OPINI  

Apakah Indonesia Akan Di-Nepal-kan?

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

PERISTIWA di Nepal pada September 2025 menjadi pelajaran penting bagi banyak negara. Ribuan rakyat turun ke jalan, puluhan orang tewas, ratusan luka-luka, gedung parlemen terbakar, kantor pemerintah dirusak, dan perdana menteri akhirnya tumbang. Semua itu berawal dari keputusan pemerintah yang melarang 26 platform media sosial. Larangan yang terlihat teknis itu ternyata menjadi simbol dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap korupsi, nepotisme, stagnasi ekonomi, dan kebebasan yang terhimpit. Percikan kecil itu menyalakan api yang sudah lama terpendam.

Pertanyaan pun muncul: mungkinkah Indonesia mengalami hal yang sama? Apakah negeri ini berpotensi di-Nepal-kan, diguncang amarah rakyat hingga menumbangkan pemerintahan yang dianggap tidak pro-rakyat? Untuk menjawabnya, kita perlu bercermin pada kondisi yang ada.

Indonesia memang sering dipuji sebagai salah satu demokrasi terbesar di dunia. Pemilu digelar rutin, kebebasan pers relatif terjaga, dan politik tampak stabil. Namun stabilitas itu sering kali hanya permukaan. Di bawahnya ada retakan besar yang membuat fondasi rapuh.

Masalah pertama adalah korupsi dan nepotisme. Tahun demi tahun publik disuguhi kasus baru: pejabat ditangkap KPK, menteri terjerat suap, kepala daerah menyalahgunakan anggaran, bahkan aparat hukum ikut bermain. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di posisi rendah. Dinasti politik tumbuh subur, dari tingkat lokal hingga nasional. Demokrasi yang seharusnya membuka ruang bagi semua justru berubah menjadi arena keluarga dan kelompok kecil yang menguasai panggung kekuasaan.

Masalah kedua adalah kesenjangan sosial. Pertumbuhan ekonomi memang stabil, tetapi distribusinya timpang. Kota besar dipoles dengan infrastruktur megah, sementara daerah lain masih bergulat dengan jalan rusak, listrik terbatas, dan fasilitas kesehatan seadanya. Harga kebutuhan pokok meroket, biaya hidup di perkotaan makin berat, kesempatan kerja formal sempit. Banyak sarjana menganggur, sementara elite politik hidup mewah dengan fasilitas negara.

Masalah ketiga adalah generasi muda yang semakin kritis. Generasi Z tumbuh di era digital, terbiasa melihat negara lain lebih transparan dan akuntabel. Mereka berani bersuara, terutama lewat media sosial. Tetapi ruang itu pun kini sering diawasi, dibatasi, bahkan diancam. Jika pemerintah benar-benar melarang media sosial, potensi perlawanan generasi ini sangat besar, sebagaimana terjadi di Nepal.

Masalah keempat adalah ketidakadilan hukum. Hukum sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat kecil bisa dihukum berat untuk kesalahan sepele, sementara pejabat korup mendapat hukuman ringan, bahkan bisa bebas dengan alasan kesehatan. Demonstrasi mahasiswa atau buruh dibubarkan dengan gas air mata dan pentungan. Video kekerasan aparat yang viral hanya mempertebal rasa frustrasi bahwa negara tidak adil.

Masalah kelima adalah lemahnya oposisi. Hampir semua partai memilih masuk koalisi pemerintah. Suara kritis di parlemen semakin tumpul. Jalur politik formal kehilangan fungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat. Akibatnya, rakyat bisa mencari jalan non-formal: protes di jalanan.

Masalah keenam adalah media yang makin jauh dari rakyat. Media besar kerap dituding terlalu dekat dengan penguasa. Liputan kritis jarang, sementara propaganda pencitraan sering muncul. Publik lalu beralih ke media sosial untuk mencari informasi alternatif. Tetapi ruang itu dipenuhi buzzer, hoaks, dan disinformasi. Kepercayaan terhadap media pun runtuh. Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan terhadap semua saluran informasi, jalan terakhir yang tersisa hanyalah aksi massa.

