga kini banyak warga sipil berada di tempat pengungsian, baik yang mengungsi di kabupaten yang dilanda konflik atau ke kabupaten-kabupaten tetangga yang dianggap lebih menjamin keselamatan dan keamanannya. Data yang diperoleh Keuskupan Timika menunjukkan, jumlah pengungsi dari Puncak sebanyak 4.469 jiwa.
“Ribuan warga yang mengungsi ini tersebar di beberapa distrik seperti Distrik Gome, Gome Utara, Ilaga, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak, dan Distrik Yugumoak. Sedangkan pengungsi di Intan Jaya sebanyak 1.231 jiwa tersebar di Kampung Sugapa Lama, Desa Hitadipa, Kampung Janamba, Desa Sanaba, Kampung Jalinggapa dan Kampung Titigi,” kata Saul.
Kabar lebih miris, akibat kondisi bersenjata tersebut tercatat sekitar 216 anak di Puncak tidak mengikuti kegiatan belajar di kelas. Mereka terdiri dari 109 anak SD dan 107 anak tingkat SMP. Jumlah itu, belum terhitung anak korban pengungsi yang telah keluar dari wilayah konflik yang mencari perlindungan keamanan seperti di Kabupaten Nabire dan Mimika.
Sementara itu, di saat bersamaan pasukan TNI-Polri terus dikirim ke daerah-daerah konflik di wilayah pelayanan pastoral Keuskupan Timika dengan membuka pos-pos baru di tengah pemukiman warga yang tersisa, turut menimbulkan teror dan trauma mendalam bagi warga sipil dan pengungsi yang sudah semakin tidak berdaya.
“Sebagai Gereja yang selalu berjalan bersama dan bergumul bersama umat tentang iman dan situasinya, menyaksikan konflik, penderitaan umat beriman dengan ‘budaya kematian’ yang tidak beradab ini, kami tegaskan bahwa selain isu politik Papua merdeka, investasi pertambangan juga menjadi latar belakang lahirnya konflik berkepanjangan hingga saat ini,” kata Saul.
Padahal, investasi akan membawa dampak lebih luas seperti laju deforestasi dan degradasi kualitas lingkungan hidup mengingat hampir pasti terjadi pembabatan hutan, rusaknya ekosistem dan menambah buruknya iklim. Bahkan lebih lagi, masyarakat pemilik hak ulayat dipastikan akan kehilangan hak-hak dasar mereka terutama hak hidup di atas tanah leluhurnya.
Dalam konferensi pers tersebut, pihak Keuskupan Timika menyampaikan sejumlah hal penting kepada pemerintah dan pihak-pihak yang berkonflik di wilayah pastoral Keuskupan Timika.
Pertama, kepada aparat keamanan dan pihak TPNPB OPM yang mengangkat senjata untuk segera melakukan jeda kemanusiaan, meletakkan senjata, menciptakan zona tanpa perang demi adanya pertolongan kemanusiaan bagi masyarakat sipil yang mengungsi di berbagai tempat.
Kedua, agar negara menjamin perlindungan hak-hak dasar masyarakat sipil, khususnya para pengungsi akibat konflik sesuai dengan amanat konstitusi dan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Ketiga, kepada aparat keamanan dan TPNPB OPM agar menghentikan pertikaian di perkampungan warga atau dekat dengan pemukiman warga sipil dan menjamin perlindungannya sesuai dengan hukum Humaniter Internasional dan UU TNI-Polri, yakni UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Polri Nomor 2 Tahun 2002.
Keempat, kepada aparat keamanan agar menghentikan kebijakan militeristik terhadap warga sipil di kamp pengungsian, termasuk pelarangan berkebun dan wajib lapor yang mengekang kebebasan para pengungsi. Karena kebijakan seperti ini mengancam ketahanan pangan dan keberlangsungan hidup para pengungsi yang saat ini hidup penuh keterbatasan sandang dan pangan.
Kelima, agar negara segera melakukan jeda investasi di seluruh Tanah Papua, meninjau kembali proses-proses dengan masyarakat pemilik hak ulayat, meninjau kembali semua izin-izin eksploitasi sumber daya alam yang telah dikeluarkan kepada investor yang berpotensi merusak alam dan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat pribumi Papua.
Keenam, kepada pemerintah pusat, provinsi, dan daerah agar sungguh-sungguh hadir dan menjalankan fungsi pelayanan publik secara maksimal kepada semua warga masyarakat dan secara khusus kepada para pengungsi, termasuk penyediaan bantuan kemanusiaan dan pemulihan sosial.
Ketujuh, kepada pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, pihak TPNPB OPM, TNI-Polri agar bersama-sama berupaya mencari pendekatan penyelesaian konflik yang lebih beradab, bermartabat, dan manusiawi serta kepada semua pihak harus bersedia berdialog melalui mediasi pihak ketiga yang netral.
“Kami Gereja Katolik Keuskupan Timika percaya, dengan kemauan baik negara dan semua pihak terkait, situasi kemanusiaan di tanah Papua khususnya di Papua Tengah yang terus memburuk dan secara khusus di Intan Jaya dan Puncak dapat dipulihkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membantu dan memberkati upaya-upaya kita bersama ke depan,” ujar Saul. (*)