OPINI  

Realita Rapat Komisaris Freeport

Willem Bobi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Foto: Istimewa

Oleh Willem Bobi

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta

GUNUNG-gunung Papua berdiri tegak, diselimuti kabut tipis yang melayang bagai jubah leluhur. Dari kejauhan, puncak Grasberg seperti altar raksasa tempat salju berdoa setiap pagi. 

Tebing-tebingnya keras, tegak, namun di dalamnya tersimpan emas, tembaga, dan cerita panjang tentang tubuh-tubuh yang hilang dalam reruntuhan.

Publik tentu masih ingat sajian dalam utama (headline) Mingguan Tempo dalam sebuah edisi Mei 2013. Longsor menerjang terowongan pelatihan Freeport lalu berujung nyawa 28 pekerja melayang. Korban yang tertimbun itu adalah kenyataan yang mengejutkan masyarakat dan dunia. 

Portal berita CNN Indonesia baru-baru ini menulis, Freeport Indonesia ungkap identitas dua pekerja yang meninggal dunia dalam insiden tambang longsor di Grasberg Block Cave. Berita itu jadi bukti bahwa tragedi tidak pernah benar-benar hilang, hanya terus berulang dengan wajah baru.

Tulisan ini lahir dari bayangan-bayangan itu —dari longsor, dari manusia yang hilang, dari laporan yang dibaca namun sering tidak didengar di meja-meja rapat. Di ruang rapat itu, Isaac Newton seakan hadir diam-diam. 

Newton, fisikawan yang lahir pada 4 Januari 1643 dan meninggal tanggal 31 Maret 1727, membawa hukum-hukum alam. Bukan agar ia disanjung melainkan agar diingat dan dijalankan.

Newton di Ruang Rapat

Newton menatap para eksekutif dan komisaris perusahaan raksasa yang sibuk membolak-balik laporan produksi. Ia tahu hukum pertamanya masih bekerja di Grasberg: tambang yang berjalan tanpa perubahan. 

Tambang akan tetap maju dalam kebiasaan lama, kecuali ada gaya baru —keberanian menempatkan keselamatan di atas target produksi. Tetapi gaya itu jarang muncul karena keuntungan lebih sering dianggap menjulang nyata daripada nyawa yang melayang saban waktu.

Newton mengetuk meja, menegur hukum kedua: massa batu yang digali tanpa kendali, percepatan waktu yang dipaksakan oleh target, menghasilkan gaya kehancuran. Longsor yang yang baru saja membenamkan 7 pekerja —lima di antaranya belum ditemukan— adalah manifestasi nyata dari persamaan itu, bahwa gaya produksi bisa menebar kematian bila tak dikekang.

Kemudian, hukum ketiga Newton bersuara lirih: setiap aksi punya reaksi. Setiap tebing yang digores, setiap sensor yang dinonaktifkan, akan kembali sebagai longsor. Longsor itu bukan hanya runtuhan tanah, melainkan runtuhan harapan para keluarga di kampung yang menunggu kabar.

Eksplorasi dan Eksploitasi

Sebelum tambang besar terlihat, para insinyur mengirim gelombang seismik ke perut bumi. Gelombang itu pantulan alam, sinyal bahwa di bawah tanah ada cadangan yang harus diungkap. Eksplorasi memakai fisika gelombang, pantulan seismik, pembacaan kepadatan batuan —semua bertujuan memetakan di mana emas dan tembaga berada.

Tetapi ketika tahap eksploitasi dimulai, fisika yang sama berubah jadi tantangan. Dinamit meledak, menghasilkan tekanan dan getaran yang merambat ke dinding tambang. Getaran mikro dan patahan batuan kadang tak terasa, tapi menyimpan potensi longsor. 

Gravitasi, hukum Newton paling sederhana, menarik setiap partikel batu yang lepas ke bawah. Energi kinetik yang dihasilkan dari massa jatuh itu tak bisa dihentikan. Sekali ia mulai bergerak itulah kenyataan pahit di highland.

Highland, Tubuh Raksasa

Di highland, Grasberg seperti tubuh raksasa yang terus digerogoti. Tebing yang diledakkan, permukaan tanah yang dihilangkan, membuat struktur batu kehilangan kekuatan geser. 

Salju yang dulu menempel di puncak lambat laun meleleh, membuka lapisan batu yang terpapar udara dan hujan. Erosi mulai bekerja, air merembes ke pori batu, meningkatkan tekanan pori, melemahkan daya tahan tebing.

