Jutaan Orang Muda Katolik Serukan Perdamaian Dunia dari Tor Vergata (1)

  Pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus Leo XIV saat menghadiri Perayaan Tahun Yubelium 2025 yang dihadiri sekitar lebih dari satu juta orang muda Katolik yang berlangsung Senin-Minggu (28/7-4/8) di Tor Vergata, Vatikan, Roma, Italia. Sumber foto: Vatican News 

Loading

Sekitar lebih dari satu juta orang muda Katolik sedunia berkumpul di Tor Vergata, Vatikan, Roma, Italia guna merayakan Tahun Yubelium 2025 bersama Paus Leo XIV yang berlangsung mulai Senin-Minggu (28/7-4/8) waktu Roma. 

DALAM pertemuan bergengsi yang melibatkan orang muda Katolik berusia 18-35 tahun ini juga membahas beragam isu global yang mencakup perang, perubahan iklim, dan ancaman kecerdasan buatan atau AI terhadap generasi muda.

Sekitar satu juta umat Katolik muda berbondong-bondong ke Lapangan Basilika Santo Petrus Roma untuk memulai Yubelium Pemuda. Paus Leo XIV memimpin Misa penyambutan muda pewaris Gereja Katolik seluruh dunia. 

Serangkaian acara yang didedikasikan untuk kaum muda Katolik dari sedikitnya 150 negara dari seluruh dunia, termasuk Amerika Latin, Afrika, Amerika, Asia, dan Oseania, sekaligus perwakilan dari Asia Tenggara, seperti Indonesia, Timor Leste, dan Filipina dalam pertemuan tersebut. Acara itu mencapai puncak dalam Misa pada hari Minggu pertama bulan Agustus di Tor Vergata, Roma. 

Di tempat yang sama (seluas lebih dari 200 hektar dan terkenal sebagai lokasi salah satu universitas negeri terkemuka di Italia) dua puluh lima tahun lalu, Santo Yohanes Paulus II mengubah lapangan terbuka Tor Vergata di selatan Roma menjadi jantung Gereja muda untuk perayaan Hari Orang Muda Sedunia tahun 2000. 

Saat itu sedikitnya 2 juta anak muda Katolik dari seluruh dunia hadir dengan doa dan harapan, tak peduli panas dan ketidaknyamanan tidur di luar ruangan, membanjiri pinggiran kota Roma dengan iman mereka yang cemerlang. 

Sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II, Paus asal Polandia, “Mereka membuat keramaian di Roma yang tak pernah terlupakan”. Meskipun dunia telah berubah drastis sejak tahun 2000, inti pesannya tetap relevan dan sama. Saat itu, Paus Yohanes Paulus II mengecam abad ke-20 sebagai era kebencian dan perang saudara. 

Kini, Paus Leo XIV mewarisi dunia yang jauh lebih terpecah belah dengan berbagai persoalan sosial baru: kesepian digital, perang yang terlupakan, krisis iklim, ketidakadilan ekonomi, dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap berbagai lembaga, termasuk Gereja Katolik. 

Menghadapi situasi serba pelik ini, Yubelium Pemuda bukan sekadar pertemuan meriah, melainkan “mandat misionaris” yang diperbarui, sebagai kelanjutan mandat yang telah terjadi 25 tahun lalu. Kaum muda masa kini sama seperti di masa lalu, dipanggil untuk melawan arus, tidak menyerah atau mematikan kerinduan mereka akan Tuhan. 

Sebagaimana dikatakan Paus Yohanes Paulus II, “Yesus-lah yang membangkitkan dalam diri Anda keinginan untuk menjadikan hidup Anda sesuatu yang hebat”. Ia menguraikan sebuah perjalanan spiritual yang mengubah Hari Orang Muda Sedunia menjadi lebih dari sekadar sebuah acara. 

Perjalanan itu menjadi perjalanan panggilan, komunal, dan missioner yang telah terukir dalam ingatan banyak anak muda yang sejak itu mengarahkan hidup mereka kepada Tuhan. “Sesungguhnya, Yesuslah yang kau cari ketika kau memimpikan kebahagiaan,” kata Paus yang bernama Karol Wojtyla. 

Yubelium Pemuda ini menggabungkan Hari Pemuda Sedunia 2025 seperti diumumkan mendiang Paus Fransiskus pada Hari Orang Muda Sedunia 2024 atau World Youth Day (WYD) di Portugal yang berlangsung seminggu dan dihadiri 1,5 juta orang muda Katolik.  WYD adalah festival bagi kaum muda yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik yang diprakarsai Paus Yohanes Paulus II tahun 1985. 

Festival yang selalu dirayakan selama seminggu ini diperuntukkan bagi kaum muda Katolik, yang datang dari seluruh dunia untuk merayakan iman mereka dan berjumpa dengan Kristus dan Gereja-Nya. WYD pertama diadakan di Buenos, Aires, Argentina tahun 1987, yang kemudian semakin sukses dan populer. 

Berkenaan dengan banyaknya peziarah umat Katolik muda ini, maka segala sesuatu telah dipersiapkan secara matang oleh pihak Vatikan dan Roma. Misalnya, akomodasi, transportasi, dan lain sebagainya. Sekitar 100 paroki, sekolah, dan keluarga akan menyediakan akomodasi dan sarapan pagi bagi peziarah. Sebuah asrama besar dengan daya tampung sekitar 25.000 orang juga didirikan di Fiera, Roma. 

