HARI ini, bangsa Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Upacara bendera, pidato kenegaraan, parade budaya, dan gegap gempita nasionalisme kembali menghiasi ruang publik. Namun di balik semarak itu, muncul pertanyaan yang menggugat nurani: apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka?
Kemerdekaan seharusnya berarti terbebas dari segala bentuk penindasan, baik dari bangsa lain maupun dari pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Ironisnya, dalam usia delapan dekade kemerdekaan, rakyat Indonesia masih bergulat dengan berbagai bentuk penindasan struktural. Rakyat kecil sering ditindas bukan oleh penjajah asing, melainkan oleh kebijakan negara yang semestinya melindungi mereka.
Di bidang ekonomi, kesenjangan semakin menganga. Segelintir elite menguasai kekayaan alam, sementara jutaan rakyat masih hidup miskin. Harga kebutuhan pokok naik tak terkendali, pajak dan pungutan seolah tak ada habisnya, sementara korupsi tetap merajalela. Apakah ini wajah kemerdekaan yang diidamkan para pendiri bangsa?
Di bidang hukum, rakyat terus menyaksikan praktik hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Orang miskin yang mencuri karena lapar dihukum berat, sementara pejabat yang menjarah miliaran rupiah masih bisa tersenyum bebas. Hukum kehilangan wibawa karena diperalat demi kepentingan penguasa.
Di bidang politik, rakyat kerap hanya menjadi objek, bukan subjek. Pemilu digelar lima tahun sekali, tetapi setelah itu suara rakyat terpinggirkan. Kebijakan publik lebih sering berpihak kepada pemodal besar daripada kebutuhan masyarakat banyak. Demokrasi yang digembar-gemborkan hanya menjadi ritual formal tanpa ruh kerakyatan.
Di bidang sosial dan kebebasan sipil, kritik rakyat sering dibungkam dengan pasal karet. Kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi terancam oleh kriminalisasi. Demonstrasi damai dibubarkan, aktivis diburu, dan jurnalis dibungkam. Apakah ini wajah bangsa yang mengaku sudah merdeka?
Lebih menyakitkan, di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, rakyat masih hidup dalam rasa takut. Aparat hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai alat represi. Di Papua, misalnya, kekerasan dan diskriminasi masih terus terjadi. Di wilayah pedesaan, rakyat kehilangan tanah karena proyek atas nama pembangunan. Kemerdekaan bagi mereka terasa asing dan semu.
Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini bersatu menuntut kebebasan dari penjajah asing. Kini, setelah delapan puluh tahun, musuh itu bukan lagi asing, melainkan ada dalam tubuh bangsa sendiri: keserakahan, ketidakadilan, korupsi, dan kekuasaan yang menindas.
Maka, pertanyaan itu patut diajukan dengan jujur: apakah Indonesia sudah merdeka? Jika kemerdekaan hanya sebatas seremoni tahunan tanpa pembebasan nyata dari penderitaan rakyat, maka kemerdekaan itu hanyalah ilusi. Bangsa ini baru sungguh merdeka bila pemerintah menempatkan rakyat sebagai tuan, bukan sebagai objek penderita; bila hukum berdiri untuk semua orang tanpa pandang bulu; bila kekayaan negeri dinikmati bersama, bukan hanya oleh segelintir orang.
Hari ulang tahun kemerdekaan seharusnya bukan sekadar perayaan, melainkan momen refleksi. Bangsa ini mesti berani bercermin, bahwa pekerjaan besar untuk memerdekakan rakyat dari segala bentuk penindasan masih jauh dari selesai. (Editor)