Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Qatar Diserang: Agresi Israel dan Respons Hampa Liga Arab
Serangan Israel ke ibu kota Qatar pada 9 September 2025 menjadi tamparan keras bagi dunia Arab. Rudal presisi menghantam sebuah kompleks di Doha yang dituding sebagai tempat persembunyian pimpinan Hamas. Peristiwa itu bukan hanya pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan Qatar, tetapi juga simbol penghinaan terhadap harga diri bangsa Arab. Qatar, yang selama ini memainkan peran vital sebagai mediator dalam proses gencatan senjata dan pertukaran sandera, justru dijadikan target militer. Dunia menunggu bagaimana Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) akan bereaksi, sebab kasus ini bukan sekadar serangan terhadap satu negara, melainkan ujian bagi solidaritas Arab secara keseluruhan.
Respon memang cepat, tetapi dangkal. Pemerintah Qatar segera menuntut permintaan maaf resmi dari Israel dan menangguhkan peran mediasi sampai ada kejelasan. Liga Arab dan OKI pun menggelar KTT darurat di Doha pada 15 September 2025. Hasilnya adalah sebuah komunike yang penuh kecaman. Israel disebut agresor, pelanggar hukum internasional, serta ancaman bagi stabilitas kawasan. Dukungan kepada Qatar ditegaskan berulang-ulang, sementara janji solidaritas digembar-gemborkan. Namun, di balik kata-kata lantang itu, tidak ada keputusan nyata yang bisa memberi tekanan langsung. Tidak ada pemutusan hubungan diplomatik, tidak ada embargo ekonomi, apalagi ancaman militer bersama. Semua berhenti pada wacana yang sama seperti krisis-krisis sebelumnya.
Fenomena ini sudah terlalu sering terjadi. Setiap kali Israel melancarkan agresi, pola yang sama berulang: rapat darurat digelar, komunike dikeluarkan, suara kecaman dikumandangkan, dan setelah itu semua kembali seperti semula. Siklus ini terus berulang hingga menjadi rutinitas politik yang hambar. Rakyat Arab melihatnya sebagai tontonan yang melelahkan, sementara Israel semakin yakin bahwa tidak akan ada konsekuensi berarti dari setiap serangan yang dilancarkan. Pertanyaan besar pun tak terhindarkan: mengapa dunia Arab yang begitu besar, kaya, dan berpengaruh hanya bisa berteriak tanpa berani melangkah lebih jauh?
Trauma 1967: Kekalahan Telak yang Membelenggu Dunia Arab
Jawaban atas kebisuan Arab hari ini sesungguhnya terletak pada masa lalu. Dunia Arab masih tersandera oleh kekalahan telak dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Pada 5–10 Juni 1967, Israel mengalahkan koalisi besar Arab yang dipimpin Mesir, Yordania, dan Suriah, dengan dukungan dari Irak, Arab Saudi, dan beberapa negara lain. Dalam enam hari singkat, kekuatan militer Arab yang selama itu dianggap menakutkan, justru hancur berantakan. Israel berhasil membuktikan dirinya bukan sekadar mampu bertahan hidup, tetapi juga mampu memperluas wilayah kekuasaannya secara dramatis.
Dalam perang singkat itu, Israel menghancurkan angkatan udara Mesir hanya dalam beberapa jam lewat serangan kejutan. Pasukan Mesir porak-poranda di Sinai, Yordania kehilangan Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sementara Suriah dipukul mundur dari Dataran Tinggi Golan. Hasil perang tersebut mengubah peta kawasan dan membalikkan posisi tawar seluruh dunia Arab. Negara-negara yang sebelumnya penuh percaya diri, mendadak kehilangan wibawa. Rasa malu dan rendah diri merasuki jantung politik kawasan, membuat bangsa Arab terpuruk dalam krisis harga diri yang panjang.
Kekalahan itu tidak hanya merampas tanah, tetapi juga menumbuhkan trauma kolektif. Perasaan kalah itu diwariskan lintas generasi. Hingga kini, setiap kali muncul potensi konfrontasi dengan Israel, para pemimpin Arab langsung dihantui bayangan 1967. Mereka teringat tank-tank Israel yang menembus pertahanan, jet-jet tempur yang melibas angkatan udara Arab, serta pasukan mereka sendiri yang tercerai-berai tanpa koordinasi. Trauma itulah yang membelenggu setiap langkah politik luar negeri Arab. Karena itulah, ketika Israel menyerang Qatar, reaksi dunia Arab kembali sama: keras dalam kata, lemah dalam tindakan.
Ketakutan Dunia Arab: Superioritas Israel
Trauma 1967 berpadu dengan kenyataan pahit hari ini: Israel telah berubah menjadi kekuatan militer kelas dunia. Mereka memiliki senjata nuklir, sesuatu yang tidak dimiliki negara Arab mana pun. Mereka juga menguasai teknologi perang modern, mulai dari sistem pertahanan berlapis, rudal presisi, drone tempur, hingga jaringan intelijen digital yang sangat canggih. Dengan kekuatan ini, Israel bisa melancarkan serangan dengan percaya diri, sebab mereka tahu lawan-lawannya tidak memiliki kapasitas setara untuk membalas.
