JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pihak Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengecam keras tindakan penyiksaan dan penembakan yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang asli Papua dalam waktu bersamaan di tiga lokasi berbeda di tanah Papua.
Sekretaris Eksekutif ULMWP Markus Haluk mengatakan, Rabu (3/9) seorang anggota Pratu Terian Barusa dari Pomdam XVII/Cenderawasih menembak Lambert (Obet), seorang warga sipil. Obet adalah juru parkir di salah satu toko di Entrop, Jayapura. Ujungnya, korban meninggal dunia di tempat kejadian.
Pada Rabu (3/9) terjadi penangkapan dan penyiksaan secara brutal terhadap warga sipil bernama Victor Deyal. Pelakunya adalah anggota Polres Yahukimo. Korban, Deyal, akhirnya meninggal di Polres Yahukimo.
Korban ditangkap tanpa ada kejelasan hukum dari pihak kepolisian. Selama dalam tahanan anggota polisi diduga melakukan penyiksaan keji terhadap korban. Keluarga kaget ketika jenazah diantar pihak Polres ke rumah korban.
Begitu juga, pada hari yang sama (Rabu, 3/9) terjadi penembakan terhadap Praka Petrus Muenda di Waris, Kabupaten Keerom. Pelakunya adalah Kapten Inf Jhon dari Satgas Ketapang Swasembada BAIS. Buntutnya, Muenda, anggota Kodim 1715 Yahukimo, meninggal.
“Tiga peristiwa seperti di atas dan berbagai aksi kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama 62 tahun muai 1963-2025 menunjukkan bahwa tidak ada jaminan masa depan orang asli Papua hidup bersama dengan Indonesia,” kata Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni.
Menase menambahkan, orang Papua baik yang bekerja dalam sistem pemerintahan Indonesia entah sebagai aparatur sipil negara (ASN) maupun aparat keamanan tetap berada dalam bayang-bayang dan ancaman kematian.
“Selama ini seluruh kebijakan Pemerintah Indonesia dilandasi sikap superior dan rasisme yang mengurat-akar dalam seluruh sel kehidupan berbangsa. Mereka melihat orang Papua bukan sebagai manusia yang memiliki martabat,” ujar Menase.
Menase menegaskan, pemerintah Indonesia selalu melihat orang asli Papua sebagai musuh yang harus dibasmi demi menguasai sumber daya alam di tanah Papua. Karena itu ia menghimbau rakyat Papua untuk tetap menjaga diri dan tidak mempercayai atau menggantungkan harapan hidup dan masa depan tanah ini kepada bangsa Indonesia dan bangsa manapun.
“Sehubungan tiga peristiwa penyiksaan di atas kami meminta pimpinan instansi terkait untuk memberikan seberat-beratnya dan memecat pelaku penyiksaan dan pembunuhan dari kesatuan mereka masing-masing,” kata Menase.
Menurut Menase, ULMWP juga menyerukan kepada para pemimpin Melanesia, Pacifik dan para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan konkret dalam proses penyelesaian konflik berkepanjangan di tanah Papua. Tindakan itu, lanjutnya, diperlukan mengingat ancaman kian nyata pada manusia, budaya, dan hutan Papua.
Sedangkan Wakil Presiden Eksekutif ULMWP Octovianus Mote menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada para pemimpin politik Pasifik serta pemimpin adat, gereja, LSM, mahasiswa dan rakyat 10 tahun terakhir.
“Sejak pertemuan PIF di Port Moresby September 2015 hingga pertemuan para pemimpin Pacific di Honiara, Solomon Islands September 2025 para pihak di atas karena terus memberikan perhatian dan dukungan bagi hak penentuan nasib sendiri dan keprihatinan atas ancaman dan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan hidup yang terjadi di tanah Papua,” kata Octovianus. (*)