Selain misa malam Paus pada hari Selasa, Kardinal Filipina Luis Antonio Tagle merayakan Misa untuk para influencer Katolik dan misionaris digital. Momentum di mana orang muda Katolik diajak menjadi misionaris pengharapan, menerima panggilan Kristus untuk membawa kabar baik ke setiap sudut, terutama di era serba digital, menyebarkan Injil, mengubah hidup dengan pesan-pesan pengharapan dan kasih. Ringkasnya, Yubelium Influencer Katolik dan Misionaris Digital merupakan milestone penting bagi evangelisasi atau pengijilan secara virtual.

Gereja berupaya untuk merayakan, melatih, dan menginspirasi mereka yang terpanggil untuk mewartakan Injil di platform digital. Yubelium ini diperuntukkan bagi semua yang mewartakan Injil di dunia digital, membagikan pesan Injil di media sosial, blog, kanal, dan aplikasi. Ini adalah kesempatan untuk bertukar pengalaman untuk memperkuat misi bersama. 

Para influencer Katolik dan konten kreator online dipanggil untuk menjadi saksi sejati untuk iman mereka, dan membangun komunitas yang terbuka terhadap dialog dan kebenaran, bukan membangun ruang propaganda. Faktanya, ruang dan wacana digital akan lebih berperan penting  dalam membina gereja yang lebih sinodal  dan misionaris karena jangkauan global melalui internet dan membangun kolaborasi (UCANews, 31 Juli 2025).

Wakil Sekretaris untuk Dikasteri Kebudayaan Takhta Suci Vatikan Pastor Antonio Spadaro SJ kepada para influencer dalam media tersebut mengatakan, “Kalian bukan sebuah brand, kalian adalah berkat.” “Profil Anda bukan etalase toko, melainkan tempat pertemuan, tempat luka, tempat penyembuhan, tempat berbagi air mata, tempat harapan yang teguh, tempat provokasi yang membuat Anda berpikir, tempat keheningan yang penuh harapan,” katanya. 

Pater Spadaro juga menitipkan pesan kepada semua konten kreator agar harus berhati-hati terhadap dua faktor:  terkadang berisiko menganggap sebuah unggahan berhasil jika isinya ‘seksi’ atau menunjukkan ‘physique du role’ dalam bahasa Prancis, yaitu peran atau pesona spesifik yang biasanya dikaitkan dengan akting atau pertunjukkan. 

“Tidak ada yang namanya physique du role, itu hanyalah unjuk kekuatan, kekuatan daya tarik, dalam bentuk apa pun, yang berisiko menggoda  dan dengan demikian membatalkan pesan yang ingin disampaikan dengan itikad baik,” kata Spadaro. 

Tantangan kedua adalah memahami bahwa kesaksian Kristen tidak ditunjukkan dengan membombardir orang dengan pesan-pesan keagamaan. Kesaksian Kristen adalah menghidupi ajaran Kristus. “Injil tidak meminta kita untuk memiliki pengikut, Injil meminta kita untuk menjadi saudara bagi semua orang, yaitu menciptakan persaudaraan. Kalian dipanggil untuk membangun komunitas digital, bukan ruang propaganda, melainkan ruang perjumpaan,” ujarnya. 

Menurut Spadaro, menjadi seorang Kristen saat ini, berarti berada di tempat-tempat kehidupan nyata. Bahkan tempat-tempat keras, kotor, dan melelahkan. Bukan melarikan diri dari kerumitan, bukan meneriakkan slogan-slogan, mencari musuh untuk menunjukkan kekuatan, melainkan menyambut, memahami, dan menciptakan ikatan. 

Direktur Inisiatif Pemikiran Sosial Katolik dan Kehidupan Publik Universitas Georgetown dan Anggota Dikasteri Komunikasi Vatikan Kim Daniels mengatakan, ruang digital adalah wilayah ‘misi sejati’ di mana orang-orang sungguh-sungguh mencari Tuhan dan mengungkapkan kebutuhan rohani yang mendalam. Misi digital merupakan ungkapan misi sosial gereja. 

“Ketika kaum muda menjangkau melalui platform digital untuk mendampingi mereka yang terisolasi, menyuarakan mereka yang tak bersuara, menciptakan ruang perjumpaan yang autentik, maka kaum muda kita sedang menghidupi pilihan istimewa bagi orang miskin dengan cara baru,” ujar Kim (UCANews).

Kepemimpinan di era digital, lanjut Kim, bukan hanya tentang penguasaan teknologi baru, tetapi juga tentang pengembangan budaya tertentu, termasuk menghormati martabat manusia, mendorong perjumpaan autentik, dan menjadi saksi kebenaran dalam kasih. 

Wakil Sekretaris Sinode Para Uskup, Suster Xaviere mengatakan, menjalani misi Gereja dalam budaya digital saat ini berarti menuntut Gereja menjadi Gereja Sinode. Budaya digital merupakan anugerah untuk membantu kaum muda melangkah maju dalam menyambut Konsili Vatikan II, sinodalitas. 

Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin mengingatkan, sinodalitas menuntut individu untuk mendengarkan dan mencermati bersama. Meskipun konten dari biasanya diunggah dengan cepat, kaum muda harus menemukan cara untuk menjadi bagian dari ‘tim pastoral, tim misionaris di Gereja lokal masing-masing’. 

“Kehadiran dari seseorang, harus sama seperti di ruang fisik, dijiwai dengan kemanusiaan, menjadi saksi kehidupan Injil, dan kesediaan berdialog, mendengarkan, dan berjalan bersama orang lain. Yang dipertaruhkan bukan efektivitas konten, melainkan kemampuan Gereja untuk bersaksi tentang kedekatan Tuhan di tengah lingkungan yang impersonal atau hingar bingar, yang sering kali dipenuhi kebencian, berita palsu, dan kepalsuan,” kata Parolin dalam pidato pembukaan Senin (28/7) (UCANews). (Bagian pertama)

Thomas Ch Syufi

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Sanctus Thomas Aquinas Periode 2013-2015