TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Bupati Kabupaten Intan Jaya Aner Maisini menyesalkan pola penegakan hukum yang dinilai tidak humanis dalam penanganan kelompok kriminal bersenjata alias KKB di wilayahnya.
Aner juga mengungkapkan kekesalan menyusul insiden penyisiran di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa oleh prajurit TNI Koops Habema pada Rabu (15/10) yang berujung tewasnya 14 warga, termasuk empat anggota KKB yang disebut sudah tidak bersenjata.
“Jika mereka sudah diamankan, seharusnya diproses hukum, bukan justru dihilangkan nyawanya. Apalagi di antara korban terdapat warga sipil biasa, termasuk penyandang disabilitas dan seorang ibu yang hanyut di sungai saat melarikan diri,” kata Bupati Aner di Hotel Horison Ultima Timika, kota Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Minggu (19/10).
Menurut Aner, situasi keamanan di Intan Jaya sebenarnya mulai membaik dalam enam bulan terakhir. Pembangunan pun sudah berjalan, termasuk di Hitadipa. Namun, insiden yang terjadi, diakui mencederai upaya damai yang tengah dibangun bersama.
Padahal, Bupati Aner bersama Ketua Tim Penanganan Konflik Intan Jaya Yoakim Mujizau, anggota DPRD Anas Kogoya, dan Pastor Yanuarius Yance Yogi, Pr selaku tokoh agama Katolik telah bertemu dan berdialog dengan KKB Sabinus Waker, pada Juni lalu di Ugimba.
“Salah satu bukti bahwa situasi kondusif adalah pembangunan di Hitadipa yang sudah berjalan. Sayangnya, kejadian ini bisa mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap negara,” kata Aner lebih lanjut.
Menurut Aner, tugas menjaga keamanan adalah tanggung jawab bersama, bukan semata-mata tugas aparat. Ia menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, TNI-Polri, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk menciptakan kedamaian.
Bupati Aner juga mendesak pemerintah pusat, termasuk Kementerian Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri untuk mengevaluasi pendekatan dalam menangani KKB. Ia menilai sebagian anggota KKB sudah mulai sadar dan ingin kembali ke NKRI serta mendukung pembangunan.
“Penegakan hukum jangan hanya dengan pendekatan keamanan. Mereka juga manusia. Harus ada keadilan sosial—akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan,” ujar Aner lebih lanjut.
Ia menambahkan bahwa sejak 2019, lebih dari 50 orang telah meninggal akibat konflik bersenjata di Intan Jaya. Korban berasal dari berbagai pihak seperti TNI-Polri, KKB, dan masyarakat sipil.
Yang paling disesalkan, menurutnya, adalah pemakaman massal terhadap para korban yang dilakukan di beberapa lokasi, termasuk di dekat gereja Soanggama. Hal ini disebut menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat.
Bupati Aner juga menyebut insiden ini menghambat aktivitas pemerintahan dan pelayanan publik. Sekolah, Puskesmas serta kegiatan ekonomi masyarakat yang sempat mulai berjalan kini kembali terganggu.
Pemerintah daerah sebelumnya telah menggagas berbagai program pemberdayaan, seperti pembentukan tim ojek dan tim kebersihan kota bagi pemuda lokal.
Namun, kejadian ini dikhawatirkan akan menumbuhkan rasa permusuhan antargenerasi terhadap negara. “Jika pendekatan keamanan menghilangkan nyawa, itu bukan cara yang manusiawi. Kami minta penegakan hukum dilakukan secara lebih beradab, adil dan humanis,” ujarnya. (*)