EKONOMI Papua Tengah pada tahun 2025 berjalan tersendat, bahkan nyaris lumpuh. Dari Nabire sebagai ibu kota provinsi Papua Tengah, Mimika sebagai pusat tambang, hingga kabupaten-kabupaten pegunungan seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, Puncak, dan Puncak Jaya—keluhan yang sama menggema: uang tidak berputar, aktivitas ekonomi terhenti. Provinsi baru yang seharusnya memberi harapan, justru memperlihatkan wajah muram. Pertanyaannya: siapa yang harus bertanggung jawab? Jawabannya jelas—Pemerintah Provinsi Papua Tengah.
APBD Papua Tengah bernilai triliunan rupiah. Anggaran sebesar itu seharusnya menjadi darah segar yang mengalir ke seluruh nadi perekonomian delapan kabupaten. Namun, apa yang terjadi? Dana publik yang seharusnya dibelanjakan untuk proyek, gaji, dan pelayanan masyarakat justru mengendap. Proses pencairan yang lamban, birokrasi yang bertele-tele, serta minimnya inisiatif percepatan membuat uang berhenti di atas kertas, tidak mengalir ke pasar dan kantong rakyat. Inilah bukti paling telanjang bahwa Pemerintah Provinsi gagal memainkan perannya sebagai mesin penggerak ekonomi daerah.
Padahal, efek APBD terhadap ekonomi lokal tidak main-main. Setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah bisa menggandakan transaksi di pasar—kontraktor membayar pekerja, pekerja berbelanja di warung, pedagang membeli stok, dan seterusnya. Namun ketika APBD disandera oleh ketidakbecusan birokrasi, rantai itu terputus. Kontraktor tidak bisa membayar tukang, ASN menunda belanja, pedagang tidak laku, harga barang jatuh. Data Badan Pusat Statistik yang mencatat kontraksi tajam di Papua Tengah serta deflasi berulang adalah sinyal keras bahwa daya beli rakyat tercekik karena uang tak beredar.
Lebih parah lagi, masalah ini diperburuk oleh kebocoran belanja. Segelintir uang yang cair justru dibawa keluar daerah—dibelanjakan di Jayapura, Timika, bahkan Jakarta melalui belanja daring. Akibatnya, Nabire dan kabupaten lain hanya menjadi tempat singgah uang, bukan rumahnya. Pemerintah provinsi semestinya menyadari masalah klasik ini dan menggerakkan kebijakan yang mewajibkan belanja lokal, bukan sekadar diam membiarkan ekonomi Papua Tengah kering.
Kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan. Papua Tengah adalah provinsi baru yang seharusnya membuktikan diri mampu mengelola keuangan secara efektif, cepat, dan tepat sasaran. Jika sejak awal sudah gagal, lalu untuk apa provinsi ini dilahirkan? Masyarakat tidak butuh seremoni, rapat-rapat seremonial, atau janji manis para pejabat. Mereka butuh uang beredar, proyek berjalan, dan pasar ramai. Semua itu hanya mungkin jika APBD dijalankan dengan disiplin, keberanian, serta keberpihakan nyata kepada rakyat kecil.
Karena itu, kritik ini harus dipahami sebagai alarm keras. Pemerintah Provinsi Papua Tengah tidak boleh lagi bersembunyi di balik alasan administratif atau berdalih pada proses teknis. Jika APBD tidak segera dipacu, delapan kabupaten Papua Tengah akan terjebak dalam spiral ekonomi yang mematikan. Rakyat tidak butuh alasan; rakyat butuh tindakan. Saatnya Pemprov Papua Tengah turun dari kursi empuk, mengeksekusi anggaran, dan menghidupkan kembali denyut ekonomi—sebelum provinsi ini kehilangan seluruh harapannya. (Editor)