Dari semua kondisi itu, kita bisa melihat bahwa hanya butuh satu percikan simbolik untuk menyalakan api. Bisa berupa skandal korupsi besar yang menyeret lingkar inti kekuasaan, kebijakan ekonomi yang menghantam rakyat kecil, pembatasan kebebasan digital, atau kekerasan aparat yang viral. Peristiwa semacam itu bisa menjadi pemicu yang membuat rakyat berbondong-bondong turun ke jalan.

Di sinilah budaya bangsa sendiri memperkuat kemungkinan itu. Orang Melayu, termasuk orang Indonesia, dikenal dengan budaya amok: kemarahan yang dipendam lama, tampak sabar di permukaan, tetapi bila titik jenuhnya terlampaui, ledakan bisa datang mendadak dan tak terbendung. Amok bukan hanya perilaku individu, melainkan bisa menjadi fenomena kolektif. Sejak masa kolonial, catatan Barat menggambarkan orang Nusantara yang tiba-tiba “mengamuk” setelah lama menahan diri. Dalam sejarah modern, amok kolektif terlihat dalam berbagai kerusuhan sosial, konflik horizontal, hingga demonstrasi politik besar. Reformasi 1998 adalah bukti nyata. Rakyat yang lama diam, tiba-tiba meluap ke jalan setelah krisis ekonomi menghantam, korupsi menganga, dan represi aparat melampaui batas. Rezim yang tampak kokoh runtuh hanya dalam hitungan minggu.

Fenomena serupa terlihat dalam skala lebih kecil. Pada 2019, mahasiswa turun ke jalan menolak revisi UU KPK. Aksi itu terjadi serentak di berbagai kota, menyebar cepat melalui media sosial. Represi aparat memperkuat solidaritas, dan meski protes itu tidak menjatuhkan pemerintahan, ia menunjukkan bahwa amok bisa muncul tiba-tiba tanpa perencanaan matang. Diamnya rakyat bukan tanda menerima, melainkan tanda menyimpan marah. Pemerintah sering salah menafsirkan kesabaran sebagai tanda tunduk, padahal ia bisa berubah menjadi badai politik dalam semalam.

Memang ada hambatan yang membuat kemungkinan Indonesia di-Nepal-kan lebih kecil. Gerakan rakyat masih terfragmentasi, mahasiswa, buruh, dan petani sering berjalan sendiri-sendiri. Aparat keamanan solid mendukung pemerintah, oposisi lemah, media sosial penuh propaganda. Hambatan ini membuat bara sulit menyatu. Tetapi hambatan bukan berarti jaminan. Justru karena rakyat lama diam, ketika ledakan datang, ia bisa lebih dahsyat.

Pertanyaan apakah Indonesia akan di-Nepal-kan bukanlah ramalan, melainkan peringatan. Jika korupsi dibiarkan, nepotisme tumbuh, kesenjangan melebar, hukum tetap tumpul, kebebasan digital dikekang, dan represi aparat berulang, maka kemungkinan itu akan semakin nyata. Rakyat mungkin tampak sabar hari ini, tetapi budaya amok mengingatkan bahwa kesabaran itu bisa berbalik menjadi amarah kolektif.

Jalan terbaik bukan menunggu ledakan rakyat, melainkan melakukan koreksi sejak sekarang. Pemerintah harus berani memberantas korupsi, membatasi politik dinasti, mempersempit kesenjangan sosial, menegakkan hukum dengan adil, memberi ruang bagi oposisi, melindungi kebebasan digital, dan mendengarkan suara generasi muda. Jika langkah-langkah itu ditempuh, bara amarah bisa padam sebelum berubah menjadi api besar. Tetapi jika diabaikan, sejarah akan mengambil jalannya sendiri. Amarah rakyat yang dipendam terlalu lama akan mencari jalan keluar, dan ketika itu tiba, tidak ada kekuasaan yang mampu menghentikannya. Indonesia tampak stabil hari ini, tetapi stabilitas itu rapuh. Ia bisa pecah sewaktu-waktu, dan bila budaya amok akhirnya meledak dalam skala nasional, maka Indonesia benar-benar bisa di-Nepal-kan.