Superioritas itu membuat Israel semakin berani bertindak. Serangan ke Doha adalah pesan gamblang: bahkan negara kaya dan berpengaruh pun bisa dijadikan target. Dunia Arab menyadari jurang kekuatan ini. Persatuan mereka rapuh, koordinasi militer lemah, dan teknologi perang tertinggal jauh. Mereka tahu bahwa dalam konfrontasi terbuka, Israel hampir pasti akan unggul. Liga Arab dan OKI memahami fakta itu, sehingga berhenti pada kata-kata. Retorika dijadikan tameng untuk menutupi ketidakberanian mereka menghadapi realitas yang pahit.
Bagi rakyat Arab, situasi ini menimbulkan frustrasi. Mereka melihat pemimpin mereka tak berani menghadapi Israel secara nyata. Sebaliknya, Israel semakin percaya diri. Setiap kali berhasil menyerang tanpa konsekuensi berarti, keyakinan itu semakin kuat. Dunia Arab pun terjebak dalam lingkaran setan: trauma membuat mereka takut, ketakutan membuat mereka lemah, dan kelemahan itu justru membuat Israel semakin garang.
Dukungan Amerika Serikat: Perisai Israel yang Melumpuhkan Arab
Namun rasa takut Arab tidak hanya pada kekuatan Israel itu sendiri. Faktor yang lebih menentukan adalah dukungan penuh Amerika Serikat. Sejak 1967 hingga sekarang, Washington konsisten menjadi penopang utama Tel Aviv. Dari suplai senjata canggih, teknologi militer, bantuan finansial, hingga perlindungan diplomatik di forum internasional, semuanya diberikan tanpa henti. Israel tidak hanya kuat karena dirinya, tetapi juga karena memiliki sekutu super-power yang selalu siap melindungi.
Setiap kali Dewan Keamanan PBB hendak menjatuhkan resolusi terhadap Israel, Amerika menggunakan hak vetonya. Setiap kali Israel melancarkan agresi, Washington berdiri di belakangnya, entah secara terang-terangan atau terselubung. Dukungan politik dan militer Amerika menjadikan Israel bukan sekadar negara kecil, melainkan benteng kepentingan global Barat di Timur Tengah. Inilah yang membuat para pemimpin Arab makin ciut. Mereka tahu konfrontasi dengan Israel sama artinya dengan konfrontasi dengan Amerika Serikat, sebuah risiko yang mustahil mereka tanggung.
Rezim-rezim Arab sadar, kursi kekuasaan mereka sebagian besar bertahan karena restu Barat. Dukungan ekonomi dan militer dari Amerika membuat mereka bergantung secara struktural. Melawan Israel berarti melawan sumber penopang kekuasaan mereka sendiri. Karena itu, jalan aman yang dipilih adalah retorika. Kecaman keras menjadi panggung drama, tetapi tindakan nyata disingkirkan. Liga Arab dan OKI pun kehilangan wibawa, tampil tak lebih dari macan kertas.
Kesimpulan: Dunia Arab dalam Belenggu Takut
Serangan Israel ke Qatar membuka mata dunia. Liga Arab dan OKI yang seharusnya berdiri tegak membela anggotanya, justru tampil lemah. Retorika keras tidak pernah berujung pada aksi konkret. Penyebabnya jelas: trauma kekalahan 1967, superioritas militer Israel hari ini, dan perisai Amerika Serikat yang membuat Tel Aviv semakin kebal. Semua faktor ini berpadu menjadi belenggu yang menahan dunia Arab untuk bergerak.
Paradoks besar dunia Arab pun terlihat jelas. Mereka kaya minyak, besar jumlah penduduk, luas wilayah, tetapi lumpuh menghadapi Israel. Forum-forum megah seperti Liga Arab dan OKI hanya menjadi panggung kata-kata. Semua kembali pada satu kenyataan pahit: dunia Arab masih hidup dalam trauma masa lalu, ketakutan pada kekuatan Israel, dan ketergantungan pada Amerika Serikat.
Jika keadaan ini terus berlanjut, dunia Arab hanya akan jadi penonton dalam sejarah. Israel akan terus menyerang, Amerika akan terus melindungi, dan Arab akan terus sibuk dengan retorika tanpa aksi. Rakyat Arab berhak marah. Mereka berhak menggugat pemimpin mereka sendiri. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya Palestina atau Qatar, melainkan martabat bangsa Arab secara keseluruhan.
Hari ini kenyataan itu terpampang jelas: Qatar diserang, Arab kembali hanya bersuara, sementara trauma 1967, kekuatan Israel, dan dukungan Amerika Serikat masih lebih kuat daripada keberanian untuk melawan.