Di kampung sekitar highland, tua-tua adat duduk di depan api unggun. Mereka berkata pelan, “Gunung ini bukan sekadar batu. Dia adalah mama yang memberi air dan tanah.” Tetapi suara mereka kalah oleh gemuruh mesin dan rapat-rapat di gedung kaca.

Dari puncak ke lembah, limbah tailing bergerak seperti aliran darah kotor. Sungai Ajkwa, dulu bening dan penuh kehidupan, kini menjadi lorong abu-abu yang menyeret partikel logam berat, lumpur, dan racun. 

Fisika fluida menjelaskan, partikel halus yang tersuspensi akan terus terbawa arus hingga mencapai dataran rendah. Di rawa-rawa dan muara laut, endapan itu menutup napas mangrove dan mematikan biota.

Di lowland, kehidupan sehari-hari dulu berputar di sekitar sagu, laut, dan hutan. Mama-mama menokok batang sagu dengan parang tumpul warisan nenek moyang. Mereka merendam, memeras lalu menyaring pati putih yang menjadi makanan pokok keluarga. 

Dulu, air sungai membantu mereka, jernih dan bersih, hingga anak-anak bisa ikut mandi sambil bernyanyi. Kini, air itu keruh, pati sagu pahit, menimbulkan rasa getir di lidah.

Nelayan berangkat sebelum fajar. Perahu kecil meluncur ke laut yang dulu penuh ikan, udang, dan kepiting. Jala diturunkan dengan disertai doa lalu ditarik dengan buah doa mini di ujung jala atas nama hidup-mati penghuni honai (rumah). Tapi sekarang? Jalan hanya mampu menjerat lumpur. Seekor kepiting kecil kadang muncul, lemas, seakan ingin menyampaikan pesan: laut sedang sakit.

Para pemburu juga kehilangan jejak. Rusa dan babi hutan yang biasa datang ke rawa mulai menghilang. Tanah yang tergenang tailing menutup rumput, membunuh jalur makanan hewan. 

Mereka pulang dengan tangan kosong, hanya membawa cerita getir: hutan yang dulu ramah kini makin asing. Hutan di atas tanah leluhurnya seakan tak lagi menabur harapan.

“Alam dulu seperti mama yang baik hati,” kata seorang tua adat. “Ia memberi sagu, ikan, rusa, tanpa hitungan. Tapi sekarang mama itu seperti sakit, batuk-batuk, sesak napas. Bagaimana kami bisa hidup kalau mama kami sakit?” Lidah sang mama kelu.

Realita yang Memilukan

Di ruang rapat Freeport, lampu kristal bergemerlap. Jas hitam, dasi sutra, senyum tipis menyelimuti meja panjang. Grafik keuntungan diproyeksikan dengan penuh percaya diri. Di antara presentasi terlihat angka produksi, estimasi cadangan emas, dan proyeksi devisa.

Namun Newton tahu ada persamaan lain yang tak pernah masuk ke slide laporan. Semisal jumlah keluarga yang meratapi pilu kehilangan, nelayan yang pulang tanpa ikan, anak-anak yang kehilangan tanah dan sagu. Di highland, tekanan dari dinamit dan longsor; di lowland tekanan dari arus limbah dan pangan yang makin tipis.

Tua-tua adat menyebut ini bukan sekadar urusan uang. Ini soal keseimbangan hidup. Di Papua, hukum alam lebih tua dari hukum ekonomi. Setiap pohon yang ditebang, setiap sungai yang dialiri limbah selalu mencari keseimbangannya kembali. Newton hanya mengangguk: hukum ketiganya tetap aktif bekerja, hanya sering diabaikan di ruang rapat.

Dalam rapat nyata di Freeport, Sir Isaac Newton mungkin memandang para eksekutif dan komisaris perusahaan dengan harapan dan kekhawatiran. Ia tahu bahwa fisika bukan hanya rumus. Ia (fisika) adalah hukum kehidupan yang tak bisa dibohongi.

Di Papua, hukum itu kini berteriak lewat korban longsor, lewat laporan media CNN Indonesia: PT Freeport ungkap identitas dua pekerja tewas di insiden tambang longsor di Grasberg Block Cave adalah pengingat bahwa tragedi nyata selalu hadir.

Dan tua-tua adat, dengan suara serak mereka, hanya bisa berkata, “Kami sudah bilang dari awal, gunung bukan untuk dilukai, sungai bukan untuk dicemari. Mereka punya roh, mereka punya hukum. Dan hukum itu lebih keras daripada hukum manusia.”