Pusdema Sanata Dharma dan Centro Nacional Chega Launching Buku Ihwal Memori Masyarakat Timor Leste

Para pembicara dan penanggap saat launching dan diskusi buku Jejak-Jejak Ingatan dan Meraih Cahaya hasil kerja sama Pusdema Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta dan Centro Nacional Chega Timor Leste di Ruang Kadarman, Gedung Pusat Lantai 4 Kampus USD Yogyakarta, Selasa (19/8). Buku tersebut karya Yoseph Yapi Taum. Foto: Konrad Ruben Sachi Pratama

Loading

YOGYAKARTA, ODIYAIWUU.comPusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Pusdema) bekerja sama dengan Centro Nacional Chega (CNC), Selasa (19/8) meluncurkan (launching) dua buku di Ruang Kadarman, Gedung Pusat Lantai 4 Kampus Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Buku berjudul Jejak-Jejak Ingatan dan Meraih Cahaya mengangkat isu memori kolektif dan rekonsiliasi masyarakat Timor Leste. Acara launching dan diskusi buku tersebut sukses berkat kerja sama antara Pusdema USD Yogyakarta dan CNC Republik Demokratik Timor Leste.

Peluncuran dan diskusi menghadirkan sejumlah tokoh yakni akademisi USD Yogyakarta Dr Yoseph Yapi Taum, M.Hum sebagai pembicara dan para penanggap yakni Direktur Eksekutif Centro Nacional Chega Hugo Maria Fernandes, Direktur Pascasarjana USD Prof Paulus Sarwoto, Ph.D, Tri Agus Susanto S, S.Pd, M.Si. dari Solidamor Fortilos, dan Antonius Sumarwan, SJ, Ph.D dari USD.

Acara dimulai dengan sambutan Ketua Pusdema Dr Anton Haryono, M.Hum dan Wakil Rektor II Universitas Sanata Dharma Dr Yohanes Harsoyo, M.Pd, dilanjutkan pemaparan isi buku oleh penulis dan tanggapan para penanggap sebelum ditutup dengan tanggapan akhir dan sesi diskusi. Diskusi dipandu moderator Patria Budi Suharyo, S.Hum.

Penulis buku Yapi Taum menjelaskan, landasan akademis penulisan buku tersebut adalah teori memoria passionis dari Johann Baptist Metz. Ia berpendapat, politik memori harus diarahkan menjadi politik ingatan yang memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terbungkam.

Yapi menekankan pentingnya memori kolektif yang terhubung dengan rasa sebagai fondasi rekonsiliasi. Meski jejak ingatan tentang trauma, kekerasan, dan perang saudara di Timor Leste menyimpan energi destruktif, narasi perjuangan juga lahir dari memori kolektif tersebut. 

“Hal ini memungkinkan rekonsiliasi karena tidak ada permusuhan mendasar di antara mereka yang terlibat, baik di tingkat suku, agama, ras, dan antargolongan maupun politik. ‘Di dalam kasih tidak ada ketakutan, kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan (1 Yohanes 4:18)’ untuk menegaskan bahwa keberanian merekonsiliasi masa lalu lahir dari kasih yang menghilangkan rasa takut,” ujar Yapi melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Rabu (20/8).

Sedangkan Fernandes memberikan perspektif dari akar rumput, menyoroti bagaimana pengalaman masyarakat biasa yang terdampak konflik sering luput dari wacana besar. “Rekonsiliasi harus menyentuh pengalaman nyata warga di tingkat bawah, tidak hanya dilihat dari kacamata politik atau elitis,” kata Fernandes.

Sarwoto melihat isu ini dari kerangka sejarah kolonialisme di Asia Tenggara dan menyinggung konsep opasitas dalam rekonsiliasi. Ia mencontohkan, seseorang yang mengetahui pembunuh ayahnya tetapi memilih rekonsiliasi. 

“Opacity bukanlah upaya membungkam kebenaran, melainkan kesempatan untuk mempertemukan semua pihak meskipun masih ada luka yang belum sepenuhnya terungkap,” ujar Sarwoto.

Sementara itu, Susanto menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dan kehadiran pihak-pihak “tercerahkan” —mereka yang menyadari penjajahan— dalam narasumber buku untuk menambah perspektif reflektif. 

“Humor yang lahir dari ketakutan dapat menjadi bentuk ekspresi budaya dan perlawanan yang menunjukkan memori kolektif tidak hanya ada dalam narasi resmi,” kata Susanto. 

Sumarwan menambahkan dimensi spiritual, melihat rekonsiliasi sebagai jalan untuk memulihkan martabat manusia dan refleksi etis bagi bangsa.

Kedua buku karya Yapi, akademisi kelahiran Pulau Lembata, NTT, mendokumentasikan memori kolektif masyarakat Timor Leste, negeri mini di ujung timur Timor tentang perjuangan kemerdekaannya. 

Jejak-Jejak Ingatan mengupas sisi gelap seperti trauma, kekerasan, dan tragedi yang terjadi dalam sejarah Timor Leste. Buku ini membahas periode pendudukan Portugis tahun 1522-1975, pendudukan Jepang tahun 1942-1945, dan masa integrasi dengan Indonesia tahun 1976-1999,” ujar Yapi.

Sedangkan Meraih Cahaya menyajikan narasi memori kolektif dari berbagai pihak, termasuk pejuang kemerdekaan, pejuang integrasi, tentara Operasi Seroja, dan diaspora Timor Leste. 

“Buku ini juga membahas rekonsiliasi dari berbagai perspektif, seperti pejuang kemerdekaan yang tidak mempermasalahkan rekonsiliasi dengan warga sipil Indonesia atau dengan sesama orang Timor Leste yang memiliki preferensi politik berbeda di tahun 1975,” katanya. 

Sementara itu, lanjut Yapi, perspektif pejuang pro integrasi menunjukkan kekecewaan terhadap hasil jajak pendapat 1999 dan menekankan bahwa tragedi 1999 tidak bisa dipisahkan dari konflik tahun 1975.

Kedua buku ini diharapkan menjadi referensi berharga bagi para peneliti, akademisi, dan masyarakat luas yang tertarik pada isu sejarah, ingatan, dan rekonsiliasi. 

Sesi diskusi yang hangat dan membangun menunjukkan betapa pentingnya dialog lintas pengalaman dan generasi untuk merawat ingatan dan membangun hubungan yang konstruktif antara Indonesia dan Timor-Leste. (kontributor: Konrad Ruben Sachi Pratama, mahasiswa Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma)